SEBAB MERASA MASIH
Seorang teman, sebut saja Ari, bercerita bahwa dia diundang menghadiri acara tasyakuran sejawatnya, Dina. Ari juga berteman dekat dengan Lia, rekan kerjanya yang lain. Mereka bertiga bekerja pada instansi yang sama.
Lia dan Dina menduduki jabatan cukup penting. Mereka sering berselisih paham, dan diam-diam saling mencurigai. Bertemu Ari, Dina sering mengeluhkan sepak terjang Lia. Disela-sela keluh kesahnya, terselip berbagai kecurigaan dan prasangka. Sebaliknya,Lia pun melakukan hal yang sama. Bila bertemu Ari, Lia akan menyampaikan masalah-masalah kerja yang juga dibumbui kecurigaan ini dan itu. Hal mendasar yang mereka keluhkan adalah persoalan uang.
Ari memenuhi undangan Dina. Ari mengajak Lia untuk turut. Lia menolak keras. Penolakan ini sebenarnya sederhana; bisa jadi sebab Lia merasa tidak diundang, sehingga sungkan jika tiba-tiba muncul.
Namun sebab perseteruan diam-diam mereka menjadi rahasia umum, maka penolakan itu mengundang banyak tafsiran. Penyebab mereka sering berselisih paham pun ditafsirkan berbeda-beda.
"Mau saya itu, walaupun tidak cocok, mbok yao tetap saling menghargai, jangan saling curiga," keluh Ari, lain waktu. Saya hanya mendengarkan saja, berusaha memahami konteks persoalan secara lebih utuh.
"Saya melihat gaya Lia menolak, getas dan ketus," keluh Ari.
"Dua-duanya tidak bisa akur, saling curiga terus,' tambahnya.
Saya, lagi-lagi, cuma bisa diam.
"Kata teman-teman lain, mereka seperti royokan sugih (bersaing menjadi terkaya, red)," tambahnya.
"Ya, pek-pek en (ambil saja, red) saja kalau royokan sugih gitu," saya nyeletuk santai.
Ari diam. Memandang saya, lalu katanya:
"Mungkin mereka merasa masih. Masih muda, masih menjabat, masih kuat, masih berkuasa. Sehingga lupa. Belum merasa dekat dengan kematian, belum merasakan sakit (yang dekat mati), belum merasa di bawah (tidak menjabat)," desah Ari.
Saya tertegun. Kalimat itu menderingkan alarm di kepala saya.
Bukan konflik antar Lia dan Dina yang jadi fokus saya. Apa sebenarnya masalah antarmereka, saya tidak peduli. Jadi, tidak perlu membahas lebih lanjut tentang itu.
Yang saya garisbawahi adalah kata-kata 'merasa masih' yang diucapkan Ari.
Merasa masih sehat, merasa masih muda, merasa masih (punya) kekayaan, adalah tipu daya yang wajib diwasapadai. Ketiganya menjadi pelengkap dari dua perkara lainnya: merasa masih lapang, merasa masih hidup.
Jabatan adalah bagian dari kelapangan. Orang yang menjabat, punya kelapangan besar untuk menegakkan kebenaran. Bagaimana power dan wewenang yang dimiliki bisa menjadi pengantar munculnya kebaikan dan meluasnya perbaikan.
Bagaimana hal-hal benar bisa dikawal dengan sistem yang berada di bawah kekuasaannya, dan hal-hal salah bisa dikikis juga melalui kekuasaannya.
Bagaimana kebiasaan-kebiasaan positif yang mendorong amal sholih bisa menjadi kultur kerjanya, dengan pertemanan yang didasarkan kepada saling menasihati dalam kebaikan dan dalam kesabaran. Hingga bisa saling percaya, saling mengayomi.Saling menlindungi dan mengingatkan. Bukan saling menelikung, memelihara dengki, dan berhasrat menjatuhkan.
Merasa masih menjabat. Lalu merasa boleh bersikap seenaknya. Merasa bahwa jabatan dan segala yang ada di dalamnya adalah miliknya sendiri. Digunakan semaunya. Tidak memikirkan tanggung jawab dan perhitungan kelak. Uang di bawah kekuasaan adalah miliknya. Barang-barang di bawah kekuasaannya adalah miliknya. Merasa bahwa nasib orang-orang di bawah kekuasaannya bergantung pada dirinya.
Sungguh tipuan yang menakutkan.
Merasa masih muda. Masih jauh dari kematian. Yakin bahwa maut akan menjemput kelak, setelah pensiun. Sekarang masih lama, santai saja, tak perlu ngoyo beramal sholih. Ke masjid, tunggu pensiun, ketika waktu sudah luang. Berinfaq, tunggu longgar, setelah anak-anak dewasa dan tidak banyak pengeluaran.
Merasa masih adalah jebakan halus yang menjerumuskan.
Semoga Allah subhanahu wata'ala menjauhkan dari kelalaian demikian.
Memori menjelang Ashar, 15.00 WIB
Tidak ada komentar: