MANTRA PENJINAK ULAR

Kamis, September 07, 2017






Judul     : Mantra Penjinak Ular
Penulis : Kuntowijoyo
Perancang Grafis              : A N Rahmawanta
Penerbit              : Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara
ISBN                      : 978-979-709-743-1
Cetakan               : Kedua, 2013
Jumlah halaman               : 274 Hal.

SINOPSIS

                Dalam setting budaya Jawa berikut warna Islam yang selalu mewarnai karya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan Sapari tumbuh dalam suatu proses dialektika dengan zamannya. Yaitu ketika ‘Bumi gonjang- ganjing, langit megap-megap’.  Sebagai seorang pegawai di sebuah kecamatan di kaki GunungLawu, Jawa Tengah, Abu berkesempatan tampil sebagai saksi sejarah menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde yang kemaruk: Orde Baru!
                Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu muncul, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera ambruk. Lalu pada suatu malam di musim kemarau, hujan lebat – oleh masyarakat dinamakan hujan salah musim – itu datang disertai angin ribut.
                “Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! Pohon yang selama ini tegak menghadap musim hujan dan angin terbujur kaku, akar-akarnya mencuat si atas tanah...”

LUCU YANG SEDERHANA

                Membaca tulisan Kuntowijoyo itu, membawa sensasi tersendiri. Aroma budaya Jawa yang kalem, sluman – slumun - slamet, lugu, sekaligus lucu, menguar secara utuh. Alur mengalir natural. Tidak ada hentakan-hentakan dramatis yang muncul secara berlebihan.
                Semuanya alamiah.
                Mantra Penjinak Ular. Jika mengikuti alur novel pada umumnya, kira-kira apa yang dibayangkan pembaca? Mungkin sama dengan yang saya pikirkan: ini buku bercerita tentang seseorang yang mendapatkan atau berhubungan dengan mistis. Bisa menjinakkan ular, dan akibat kemampuan itu, muncullah konflik dan intrik.
                Sinetron banget akuuuh!
                Di bagian pertama, adalah kisah masa kecil hingga masa remaja menjelang dewasa   Abu Kasan Sapari. Dimulai dengan pemilihan namanya ‘Sapar’ yang mengundang pertanyaan sang kakek. Sebab jabang bayi itu tidak mungkin lahir di bulan Sapar. Ayah Abu Kasan menjawab malu-malu, bahwa bulan Sapar adalah bulan jadinya!
                Keluguan, keunikan berpikir orang-orang desa sederhana kadang tidak tertangkap antena pemirsa abad sinetron.
                Urusan dengan mantra ular berada di bagian kedua. Kejadian Abu Kasan mendapatkan mantra penjinak ular adalah di Cembeng, sejenis pasar malam. Bukan dalam laku tapa atau semedi di sungai atau gua-gua. Pemberi mantra penjinak itu serupa jailangkung: datang tanpa diundang pulang tanpa diantar. Makbedunduk muncul, tepuk-tepuk pundak, dan bisik-bisik tentang mantra itu. Termasuk laku: does dan don’tsnya. Di bab ini, Abu Kasan mulai dikenal sebagai Ki dalang. Jadi selain sebagai pegawai kecamatan, Abu Kasan dobel jabatan sebagai dalang.
                Bagian berikutnya adalah filosofi Abu Kasan tentang sekelilingnya, alam dan lingkungannya. Abu Kasan menjalankan fungsi sebagai pegawai yang baik, pelopor pelestarian lingkungan, dan pelindung ular. Ia menggerakkan penduduk untuk mempersiapkan desanya mengikuti lomba desa se kabupaten.
Sisi lain, mantra ular itu membuatnya mampu membaui bangkai ular, dimanapun berada. Ular mati di tanah, ular mati di baskom, ular mati di penggorengan atau ular yang sudah jadi abon! Asal ular itu mati, dia akan pontang panting menguburnya. Bahkan jika perlu, memborong potongan-potongan daging ular yang dijual tukang obat! Kemana-mana, Abu Kasan membawa sekop. Jaga-jaga kalau harus menggali lubang kubur bagi  ‘sahabat’nya. Sebab cintanya, Abu Kasan membentuk komunitas penyayang ular.
Kisah selanjutnya mengalir, antara karir pendalangan, karir kerja, dan kisah asmara. Termasuk situasi politik desa. Partai Randu, partai berkuasa, mencoba menariknya menjadi juru kampanye bahkan caleg. Abu Kasan menolak. Partai Randu memintanya mendalang dengan pesan sponsor tertentu. Abu Kasan emoh. Abu Kasan memutuskan mendalang bagi laawan politik Partai Randu, dengan berbagai alasan. 
Abu Kasan dimutasi. Dipindah. Pak Camat juga kena awu anget. Penerimaan Abu Kasan tetap sama: lugu, lucu, juga tegas.
Terkait kisah asmaranya, tak ada bumbu-bumbu romantisme yang alay. Tak ada penggambaran rindu yang meledak-ledak. Semuanya cool. Sedikit terasa membosankan, tapi justru itu uniknya. Sang pujaan hatinya turut memberikan saran, usul. Sesekali ngambek   dan bikin Abu Kasan kelabakan. 

BUDAYA JAWA DAN TAUHID
                Penulis  memasukkan nilai-nilai tauhid dengan cara yang sangat halus, dan alamiah. Pergolakan batin Abu Kasan mengenai mantra yang dikuasainya mendapatkan jawaban melalui pengalaman menemui, menanyai dan memikirkan. Tidak banyak keluar dalil-dalil tentang syirik secara vulgar.
                Filososfi alam dalam budaya jawa dijelaskan gambling. Tembang-tembang di maknai dengan lugas, dan dalam. Dunia pendalangan menampilkan jenis lakon, tokoh, dan ceritanya. Pembaca disuguhi informasi seputar budaya Jawa ndeso secara apik dan manis.
                Alur hidup nriman, tenang,  harmoni, tersaji dalam buku ini. Konflik-konflik sosial mengarah pada satu alur: tetap guyub, dan legowo.

                A LITTLE BIT BORING, BUT...
                Ini memang bukan novel pop. Bukan jenis cerita yang mengharu biru. Jadi, jangan berharap  akan disekap perasaan haru, mangkel, akibat drama-dramanya. Lurus saja, sesekali tertawa geli, gemas dengan Abu Kasan. Geleng-geleng kepala, mesakne sebab dia didholimi. Takjub karena dia lempeng saja. Genit sang kekasih juga genit lugu. Mangkel-mangkelan, purik.
                Membaca halaman demi halaman melemparkan saya pada suasana desa dimana saya tinggal dahulu. Dermolen, pasar malam, kantor kecamatan, pasar desa, dokar.
                A little bit boring, but for me, it sounds great.

             Lha, terus piye sama kekasihnya? Baca sendiri, deh. Yang anteng, tenang, jangan buru-buru. 


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.