SHUBUH YANG TUNDUK (BAGIAN 4, TAMAT)

Minggu, Oktober 07, 2018

(Bacalah dulu bagian 1, bagian 2 dan bagian 3 dari cerpen ini)

Dini hari ini Juned agak pening. Sejak dua malam lalu kepalanya pening. Tapi dia enggan istirahat, merasa masih kuat bekerja seperti biasa.
Juned memakai jaket yang dibelikan Warto sebulan lalu.
“Jaket ini pakai untuk beramal sholeh, ya Ned. Aku ingin kecipratan pahalanya,” pesan Warto. Juned tidak tahu apa maksud amal sholeh Warto. Dia cuma tukang sapu, bukan muballigh, bukan kyai. Tidak bisa membantu banyak pada orang lain.
“Bisaku cuman nyapu saja, Mas. Aku ini lho siapa,” Juned tersipu malu. Warto hanya melihatnya sekilas, lalu melengos.
“Ada hamba yang tidak dikenal di bumi, tapi dicinta penduduk langit, Ned.”
“Penduduk langit itu siapa, Mas?”
“Burung dara, kelelawar, pesawat! “ Warto meraih sapunya dan pergi. Juned hanya diam saja, semakin tidak paham. Kadang ingin dia menggunakan jaket itu saat sholat. Tapi malu. Apa iya menghadap Gusti Allah pakai jaket? Rasanya seperti tukang ojek yang menjemput penumpangnya. Juned merasa itu tidak pantas.

Sekarang jaket itu dipakainya. Satu gerakan, satu istighfar. Kedua, ketiga, keempat. Daun-daun mulai merunduk. Angin menukik dan duduk di sela-sela orang-orang yang tidur di emper. Uap dingin menyisih di lekuk-lekuk sela trotoar. Udara hangat melingkupi. Embun tak cair, angin tak beku. Mereka bersanding dengan khusyuk.
Juned menyeret sapu. Meniti satu demi satu bagian area. Tikus mengikuti diam-diam. Kucing menapak pelan-pelan. Daun merunduk searah posisi Juned. Pohon di depannya beringsut mendekat. Pohon di belakangnya maju perlahan. Juned berhenti, menoleh ke belakang. Tak ad apa-apa. Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang. Juend membaca ta’awudz lirih, takut mahluk halus mengganggunya.
Tak ada apa-apa lagi yang bergerak, Juned melanajutkan menyapu. Satu gerakan, satu istighfar. Lidahnya terasa kelu. Dipaksanya beritighfar. Kakinya terasa kaku. Dipaksanya bergerak.
Satu tarikan, dua tarikan. Juned mengusap dadanya yang sejuk. Nafasnya tersengal. Matanya memejam, merasakan satu tarikan yang tajam namun halus. Juned istighfar, lagi dan lagi.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astgahfirullah.”
Tubuhnya melemah, nafasnya meredup. Gagang sapu menegakkan pijakan kuat-kuat, menyediakan diri sebagai pegangan terakhir. Cengkeraman Juned melemah. Tanah di bawahnya menggunung perlahan. Menampung tubuh Juned yang meliuk jatuh. Dahan

Dahan pohon di depan dan di belakangnya merunduk bersamaan. Mereka saling bertaut, seolah menjadi hammock alami. Daun, ranting, batang, mengeluarkan wangi tak biasa. Lembut, halus, dan manis.
Nafas Juned tinggal satu tarikan. Langit terbuka. Juned melihat mahlukberjajar-jajar. Tersenyum melihat ke arahnya. Itu bukan burung dara, bukan burug kelelawar, atau pesawat. Mahluk bercahaya dengan bentuk samar namun terasa indah.
“Astaghfirullah...astaghfirullah.. astaghfirullah.” Daun bersuara, ranting bersuara, batang pohon bersuara. Tikus-tikus berbaris melepas. Kucing berjajar khidmat. Juned memghembus satu nafasnya dalam senyum, dan melambai ke langit.
Bumi tunduk. Angin tunduk. Langit tunduk.

TAMAT

Note:
Cerpen ini dimuat di koran RAdar Jombang Ahad, 7 Oktober 2018.
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.

1 komentar:

  1. Ada hamba yang tidak dikenal di bumi, tapi dicinta penduduk langit.
    Masyaa Allah.. kalimat itu menampar rasanya..

    apa yang bisa disombongkan sebagai manusia yang lemah ?

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.