BULAN BAHASA: SANTUN BERBAHASA

Selasa, Oktober 16, 2018
Bulan Oktober ini, adalah bulan bahasa.
Ada himne bahasa Indonesia. Liriknya mengenai rasa syukur atas anugerah bahasa Indonesia di negeri ini. Coba deh search.
Urusan berbahasa, saya menemukan banyak pengalaman, yang sebagiannya berkaitan dengan kesantunan berbahasa.
Saya tulis ya, mumpung momennya pas, yaitu Bulan Bahasa.



INILAH DIA
“Kalau menulis pesan, yang lengkap ya. Jangan disingkat-singkat,” petuah saya pada anak-anak.
Beberapa kali saya menegur siswa yang mengirim saya pesan lewat WA dan bahasanya kacau balau.
“Bu, pean besok di sekolah?”
“Nak, jangan pakai sebutan ‘sampean’, apalagi ‘pean’. Jauh lebih sopan jika memanggil ‘panjenengan’.”
“Oh, nggeh, Bu. Maaf.”
Bukan saya gila hormat, hingga meminta dipanggil ‘panjenengan’. Pean, singkatan dari sampeyan, adalah panggilan yang dianggap halus, ketimbang ‘awakmu’ atau ‘kowe’. Tapi tetap saja, memanggil orang yang lebih tua (bahkan jauuuh lebih tua) dengan sebutan ‘pean’ itu kasar dan tidak sopan.

KESANTUNAN BERBAHASA
Beberapa hari lalu Bu Ahrisah, salah satu rekan guru Bahasa Inggris, berdiskusi perihal konsep kesantunan berbahasa. Bay de way, Bu Ahrisah ini guru yang asyik untuk berdiskusi berbagai hal. Beliau openminded, suka baca, dan pengetahuannya cukup luas. Terutama jika membahas masalah adab dan akhlaq para siswa.
“Saya dulu membuat tulisan tentang kesantunan berbahasa, artikel ilmiah,” kata Bu Ahrisah.
“Pinjam, boleh?”
“Boleh, besok saya bawakan.”
Kesantunan Bahasa menunjukkan ketinggian adab seseorang. Bahasa yang digunakan bergantung sepenuhnya pada nilai-nilai moral dan spiritual yang dianut. Dalam satu kesempatan mengajar, saat mengerjakan tugas berkelompok, seorang siswa diganggu temannya.
“%$@*&^!!” Umpatannya keluar. Saya terdiam, kaget.
“Lhoooo… Dia mengumpat, Bu!” Salah satu mengadu.
Anak-anak yang lain menunggu reaksi saya. Memandangi saya, dan kelas jadi sunyi sejenak.
Saya ikut terdiam. Memikirkan apa yang akan saya sampaikan. Memandang si pengumpat dengan penuh keprihatinan..
“Jangan mengumpat laah,” kata saya, tercekat. Maunya sih emosi, marah, gitu. Tapi ada hal yan jauh lebih penting untuk disampaikan ketimbang marah-marah.
“Bahasamu, itu menunjukkan kualitas dirimu. Tidak akan berkata buruk, kecuali orang yang buruk,” begitu kira-kira yang saya sampaikan.
“Iya, Bu. Maaf,” anak itu merunduk-runduk.
“Berlatihlah untuk mengucapkan kalimat thayyibah secara refleks. Reaksi spontan kita itu diri kita yang asli. Jika reaksi spontan saat mengalami sesuatu yang tdiak enak adalah umpatan, ya begitu aslimu. Biasakan, latih. Perlu dilatih dengan kuat agar yang muncul itu kalimat yang bagus, bukan kalimat yang buruk-buruk Jangan berpikir keburukan kalimat kita akan membuat lawan kita menjadi buruk. Nggak. Yang kita umpat mah gak ngaruh, dia tetap seperti dia adanya. Keburukan kalimat kembali pada pengucapnya. Kembali pada pelakunya. Gak kemana-mana,” tambah saya.
“Lhaaaa, dengarkan!” Teman di sebelahnya menunjuk-nunjuk. Si pelaku senyum-senyum keki.
“Jangan diulang ya,” kata saya. Kali ini, dengan penekanan yang dalam, dalaaaam sekali.
“Iya Bu, maaf.”

Selesai. Pelajaran berlanjut.

BERSAMBUNG, YES.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.
Selasa, 16 Oktober 2018 21.11 WIB

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.