SHUBUH YANG TUNDUK (BAGIAN 3)

Minggu, Oktober 07, 2018


Di bawah joglo sebelah barat alun-alun, Juned sudah menunggu lima belas menit. Warto muncul dari arah utara sambil. Berdua bergegas menuju ruang utama masjid. Pengajian itu menjadi pengalaman berkesan bagi Juned. Terutama pada bagian wejangan mengenai kematian.
“Istiqomah dalam kebaikand an amal sholih adalah jalan menuju husnul khotimah. Mulailah dengan amal sederhana tapi rutin. ” Kalimat itu dicatat dengan huruf besar, dan diberi garis bawah. Juned menempelnya di bagian dalam pintu rumahnya. Berharap bisa membaca tulisan itu setiap kali hendak keluar rumah.

Juned kini menyapu dengan gaya baru: satu sapuan, satu istighfar. Baginya ini adalah amalan dzikir paling ringan. Dia mengingat dosa-dosanya terdahulu: tidak lengkap sholat lima waktu, puasa bolong-bolong, sholat jumat semaunya saja. Kadang-kadang berangkat dari rumah memakai peci dan sarung, namun tidak masuk ke masjid, melainkan berbelok ke desa lain. Hanya duduk-duduk saja di warung. Sengaja mencari warung di desa lain supaya tidak bertemu tetangga.

Seiring intentsitas istighfarnya dari hari ke hari, Juned semakin peka terhadap sampah. Makan bakso di warung, dia akan membersekan mejanya sendiri. Membuang sampah-sampahnya ke tempat sampah, lalu melap meja hingga bersih. Mangkok dan gelas es disusun rapi di tengah. Juned juga tak mau lagi menyisakan makanan atau minuman.
Menghadiri pesta kawinan, Juned akan melakukanapa yang bisa dijangkaunya. Di desa masih banyak pesta jam rilex, dengan meja-meja yang ditata menyerupai meja di rumah makan. Juned melihat bawah meja. Kulit pisang, gelas plasik air mineral, daun bungkus nogosari, lemper, plastik madu mongso. Kaki Juned akan diam-diam mengais-ngais, mengumpulkan ceceran sampah bawah meja itu ke satu sudut. Walau cuma itu, Juned merasa lega. Setidaknya sampah di bawah mejanya sudah tertangani, walau hanya untuk saat itu.
Jika yang punya hajat adalah kerabatnya, maka Juned akan sigap mengawasi. Menyisihkan sampah-sampah dengan cara halus. Sehingga tempat pesta relatif bersih dan tidak jorok.

Pengajian di masjid Jami tetap rutin diikuti. Juned tidak paham semua yang disampaikan Kyai. Yang dilakukannya adalah mencatat kalimat-kalimat yang ingin diterapkannya. Juned tidak bisa mengingat cepat dan banyak dalam satu waktu. Jika dia mencatat satu kalimat, maka kalimat Kyai berikutnya akan terlewat. Sebab itu, jika tidak penting sekali, Juned enggan mencatat.
Dia lebih suka mendengarkan lalu memilih bagian-bagian yang dianggapnya penting untuk dicatat. “Bekerjalah, maka Allah, RasulNya dan orang-orang beriman yang akan melihat.” Itu satu catatan kesuakaannya. Dawuh Kyai itu menjadi semangat barunya dalam bekerja .
Jalan yang menjadi tanggung jawabnya semakin bersih. Sobekan-sobekan kecil apa pun , disapunya dengan baik. Daun-daun dipisahkan, disisihkan di sudut tertentu. Juned juga rajin menyentuh pohon, mengucapkan salam lirih. Mengelus batangnya pelan dan menggumamkan shalawat. Baginya pohon itu adalah teman, teman menyapu setiap pagi. Kelak Juned yakin pohon itu akan menjadi saksi apa yang dilakukannya. Ia berharap kesaksian pohon tersebut adalah kesaksian yang baik. Sebab itu ia sering menyapa, bermaksud menjalin pertemanan yang baik dengannya.
Sesekali Juned membelikan sarapan orang-orang emper. Diam-diam menyelimuti nenek-nenek yang meringkuk dengan selimut usang yang dibawanya dari rumah. Kali lain ia meletakkan sarung di sebelah pak Yono yang sedang tertidru pulas pukul tiga. Pak Yono adalah kakek tua yang mulai rajin ikut sholat jamaah di mushalla. Juned merencanakannya semua kebaikannya secara seksama, dan melakukan diam-diam. Tak ingin ada yang tahu.

Tanpa disadarinya, ada yang membuka mata. Memperhatikan kebaikan sepi Juned dan mencatatnya dengan rapi.
Tikus di lubang bawah trotoar biasa mendekam di situ setiap dini hari. Kucing hitam yang biasa berdiri di depan toko emas, meringkuk dekat gerobak rokok. Pemilik gerobak juga tertidur pulas. Suara lagu dangdut keluar hape di dekat kepalanya.
Suara dangdut itu, pada pukul tiga suatu hari, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Alam membeku, begitu Juned muncul. Satu sapuan, angin menyela di antara gedung, menukik ke bawah pohon dan berpusar menderu. Satu sapuan, embun menepi ke daum-daun paling bawah. Merembet ke pucuk terdekat dengan kepala Juned. Satu sapuan, kucing melingkar, kepalamya bertengger di atas dua kaki depannya, telinga tegak. Satu sapuan, tikus mengeluarkan isyarat, dan sanak kerabatnya berjajar mendekati tepi trotoar.

Angin berduyun-duyun datang, memasang tabir halus dan menyelimuti sejuk. Juned masih menyapu, dengan istighfar tak putus-putus. Udara di sekitar Juned hangat dan ramah, tapi Juned tidak merasainya.

BERSAMBUNG
Note:
Cerpen ini dimuat di koran Radar Jombang hari Ahad, 7 Oktober 2018
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.