ZEFANYA

Selasa, Oktober 16, 2018

“Ibu, PTS model begini ini atas usul siapa sih? “ Zefanya, murid saya yang jago Bahasa Inggris, bertanya.
“Kenapa?”
“Ada PTS, ada KBM. Sementara banyak tugas juga. Kita kan bingung bagaimana mengaturnya. Apa duluan yang dikerjakan,” katanya, dengan wajah berkerut serius.
“Begini. Sudah lama PTS model begini ini dilakukan di SMKN 3. WAktu saya mengajar di sana, sekitar empat tahun lalu, PTS tidak ada jadwal khusus. Ya di tengah-tengah KBM begini. Bahkan guru menggandakan soal sendiri.”
“Membingungkan, Bu. Guru-guru ada yang memberikan tugas banyak-banyak.”
“Kenapa tidak coba nego? Sampaikan baik-baik pada beliau, bahwa kalian masih menyesuaikan diri denagn system PTS yang baru, dan mintalah pengunduran waktu pengumpulan tugasnya. Sampaikan secara personal, jangan di depan kelas.”
“Tidak berani,” katanya malu-malu.
“Coba saja, dengan Bahasa yang sopan dan halus. InsyaaAllah beliau mengerti.”

Diskusi terus berlangsung, Zefanya mengajukan pertanyaan lain sekaligus curhat. Termasuk tentang kebiasaan satu dua guru yang jarang masuk, tapi getol memberi tugas dengan batas waktu yang menyulitkan.
Bay de way, paham kan PTS itu apa? Penilaian Tengah Semester, alias UTS. PTS sebelumnya memang dengan jadwal khusus. Biasanya meghabiskan waktu hampir dua pekan. Satu hari sekitar 2 sd 3 bidang studi.
Mulai tahun ini berbeda. Tidak ada penjadwalan khusus. Hanya diberi ketentuan : pekan pertama untuk bidang studi yang ada di jam pertama hingga jam kelima. Pakan kedua bagi bidang studi yang ada di jam keenam hinga jam kesebelas.

Kali lain, dalam kegiatan pemberian motivasi, Zefanya juga bertanya. Motivasi ini khusus diikuti oleh 27 siswa yang masuk dalam kategori terbaik di jurusan masing-masing. Masing-masing jurusan memilih empat hingga enam siswa. Mereka semua diproyeksikan untuk merebut posisi sepuluh besar tingkat Jawa Timur pada Ujian Nasional 2019.
“Mohon maaf jika pertanyaan ini agak kasar. Sebenarnya untuk apa kami dikumpulkan dan dipilih? Sebab rasanya, jika hanya untuk mengejar nilai UN, kok gak worthy banget,” katanya. Ia menyebut kata ‘worthy’ dengan suara pelan. Mungkin takut menyinggung perasaan saya selaku penyelenggara. Saya tersenyum saja. Tiga tahun mengajar di kelasnya, saya mengenal Zefanya.
Zefanya berbeda dengan teman-temannya. Dia tenang, serius, dan sungguh-sungguh. Sikapnya dewasa. Cara berpikirnya dalam dan kritis. Saya memberi ruang padanya untuk bertanya dan berdiskusi.

“Itu, pertanyaan model Zefanya, kalau disampaikan pada guru yang emosional, bakalan dimarahi dia!” Komentar pembicara pada saya. Tentu saja tidak di forum itu, tapi dalam kesempatan berbincang mengevaluasi motivasi itu bersama- sama.
Saya sepakat dengannya.
Pertanyaan yang kritis demikian, memancing emosi jika dipandang dari sudut yang kurang pas. Kesannya meragukan, tidak percaya, atau meremehkan keputusan guru.
Bagus dia bertanya secara langsung dan terbuka, agar mendapat pandangan lain yang akan membuatnya lebih bijaksana dalam menilai segala sesuatu.

Pertanyaan itu dijawab oleh pemateri. Saya tulis di tulisan berikutnya saja yes.
Beruntung punya murid sekritis dia. Membuat saya belajar mencari alasan yang 'worthy' bagi mereka. Juga menjadi pelajaran, agar kami para guru, bisa mengambil langkah yang tepat dalam menanggapi keluh kesah siswa. Siswa juga punya hak menyampaikan pendapat dan pandangan. Tinggal diarahkan saja, agar penyampaiannya bijaksana, fokus, terarah, tidak emosional, dan tidak 'ngambrak nang kawul-kawul'. Ketrampilan demikian perlu dilatih. Dan sebagai guru, kita pun perlu melatih diri untuk memberikan teladan. Agar mereka mendapatkan contoh riil bagaimana hal tersebut dilakukan.
Menjadi bijaksana itu pilihan, dan perlu latihan.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.