SHUBUH YANG TUNDUK (BAGIAN 1)

Minggu, Oktober 07, 2018

Terseret-seret sapu di tangan Juned mengikuti gerak tangannya. Kabut masih setia membekap dingin. Ini pagi yang istimewa. Semalam hujan deras, menyisakan genangan di batas jalan.

Sebagian penghuni emper masih meringkuk. Sebagian lainnya sudah mulai beraktifitas. Ada perempuan paruh baya yang berjongkok di tepi jalan, dekat lubang gorong-gorong. Juned membuang muka, mengusir jijik yang menyusup. Ada kakus di ujung perempatan, namun kebanyakan penghuni emper enggan kesana. Terlalu jauh. Dan kakus itu gelap. Sejak ditemukan mayat pengemis di depan pintu salah satu kakus, wc umum itu jadi sepi. Terkesan angker. Cerita-cerita misteri mulai menyebar. Katanya pengemis yang mati itu kembali, mencari kantong uang yang raib dari jasadnya. Atau tentang suara kran yang tiba-tiba menyala di tengah malam, diiringi suara orang mandi.

Ketika Juned menyapu jalan sekitar situ, memang didengarnya suara-suara dari dalam kamar mandi. Juned terkejut berpapasan dengan dua mahluk asing. Rambut awut-awutan dan baju tidak karuan. Refleks Juned melirik tanah. Dua pasang kaki itu menapak. Mereka melengos, bergegas pergi menjauh. Iseng Juned mengintip kamar mandi dari mana mereka keluar. Ada sesuatu teronggok dekat pintu. Mereka pasti bukan mahluk halus. Sebab tak ada jin atau syetan yang meninggalkan jejak alat kontrasepsi bekas pakai. Kecuali manusia berwujud syetan.
Penghuni emper itu beraneka profesinya. Ada penjual durian. Mereka beralas tikar atau hambal. Berselimut atau berjaket. Supir mobil durian tidur nyaman dalam mobil, sementara asistennya harus rela berada di emperan. Ada juga penjual bunga. Ember, keranjang, dan wadah-wadah bunga ditutupi plastik. Penjualnya menyusup diantara barang-barang tersebut. Lumayan terhalang sedikit dari hembus angin malam.

Yang bisa tidur nyenyak juga adalah penjaja tikar pandan. Badan terlindungi dalam gulungan tikar tebal. Tikar-tikar lainnya ditempatkan sedemikian rupa sehingga menjadi benteng dari angin dingin. Mereka berasal dari kecamatan sekitar kota. Memilih bermalam disitu setelah berkeliling seharian menjajakan tikar pandan tradisional itu. Baru akan pulang ke desa asal jika tikar habis terjual. Waktunya tidak pasti. Kadang dua pekan, bisa juga mencapai sebulan.
Juned mengenal sebagian mereka. Area tugansya meliputi jalan utama pusat kota Dimulai pukul tiga dinihari hingga pukul lima pagi. Sebab ini jalan utama, semakin pagi pembersihan diselesaikan semakin baik bagi dirinya.

Awal menjalani profesi ini, Juned tidak berselera makan selama hamir dua pekan. Ia mual mndapati rupa-rupa sampah yang bertebaran. Kantong plastic berisi minuman basi dan berlendir. Nasi berbau busuk yang kocar-kacir dari bungkusnya. Bangkai tikus yang terlindas.
Juga kotoran manusia. Yang terakhir sungguh diluar kemampuannya. Juned tidak mengerti bagaimana bisa manusia buang hajat dimana saja sesukanya. Dan bagaimana cara orang itu bersuci.
Bersuci? Kata-kata itu menjadi bahan tertawaan Warto, rekan sesama pasukan kuning.
“Tak sampai pikiran mereka pada bersuci. Sholat saja tidak! Yang penting buang hajat terpenuhi, selesai!” Waro terbahak-bahak melihat wajah Juned yang melongo.
“Ojo nggumunan ngunu. Hidup di jalan harus tahan banting. Namanya saja jalan, tumpah ruah karakter macam-macam orang,” Warto menyesap kopinya.

Ini yang Juned kagumi dari Warto. Sebagai penyapu jalan, pilihan katanya terasal sulit dan berkelas. Tumpah ruah, lintang pukang, berkelindan. Kosa kata yang membuat Juned manggut-manggut, senang sebab mendapat ilmu baru.
“Sholat dulu, nanti teruskan,” Warto menginngatkan Juned. Juned mengangguk, tapi meneruskan pekerjaannya.
“Hei, mandeg! Pekerjaan bisa dikerjakan nanti, sholat terbatas waktu! Ayo!” Tatapan tajam Warto tidak berani dilawannya. Gemetar Juned meletakkan sapu dan hampir berlari mendekati Warto. Takut hatinya mendengar gelegar suara laki-laki itu.
“Pakai ini,” warto menyodorkan bungkusan kresek hitam. Sarung bagus, wangi sekali.
“Setiap hari kubawa, siapa tahu ada yang membutuhkan.” Juned hanya mengangguk saja. Sholat jamaah shubuh di langgar kecil itu hanya berisi dua shaff saja. Juned mengikuti imam dengan hati-hati. Sudah lama tidak sholat, Juned takut salah gerakan.
“Shalat shubuh tidak pernah qunut?” Warto bertanya ketika keluar dari langgar. Juned hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa. Malu hati, sebab di rakaat kedua ia buru-buru sujud, padahal imam membacakan doa qunut. Juned lupa dengan kebiasaan saat di madrasah dulu. Pertanyaan Warto tidak akan dijawabnya. Kalau dia bilang lupa, Warto akan tahu bahwa ia sering meninggalkan sholat. Juned tidak ingin memberi kesan buruk pada Warto.

Sejak saat itu, Juned terpaksa sholat shubuh berjamaah tepat waktu. Hanya jika ada Warto saja. Saat Warto izin, tidak masuk, Juned merasa merdeka. Dia bisa selesaikan bagian tertentu dahulu, baru menuju mushalla. Kadang karena keasyikan menyapu, shalat shubunhya mendekati pukul setengah enam. Ada rasa tak nyaman di hati, tapi Juned memilih tak peduli. Sampai dini hari itu.
Juned melihat kecelakaan. Ada induk kucing menyeberang jalan, diikuti lima ekor anaknya. Dari arah selatan melaju sepeda motor berkecepatan tinggi, menyerempet satu diantaranya. Anak kucing itu berputar-putar kencang, seolah dipusar oleh angin. Induk kucing dan anak kucing lainnya berhenti, terpaku memandang ssambil mengeong-ngeong keras. Kucing kecil malang itu masih berpusar, dengan badan kejang-kejang.
Juned bergegas berlari dan mengangkat. Menyimpannya di tepi trotoar. Kawanan kucing itu mengikuti, lalu berdiri mengelilingi tubuh kecil yang nafasnya mulai berat. Tersengal-sengal, kakinya berkelenjotan. Sang induk menjilati tengkuk anaknya yang tengah sakaratul maut.
Pemandangan itu menghentikan rutinitas Juned sesaat. Proses sakaratul maut kucing tak berdosa itu menyentakkannya. Perhatian induk kucing dan saudara-saudaranya mencubit kesadaran. Tentang kesendirian menghadapi kematian. Tentang rasa sakit yang tergambar dari kelonjotan badan kucing kecil tadi.

Juned terpaku, hingga penabrak tadi kembali. Seorang penjual tempe.
“Wis mati, Mas?” tanya dia. Juned mengangguk lunglai.
“Saya kubur nanti. Panjenengan teruskan saja ke pasar,” Juned berniat memudahkan penjual tempe itu.
“Jangan Mas, saya saja yang bawa. Saya kubur di rumah. Saya takut kuwalat,” penjual tempe itu mengambil daun pisang di rengkeknya. Membungkus pelan-pelan, lalu memasukkan ke dalam kantung kresek hitam.
Juned hendak protes masalah kantung kresek itu. Rasanya kurang pantas membawa kucing mati dengan cara demikian. Tapi si penjual tempe bergegas pergi. Beberapa saat Juned terduduk. Hatinya tertampar. Tubuh kucing yang mengejang, berputar-putar itu masih membayang di matanya. Kucing tak kenal dosa saja matinya tampat sulit dan menyakitkan. Bagaimana proses mati dia kelak? Seperti apa dia mati nanti? Kapan? DImana? Bagaimana caranya? Siapa yang menemaninya menghadapi sakaratul maut?

BERSAMBUNG

Note:
Cerpen ini dimuat di Radar Jombang tanggal 07 Oktober 2018.
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.