HANTU DALAM STATUS

Minggu, Oktober 22, 2017
STATUS HANTU

Kemarin Sabtu, 21 Oktober 2017, tiba-tiba saja ada beberapa orang yang japri saya. Mereka mengomentari status WA. Saya sendiri hampir tidak pernah membuat gambar status. Jadi segalam macam status yang aneh-aneh itu, anak-anak yang buat.
Untuk status itu, gambarnya diambil Hafidz, menjelang berangkat sekolah. Pagi hari, saat matahari sduah tinggi. Terang benderang. Saya tahu momen itu. Saya tengah bersiap di motor, hendak meluncur ke jalan depan rumah. Zahra berjalan ke rak sepatu.
Kalau tidak salah, pengambilan foto dihari Jumat.



Ada yang wapri begini: "Hantunya jilbaban."
Ada juga yang tanya : "Di rumah mana bu Umi?"
Ada yang begini juga: "Lah kok medeni, sing temen ta bu...Hiii."

MIRIP CENAYANG

Cerita hantu-hantuan memang masih menarik, ya. Bagi sebagian besar. Takut-takut seru, mungkin. Ada yang bilang, film hantu-hantu selalu mengundang minat penonton, dan laku.
Murid-murid saya di perpus sering menanyakan buku-buku horor. Di rumah, kami sama sekali tidak mau membelikan buku demikian.

Bicara tentang hantu, jin, dan mahluk halus sejenis, saya punya teman yang 'ahli'. Alias bisa lihat mahluk-mahluk itu.
Suatu kali, saya pernah melakukan perjalanan dengannya. Kami ke luar kota bersama malam hari, hendak takziyah. Salah satu teman kami meninggal dunia.
Sampai di rumah duka, depan pagar, dia menarik tangan saya. Nah, dia pasti lihat sesuatu.
"Ada yang duduk disitu, pakai jarit" dia menunjuk tepat depan gerbang. Wahaha, horor, hadirin. Saya senyum-senyum saja, wong saya gak lihat siapa-siapa di situ. Bulu kuduk meremang, sebentar.
Setelah takziyah, dari ruamh duka, kami berjalan ke tempat parkir mobil. Lalu berhenti di depan sebuah rumah, di bawah pohon palem. Dia mendongak, melihat ke atas.
"Ada apa?" tanya saya.
"Hehehe, nanti saja," katanya. Nah, itu berarti dia lihat sesuatu. Saya diam saja.
Esok harinya, dia bilang, di pohon palem ada sesuatu juga. Dia deskripsikan bentuknya, tapi saya lupa.

Kali lain, dia menunggu saya di perpus. Siang bolong, terang benderang. Saya tinggal sebentar, ada keperluan. Saat saya kembali, dia sudah menghilang.
"Ada pocong nongol," katanya, sambil nyengir. Hua, seraaaam!
"Dimana?" Saya tanya begitu bukan ingin ketemu. Pengen tahu saja. Jangan-jangan si 'itu' stay dekat meja kerja saya.
"Itu, saya lagi duduk di meja tempat panjenengan, lalu dia nongol dari balik partisi gitu," katanya. Lha iya, tho!
"Posisinya agak miring, wajahnya hitam," tambahnya. Ya Allah, diperjelas begitu.
"Dari tadi saya sendirian di situ," kata saya.
"Gak takut?"
"Nggak, lah. Kan gak lihat," balas saya. "Cukup njenengan saja yang lihat, saya gak usah. Terima kasih."
Dia tertawa. Saya kembali ke perpus. Gak takut? Merinding dikit, tapi gak ada pilihan. Kudu stay di sana, sebab perpus banyak fansnya. Masa iya saya kasih pengumuman begini: 'Untuk sementara perpus tutup, ada hantunya.'
Nanti sepi pengunjung. Kalau sepi pengunjung, bisa jadi masalah dalam audit ISO. Jadi temuan mayor.

Kali lain lagi, ada pertunjukan wayang di sekolah. Malam tahun baru Masehi, para guru diundang untuk menonton wayang. Saya datang setelah isya.
Ibu yang 'ahli' itu duduk di depan saya.
"Saya takut," katanya.
"Takut apa?"
"Banyak jin," katanya. Lalu dia menunduk, menyembunyikan pandangannya.
Gamelan mulai dibunyikan. Denting-dentingnya rancak. Ini sejenis opening, sepertinya.
"Biasanya acara begini pakai sesajen dulu," katanya. Dia tampak gelisah. Lalu gamelan berbunyi lagi.
"Nah...nah.. Itu pada turun!!" Dia menutup matanya lagi, menundukkan kepala dalam-dalam.

Di belakang panggung wayang itu ada pohon beringin berukuran sedang.
"Turun dari pohon beringin...Hiyyy," dia semakin panik.
"Ada yang rambutnya panjang, ada yang....," dia jelaskan macam-macam penampakan yang dilihat. Wadoooh, repot kalau berdekat-dekat sama orang ahli begini. Merinding dangdut!
"Mana? Mereka di mana saja?" Saya iseng. Sekali lagi, bukan ingin lihat, Sodara-Sodara. Terima kasiiiih.... Cuma sedikit ingin tahu posisi persisnya. Tidak lebih.
“Di dekat gong besar, di sebelah pemain gamelan, gantung-gantung di atap, sebelah Pak Bupati,” katanya lagi.
“Ada yang melihat ke sini! Hiiy, mungkin dia tahu aku bisa lihat,” dia kembali menutup mukanya. Para jin ini suka wayang juga ternyata.

Pertama kali ke rumah saya, ibu ‘ahli’ ini tidak menampakkan reaksi yang heboh. Santai, biasa saja. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba dia bilang begini: “Di rumah panjenengan itu ada, lho.”
Saya ketawa saja. Di mana-mana ada, kan?
“Di teras samping, dekat gerbang. Lalu di ruang perpus, banyak tuh. Di atas meja makan, di ruang tengah,” dia memberikan gambaran detil. Ruang tengah dan perpus itu tempat favorit saya dan anak-anak.

RUQYAH
Dalam acara ruqyah masal tahun 2004 yang pernah saya ikuti, ustadz dalam acara tersebut menjelaskan bahwa normalnya manusia tidak bisa melihat jin dan sebangsanya. Sebab sudah berbeda alam. Kalau pun ada yang bisa melihat, maka itu bukan keistimewaan yang patut dibanggakan.
Itu penyakit yang perlu disembuhkan dengan ruqyah. Sebab, menurut ustadz tersebut, orang-orang yang punya kemampuan melihat mahlukm halus, hidupnya tidak tenang.
Seementara di masyarakat kita, ada kebiasaan mengistimewakan kemampuan indera keenam sebagai anugerah. Menganggap bahwa itu kelebihan yang harus dipelihara.

Ada siswa saya dulu, tahun 2004, yang tiba-tiba bisa melihat mahluk halus. Dia bisa sewaktu-waktu memberi tahu orang-orang di dekatnya apa yang dilihatnya.
Misla pada ibunya, dia bisa bilang begini:
“Ibu jangan duduk di situ, ada mbah-mbah.”
“Awas, ada kepala di dekat kaki ibu.”
“Itu, ada mata besar di atas pohon, menyala meraaah.”
Horor, kan? Ibunya kalang kabut. Sebab dia menebarkan keresahan.
Di sekolah, dia beraksi begini:
“Di belakang ustadzah ada pocong.”
“Di bawah meja ustadzah ada kepala.”
Huaaaa. Gak enak, gak tenang.
So, dia diruqyah. Dari situ ketahuan bahwa kemampuannya itu muncul karena diturunkan oleh kakek buyutnya yang ‘ngelmu’. Setelah itu, selama masa perjuangan mereka untuk lepas dari persoalan ini, banyak kejadian aneh dan bikin takut. Ngeri sekaligus lucu. Kapan-kapan saja saya ceritakan, insyaaAllah.

ADA ALLAH
Ayah Budi paling tidak suka jika kami takut dengan hantu dan sejenisnya.
“Seperti tidak punya Allah saja!”
Beliau juga mewanti-wanti anak-anaknya agar tidak lebay menyikapi apa pun yang berkaitan dengan takut.
Jika anak-anak ketahuan menonton film horror, lalu jadi penakut, Ayah akan marah besar. Maka, film horror sama sekali tidak kami rekomendasikan pada anak-anak. Film-film sejenis membuat anak-anak memelihara gambaran yang salah tentan jin dan sejenisnya dan menumbuhkan takut.

Kembali ke status hantu kami.
Para ibu yang wapri, saya beritahu bahwa itu adalah gambar anak saya dengan teknik foto tertentu. Saya sempat minta Hafidz berpose dan saya ambil gambarnya. Saya kirimkan pada salah satu ibu yang tanya.
Komentarnya : Hiiiy.
Padahal di foto itu, Hafidz lebih mirip Casper. Hehehe.



Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.