ES BASI, CICAHEUM, DAN TIKET
DARI MASA LALU
Tadi sore, saya hendak membeli sepatu sandal untuk Nenek. Beliau suka sepatu sandal saya dan ingin membeli sebelum terbang ke Mataram. Toko, tempat saya membeli sepatu sandal itu, di jalan Adityawarman. Gedungnya tinggi.
Saya memasuki toko dan langsung menuju rak tempat sepatu sandal saya dulu dipajang. Tidak ada. Gadis penunggu toko mendekatis saya.
"Cari sepatu sandal kaya gini, Mbak," saya menunjuk sepatu sandal yang saya pakai.
"Tinggal satu ini saja, Bu. Tersisa warna hitam saja," dia menunjuk rak kaca sebelah barat.
Saya melihat nomor sepatu sandal yang didisplay.
"Ada nomor 37?"
Gadis itu melihat tanda pada penyangga sepatu.
"Tidak ada, Bu."
Saya berkeliling, mencari alternatif pilhan. Barangkali ada merek lain yang modelnya mirip. Seorang perempuan masuk, dia berdiri di sebelah timur saya. Hanya berjarak sekitar lima meter.
Kurus, tinggi, baju atasan dan jilbabnya pink. Saya berjalan melewatinya. Ekor mata saya meliriknya sekilas.
Setelah sekian menit mencoba mencari alternatif, akhirnya saya menyerah.ada beberapa yang model dan warnanya manis. Tapi tidak berani membeli. Khawatir tidak sesuai selera Nenek.
Saya keluar. Perempuan itu juga. Berdiri dekat motor, saya membuka tas dan mengeluarkan tab. Dua kertas keluar. Dua-duanya kertas penting. Saya melipat dan menyimpannya di kantong bagian belakang. Perempuan itu mondar mandir. Lalu menuju motornya yang diparkir di depan saya. Kami berhadapan.
Dia memandangi saya.
"Teh Umi ya?"
Memori saya berputar. Tulang pipinya khas. Matanya dalam. Ketawanya lucu. Siapa ya? Seseorang dari masa lalu, sebab dia masih panggil 'Teteh'.
"Siapa ya? Nama?" Saya langsung tembak begitu. Aduh, maaf, Say. Wajahmu lekat dengan hal-hal konyol, tapi dimana ya?
"Sita, Teh! Temannya Anis!"
Wait. Teman Anis, adikku nomor 6. Peristiwa Bandung!
BANDUNG 1
Anis dan 2 kawannya (Selly dan Sita) akan ikut UMPTN (SBMPTN jaman baheula). Mereka ke Bandung. Selly tetangga ketika kami mengotrak di jalan Agus Salim. Sita adalah putri salah satu kyai. Trah keluarga pesantren.
Saya bertugas menemani. Kami tinggal di rumah petak kontrakan Teh Tettet, kakak nomor satu. Wajah-wajah lugu khas desa (wahaha...sekian tahun tinggal di Bandung, saya merasa jadi 'wong kutho'), bingung dan excited.
Saya antar ke rumah kontrakan, lalu saya tinggal kuliah. Mereka sepertinya banyak tiduran, mungkin capek setelah perjalanan semalam. Balik dari kampus, saya bawakan beberapa penganan. Plus makan siang.
salah satu oleh-oleh saya adalah es yoghurt. Es lilin segar beraneka rasa.
Saya tinggal mandi, kerjakan ini dan itu.
Ketika kembali, saya dapati es yoghurt masih banyak.
"Kok gak dimakan? Enak itu. Ambil gih," kata saya.
Mereka saling berpandangan. Tersenyum-senyum satu sama lain.
"Itu basi ya?" Anis bicara.
"Apanya?" Saya terkejut.
"Itu esnya, basi kayanya. Rasanya asem," Anis menunjuk kantung plastik dimana es itu disimpan. Saya terdiam beberapa saat. Memandangi mereka yang juga sedang memandangi saya.
Basi? Asem? Wahahaha. Meledak tawa saya.
Oalaaaaah... Beneran lugu! Hihihi.
"Ini namanya yoghurt, memang rasanya asem, bukan basi," saya terkekeh menjelaskan.
Mereka? Bengong, sekaligus tersipu-sipu.
BANDUNG 2
Saya mengantarkan mereka melihat tempat tes. Saat tes, saya tidak bisa menjemput. Saya beri ancer-ancer, naik angkot apa, berhenti dimana.
Mereka harus naik angkot Cicaheum Ledeng. Baca Cicaheum, tahu kan? 'Eu' pada 'heum' dibaca mirip seperti membaca suku kata 'pe' pada kata perempuan. Gak mirip-mirip amat sih, kurang lebih lah.
Ketika bertemu saya, mereka tertawa-tawa. Mereka menunggu angkot yang saya sebutkan, tapi gak dapat-dapat.
"Gak ada angkot Cicaheum, adanya angkot Ci-ca-he-um," mereka terkekeh-kekeh.
Hadeeeeh. Tiga krucil yang aneh.
BANDUNG 3
Bawa tiga mahluk polos macam mereka, lucu-lucu menjengkelkan. Hari kepulangan, saya sudah beritahu bahwa mereka harus siap pukul sekian, sebab kereta berangkat pukul sekian. dan untuk ke stasiun butuh waktu sekian menit.
Pulang dari kampus, siang hari, saya terkejut mendapati mereka tidur berjamaah. Lhaaaaa... Saya bangunkan dengan nada panik. mereka semburat. Bergiliran mandi satu persatu. Daaaan... Sungguh lama Sita mandi. Lamaaaaa sekali.
Kepala saya senut-senut diserang gugup. Hello tuan putri, kalau tertinggal kereta, pulang ke Jombang ngesot ajah yaaa?
Mereka tegang melihat saya. Kami gedubrakan ke jalan raya untuk naik angkot. Terengah-engah dengan barang bawaan dan suntuk sebab panik.
Alhamdulillah, sampai dengan selamat ke stasiun. Waktunya masih mencukupi.
Saya gregetan dengan drama singkat ini. Sesuatu perlu dilakukan.
"Tiketnya cuma ada dua," saya menunjukkan tiket pada mereka. Serly dan Sita panik. Anis senyum-senyum. Mari berkongsi dalam keusilan, yes!
"Terus gimana, Teh?" mereka berdua ketakutan.
"Yaaaa...gak tahu nanti. Ini dua tiket, untuk Selly dan Anis," saya semakin menjadi.
"Gimana aku?" Sita bingung. Hampir mewek.
"Duduk di lantai," jawab saya santai.
Mereka berdua pucat pasi. Saya berlagak cuek, sambil menahan geli.
Mereka pulang dengan selamat, sampai Jombang. Apakah Sita duduk di lantai? Nggak lah. Salah satu tiket berisi dua nomor kursi. Dia baru tahu kalau saya mengusilinya beberapa waktu sebelum kereta berangkat.
AWET
"Kok masih kurus, sih?" Dia tertawa menanggapi pertanyaan saya. Saya tanya aktivitasnya,keluarganya, anak-anaknya. Sebenarnya ingin berfoto bersama, tapi dia menolak.
Sempat dia pandangi saya sekian detik, lalu katanya: "Teteh awet muda!"
Dikau juga awet kurus, Sita!
Tadi sore, saya hendak membeli sepatu sandal untuk Nenek. Beliau suka sepatu sandal saya dan ingin membeli sebelum terbang ke Mataram. Toko, tempat saya membeli sepatu sandal itu, di jalan Adityawarman. Gedungnya tinggi.
Saya memasuki toko dan langsung menuju rak tempat sepatu sandal saya dulu dipajang. Tidak ada. Gadis penunggu toko mendekatis saya.
"Cari sepatu sandal kaya gini, Mbak," saya menunjuk sepatu sandal yang saya pakai.
"Tinggal satu ini saja, Bu. Tersisa warna hitam saja," dia menunjuk rak kaca sebelah barat.
Saya melihat nomor sepatu sandal yang didisplay.
"Ada nomor 37?"
Gadis itu melihat tanda pada penyangga sepatu.
"Tidak ada, Bu."
Saya berkeliling, mencari alternatif pilhan. Barangkali ada merek lain yang modelnya mirip. Seorang perempuan masuk, dia berdiri di sebelah timur saya. Hanya berjarak sekitar lima meter.
Kurus, tinggi, baju atasan dan jilbabnya pink. Saya berjalan melewatinya. Ekor mata saya meliriknya sekilas.
Setelah sekian menit mencoba mencari alternatif, akhirnya saya menyerah.ada beberapa yang model dan warnanya manis. Tapi tidak berani membeli. Khawatir tidak sesuai selera Nenek.
Saya keluar. Perempuan itu juga. Berdiri dekat motor, saya membuka tas dan mengeluarkan tab. Dua kertas keluar. Dua-duanya kertas penting. Saya melipat dan menyimpannya di kantong bagian belakang. Perempuan itu mondar mandir. Lalu menuju motornya yang diparkir di depan saya. Kami berhadapan.
Dia memandangi saya.
"Teh Umi ya?"
Memori saya berputar. Tulang pipinya khas. Matanya dalam. Ketawanya lucu. Siapa ya? Seseorang dari masa lalu, sebab dia masih panggil 'Teteh'.
"Siapa ya? Nama?" Saya langsung tembak begitu. Aduh, maaf, Say. Wajahmu lekat dengan hal-hal konyol, tapi dimana ya?
"Sita, Teh! Temannya Anis!"
Wait. Teman Anis, adikku nomor 6. Peristiwa Bandung!
BANDUNG 1
Anis dan 2 kawannya (Selly dan Sita) akan ikut UMPTN (SBMPTN jaman baheula). Mereka ke Bandung. Selly tetangga ketika kami mengotrak di jalan Agus Salim. Sita adalah putri salah satu kyai. Trah keluarga pesantren.
Saya bertugas menemani. Kami tinggal di rumah petak kontrakan Teh Tettet, kakak nomor satu. Wajah-wajah lugu khas desa (wahaha...sekian tahun tinggal di Bandung, saya merasa jadi 'wong kutho'), bingung dan excited.
Saya antar ke rumah kontrakan, lalu saya tinggal kuliah. Mereka sepertinya banyak tiduran, mungkin capek setelah perjalanan semalam. Balik dari kampus, saya bawakan beberapa penganan. Plus makan siang.
salah satu oleh-oleh saya adalah es yoghurt. Es lilin segar beraneka rasa.
Saya tinggal mandi, kerjakan ini dan itu.
Ketika kembali, saya dapati es yoghurt masih banyak.
"Kok gak dimakan? Enak itu. Ambil gih," kata saya.
Mereka saling berpandangan. Tersenyum-senyum satu sama lain.
"Itu basi ya?" Anis bicara.
"Apanya?" Saya terkejut.
"Itu esnya, basi kayanya. Rasanya asem," Anis menunjuk kantung plastik dimana es itu disimpan. Saya terdiam beberapa saat. Memandangi mereka yang juga sedang memandangi saya.
Basi? Asem? Wahahaha. Meledak tawa saya.
Oalaaaaah... Beneran lugu! Hihihi.
"Ini namanya yoghurt, memang rasanya asem, bukan basi," saya terkekeh menjelaskan.
Mereka? Bengong, sekaligus tersipu-sipu.
BANDUNG 2
Saya mengantarkan mereka melihat tempat tes. Saat tes, saya tidak bisa menjemput. Saya beri ancer-ancer, naik angkot apa, berhenti dimana.
Mereka harus naik angkot Cicaheum Ledeng. Baca Cicaheum, tahu kan? 'Eu' pada 'heum' dibaca mirip seperti membaca suku kata 'pe' pada kata perempuan. Gak mirip-mirip amat sih, kurang lebih lah.
Ketika bertemu saya, mereka tertawa-tawa. Mereka menunggu angkot yang saya sebutkan, tapi gak dapat-dapat.
"Gak ada angkot Cicaheum, adanya angkot Ci-ca-he-um," mereka terkekeh-kekeh.
Hadeeeeh. Tiga krucil yang aneh.
BANDUNG 3
Bawa tiga mahluk polos macam mereka, lucu-lucu menjengkelkan. Hari kepulangan, saya sudah beritahu bahwa mereka harus siap pukul sekian, sebab kereta berangkat pukul sekian. dan untuk ke stasiun butuh waktu sekian menit.
Pulang dari kampus, siang hari, saya terkejut mendapati mereka tidur berjamaah. Lhaaaaa... Saya bangunkan dengan nada panik. mereka semburat. Bergiliran mandi satu persatu. Daaaan... Sungguh lama Sita mandi. Lamaaaaa sekali.
Kepala saya senut-senut diserang gugup. Hello tuan putri, kalau tertinggal kereta, pulang ke Jombang ngesot ajah yaaa?
Mereka tegang melihat saya. Kami gedubrakan ke jalan raya untuk naik angkot. Terengah-engah dengan barang bawaan dan suntuk sebab panik.
Alhamdulillah, sampai dengan selamat ke stasiun. Waktunya masih mencukupi.
Saya gregetan dengan drama singkat ini. Sesuatu perlu dilakukan.
"Tiketnya cuma ada dua," saya menunjukkan tiket pada mereka. Serly dan Sita panik. Anis senyum-senyum. Mari berkongsi dalam keusilan, yes!
"Terus gimana, Teh?" mereka berdua ketakutan.
"Yaaaa...gak tahu nanti. Ini dua tiket, untuk Selly dan Anis," saya semakin menjadi.
"Gimana aku?" Sita bingung. Hampir mewek.
"Duduk di lantai," jawab saya santai.
Mereka berdua pucat pasi. Saya berlagak cuek, sambil menahan geli.
Mereka pulang dengan selamat, sampai Jombang. Apakah Sita duduk di lantai? Nggak lah. Salah satu tiket berisi dua nomor kursi. Dia baru tahu kalau saya mengusilinya beberapa waktu sebelum kereta berangkat.
AWET
"Kok masih kurus, sih?" Dia tertawa menanggapi pertanyaan saya. Saya tanya aktivitasnya,keluarganya, anak-anaknya. Sebenarnya ingin berfoto bersama, tapi dia menolak.
Sempat dia pandangi saya sekian detik, lalu katanya: "Teteh awet muda!"
Dikau juga awet kurus, Sita!
Tidak ada komentar: