GOYAAAAANG!!!
“A B C ada beraaaaapaaa!!” Kami mengulurkan tangan masing-masing, dengan sejumlah jari yang terbuka. Jumlahnya suka-suka. Boleh satu, dua, atau tiga, atau lima. Pokoknya bebas, lah.
Semua ikut bermain. Saya, Ayah, anak-anak. Hape singkirkan dulu. Kalau perlu, disandera oleh Ayah. Disimpan entah dimana.
Biasanya aturan ini berlaku jika kami makan di luar, atau silaturahim ke rumah kerabat. Hanya Ayah yang boleh bawa hape.
“A B C ada beraaaapaa! Nama buah!” Hafidz memilih. Lalu dihitunglah jumlah jari-jari yang terbuka.
“A, B, C,… R! Nama buah R!”
“Rambutan!” Ada yang jawab.
“Rurian!” Ada yang ngaco.
“Risang!” Tambah ngambrak.
“Rangga!”
Wahaha. Ngaco berjamaah. Begitulah, seru-seruan sederhana yang bikin ketawa.
Main bareng macam begitu menyenangkan. Sambil leyeh-leyeh, atau tidur-tiduran. Diselingi bercerita. Mainan bisa diganti yang lain. Bekel, misalnya. Saya main bersama anak-anak. Pakai acara miring-miring ngintip biji bekelnya, terutama kalau sudah sampai pit atau ro. Ro saja, gak pakai sin, syin, shod, apalagi tho’, dzo’.
Kalau bermain dakon, juga seru. Mencari-cari biji dakon dari batu koral warna warni. Kalau ada coklat koral warna warni, tambah asyik. Bisa sekalian dimakan.
Beberapa malam lalu, Hafdiz dan Zahra mengambil sekantung tusuk sate. Mereka bermain bersama.
Kumpulan usuk sate itu digenggam, dengan bagian bawah menempel di lantai, lalu genggaman dilepas. Tusuk sate yang bertebaran di lantai (dengan posisi tumpang tindih) diambil satu persatu dengan satu tusuk sate gaco. Saat mengambil dilarang menggoyangkan tusuk sate sekitarnya. Jika goyang, ganti pemain.
Tahu mainan itu, kan? Apa namanya? Kata ibu-ibu yang saya tanyai dalam forum parenting, namanya 'cuthik'an'.
Berita masalah 'cuthik'an' ini kadang bisa kita temui di surat kabar. Misalnya berita tentang 'Pencuthik'an Anak'. Hehehe.
"Bundaaa.. Main, yukk!" Hafidz mengajak.
"Sebentar,"saya masih umek.
"Ayooo," Hafidz masih merengek, setelah sekian menit saya tidak bersegera duduk dekatnya.
Kami bermain. Nabila keluar dari kamar, tengkurap sebelah kiri. Zahra, duduk bersimpuh sebelah kanan saya.
Mulai. Saya menggenggam tusuk sate, dan menjatuhkan ke lantai. Ada beberapa yang menyebar terpisah. Ah, mudah. Pada bagian yang tumpah tindih, perlu digeser, diungkit, atau ditekan ujungnya pelan-pelan.
"Goyaaaaang!!" Nabila tiba-tiba teriak. Saya terkejut, dia nyengir, menaik-aikkan alisnya. Hmm, kumat usilnya.
Giliran Hafidz. Dia bisa mengambil beberapa tusuk sate dengan sukses.
"Goyaaaaang!!" Nabila teriak lagi. Keras nian suaranya! Saya melirik, dia manik-naikkan alisnya lagi. Hadeh.
Giliran saya bermain.
"Goyaaaaang!!" Teriakan Nabila semakin kencang. Saya, yang masih konsetrasi dengan tusuk sate, terkejut. Tusuk sate tersentak sedikit.
"Wahahahaha... Kageeeet!" Nabila menunjuk saya sambil tertawa jail. Hmm, tambah parah usilnya.
Giliran Hafidz.
"Goyaaang!!" Kali ini, saya berteriak. Nabila melongokkan kepalanya, mengamati kumpulan tusuk sate.
"Lho, goyang, tah?" Tanyanya.
"Wasitnya bengong," saya menyahut. Nabila tertawa.
"Goyaaang!!" Hafidz ikut-ikutan teriak,
"Goyaaang!" Suara semakin keras.
"Goyaaaang!!" Jumlah yang berteriak bertambah.
Ini kehebohan yang lebay. Mainnya serius, ketawanya juga serius. Alaynya dua rius.
Akhirnya saya berhenti, digantikan Ayah. Zahra bubar, duduk di kursi tengah. Nabila ngacir, masuk kembali ke kamar. Tinggal Hafidz dan Ayah.
Gaya mainnya tidak sama. Jika saya, bermain begitu saja, mengumpulkan sebanyak-banyaknya tusuk sate. Juga memunculkan sekeras-kerasnya tawa. Yang penting hore-hore, hip hip hura.
Kalau Ayah, landasan teoretisnya diberikan (wahaha). Kerangka berpikirnya disampaikan (hihi). Untuk mengambil satu batang tusuk sate saja, perlu diamati, diterawang, ditelisik. Pakai acara mengintip, menungging.
"Caranya seperti ini..."
"Sebelah situ dulu, biar bla bla bla..."
"Dari arah sini..."
"...."
Hmmm... Bedanya orang bahasa dan teknik ya begitu.
I like it 😆😆😆😆 #acil Nurul 🤗
BalasHapus