SINAU
“Yuuuu... Lamlekuuum!” suara teriakan di pagar rumah terdengar keras. Narti bergegas memakai jilbabnya, dan keluar sambil menjawab salam.
“Astaghfirullah!” Narti terpekik, nyaris bertabrakan dengan seseorang di teras.
“Kucing...kucing..kucing! Adoooh, Yuuu, kaget aku! Mbok pelan-pelan!” Sri, tetangga ujung gang yang dikenal latah, mengelus dada. Sri langsung masuk ruang tamu, duduk, dan mengambil gelas berisi minuman coklat dingin di meja.
Narti melongo. Itu minuman coklat yang sedianya akan menemaninya membaca buku. Sekarang isinya tinggal sepertiga.
Sri bingung melihat Narti bengong. Sekian detik kemudian dia tersadar.
“Lhoooo, Yuuu. Adooooh, punya siapa ini yang tak minum? Sepurane, Yu, saking kagetnya!” Sri salah tingkah, memandangi gelas itu.
“Punyaku. Kersane, mboten nopo-nopo. Bisa buat lagi nanti,” Narti tersenyum geli melihat tingkah Sri.
“Wah, kebetulan. Tak habiskan sekalian,” Sri mengambil gelas itu dan menenggaknya hingga habis. Narti terkekeh.
“Aku bingung, Yu,” Sri tiba-tiba jadi sendu. Narti mendengarkan dengan tenang. Sudah hafal, jika Sri jadi kalem begini, pasti ada hal serius yang jadi beban pikirannya.
“Kalau bingung...,” suara Narti menggantung.
“...doa, gitu?” Sri menyela. Narti tersenyum.
“Anton mencuri uangku,” Sri tertunduk. Narti beristighfar. Anton, putra Sri satu-satunya, laki-laki, kelas enam sekolah dasar. Beberapa kali Sri bercerita masalah-masalah yang ditimbulkan putera semata wayangnya itu.
Pulang dini hari, karena menghabiskan waktunya di persewaan play station. Membully atau melukai fisik anak tetangga. Mencuri burung merpati, kucing angora kerabat. Itu yang sempat Narti ingat. Masih banyak sepak terjang yang Sri ceritakan dan Narti lupa.
“Aku malu, Yu,” pelan suara Sri. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Malu sama siapa, Mbak Sri?”
“Keluarga besarku. Mereka sudah dengar semua bagaimana ulah Anton. Owalah, aku kudu piye? Aku sudah berusaha menasihati, tapi kok yo mbendal.” Sri menghela nafas panjang.
“Dinasehati model gimana, Mbak?” Narti bertanya hati-hati.
“Banyak, Yu. Bapaknya sudah berusaha menariknya dari kebiasaan main gamenya. Anakku mbethik itu sejak kelas lima, Yu. Dari kecil, dia itu rajin ke masjid. Maghrib, ke masjid sampai isya. Ngaji. Gak neko-neko. Lha kok sekarang jadi begini..,” katanya panjang lebar.
“Sekarang masih suka ke masjid?”
“Sudah tidak. Pulang sekolah langsung pergi, sampai malaaaaaam. Pertama aku bingung nyari-nyari dia. Lama-lama aku tahu dimana tempatnya main game. Aku kudu piyeeee?”
Narti diam. Jujur, dia juga bingung dengan situasi ini. Sudah terlanjur kecanduan game, tentu membutuhkan waktu yang lama untuk memperbaiki.
“Maaf, Mbak, sudah pernah diajak ke masjid lagi?”
“Sudah, dia menolak. Kalau dipaksa, marah-marah. Katanya, wong Ayah gak pernah ke masjid, kok!”
“Ayahnya gak ke masjid?” Narti terkejut.
“Ndak,” Sri menunduk lagi.
Oh, klasik. Betapa banyak ayah-ayah demikian. Ketika anak-anaknya masih kecil, didorong-dorong ke masjid. TPQ, mengaji bersama ustadz ustadzahnya. Menghabiskan waktu dari ashar hingga maghrib. Bahkan hingga isya. Saat yang sama, sebagian ayahnya, atas nama kesibukan, enggan ke masjid.
“Aku kudu piye?” Sri bertanya lagi.
“Berbenah, Mbak Sri. Panjenengan dan suami perlu duduk bareng, mencari solusi masalah ini. Jangan dipikir sendiri, berat. Perlu kerja sama ayah dan ibu.”
“Ayahnya menyalahkan aku terus. Katanya aku gak becus menjaga anak. Lha aku kan ya repot, Yu. Banyak arisan, pengajian, belum lagi ngurus warungku di pasar,” Sri beralasan.
“Ditata lagi semuanya. Waktu untuk bersama Anton perlu diperbanyak, kualitasnya diperbaiki. Kalau kumpul, jangan sibuk sama hape masing-masing. Ngobrol, cerita-cerita... Itu namanya Quality Time, Mbak. Waktu dimanfaatkan untuk saling menguatkan kasih sayang. Jangan sibuk sendiri-sendiri,” Narti menjelaskan panjang lebar.
“Dimulai dari mana?” Sri bertanya bingung.
“Dari diri sendiri. Lalu ajak suami. Buat kesepakatan berdua, Mbak. Pola pengasuhan mana yang perlu diperbaiki, mana yang dipertahankan dan dikuatkan. Harus kompak. Salah satu mbeleset, susah,” kata Narti.
“Yu Narti ngerti ilmu gini dari mana?”
“Parenting, Mbak. Di sekolah Anton gak ada program itu kah?”
“Ada, sepertinya. Tapi aku gak pernah datang,” Sri tersipu-sipu.
“Datanglah. Bagus itu. Orang tua perlu belajar terus, supaya gak kesasar-kesasar seperti ini.”
“Kalau di sekolah Erdo ada parenting, ajak aku ya, Yu. Aku melu sinau.”
Narti mengangguk.
Sinau. Orang tua memang harus sinau. Sampai ujung nisannya, kalau perlu.
Tidak ada komentar: