BUKAN SEKADAR BAGI DAGING
“The
greatest tragedy is not death, but life without purpose.”
Katakanlah
ada perbedaan sosio kultural, pengalaman, pola asuh antara anak ‘zaman dahulu’
dengan anak ‘masa kini’. Yang jadi pertanyaan adalah: apakah yang dilakukan
orang tua saat itu, hingga anak mampu berpikir dewasa dan matang di usia belia?
Atau pertanyaan lain: bagaimana kondisi sosio kultural saat
itu, hingga mampu memunculkan lingkungan
kondusif bagi anak untuk tumbuh secara matang?
Pertanyaan
itu bisa ditemukan jawabannya dalam sirah nabawi. Tentu tidak bisa langsung
ditemukan, jika baru sekali dua kali membaca. Atau baru satu dua sumber saja
yang dijelajahi. Silakan mencari, semoga Allah subhanahu wata’ala mudahkan.
Kisah lain,
tentu saja Ismail ‘alaihissalam. Kelahirannya dikabarkan dengan diksi ghulam halim, anak sabar. Ismail ‘alaihissalam diberi kabar Ibrahim ‘alahissalam tentang
perintah menyembelihnya. Sebagian meyakini, usia Ismail ‘alaihissalam saat itu
14 tahun. Sebagian lagi menyebutkan angka di bawah 10 tahun.
“Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." [QS. As-Shaffat: 102].
Perhatikanlah,
betapa matang dan dewasanya cara berpikir Ismali ‘alaihissalam. Barangkali dalam hati terbersit: ‘Jelas matang dan alim, wong dia nabi!” Semua nabi dan rasul dari
kalangan manusia, yang perlu makan, butuh rasa aman, kasih sayang, melakukan
kawin dan beranak pinak. Normal. Bedanya pada keluhuran jiwa dan kekuatan iman
yang dahsyat. Diturunkan demikian sebagai contoh dan teladan bagi manusia.
Artinya, ketaatan yang para nabi lakukan bukan mustahil juga bisa kita tiru,
walau levelnya tidak setinggi mereka.
![]() |
Gambar dari PIXABAY |
Jadi apa yang hendak saya tulis?
Saya meyakini, kemampuan pemuda Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Ismail ‘alaihissalam itu tidak tumbuh begitu saja. Kecakapan mengambil keputusan dengan pikiran lurus, jernih, tegak di atas bimbingan Allah subhanahu wata’ala menyeret minat untuk mencermati bagaimana mewujudkan itu.
Ismail
‘alaihissalam dilahirkan dari orang tua yang sholih dan sholihah. Ali bin Abi
Thalib, kedua orang tua saat itu berbeda keyakinan dengannya. Namun ia sangat
dekat dengan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan terkoneksi secara
intensif dengan lingkungan baik. Mereka
berdua salah dua contoh kukuhnya aqidah. Tinggi nilai tauhid dalam qalbu.
Dua hal:
orang tua sholih, dan atau lingkungan yang kondusif. Dua hal yang layak diperjuangkan
oleh orang tua mana pun yang ingin mendapatkan anak sholih. Orang tua sebagai
teladan; menjadi role model bagi
anak-anak. Namun teladan saja tidak cukup. Orang tua perlu memberikan narasi
secara kontinyu agar nilai tauhid tertanam kuat dalam hati.
Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi
merupakan sebuah kalimat deklarasi/pengakuan seorang muslim, kalimat pembeda
seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan musyrik. Sebuah perbedaan yang
lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan meyakini dengan sungguh-sungguh
kebenaranNya dengan mewujudkan dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari
ketetapan Ilahi.
Abu A’la Al
Maududi menyebutkan pengaruh aqidah tauhid sebagai berikut:
a.
menjauhkan manusia
dari pandangan yang sempit dan picik,
b.
menanamkan kepercayaan
terhadap diri sendiri dan tahu akan harga diri,
c.
membentuk manusia
jujur dan adil,
d.
menghilangkan sifat
murung dan putus asa,
e.
membentuk pendirian
yang teguh, kesabaran.
Tauhid mengajarkan hidup terarah,
bertujuan jelas dan pasti. Sebagaimana kutipan di atas, tragedi terbesar
bukanlah kematian, tetapi hidup yang tanpa tujuan. Mukmin yang kukuh aqidah tauhid, menyambut
kematian dengan suka cita. Mereka akan memasuki kehidupan akhirat yang merupakan momen indah bertemu Kekasih,
Zat Mahaagung.
‘Idul Adha dapat dijadikan sebagai
momentum penguatan aqidah bagi keluarga. Bacakanlah kisah Ibrahim
‘alaihissalam dan Ismali ‘alaihissalam, garisbawahi pada ketaatan, kekukuhan
iman dan aqidah tauhid. Kisahkan dengan gamblang bagaimana efek perintah
menyembelih jika dilihat dari tinjauan
ilmiah psikologis bagi manusia. Ini bukan perintah main-main. Dijadikan
peristiwa itu lalu diberitakan melalui Al Quran bukan kebetulan. Semata-mata
Allah subhanahu wata’ala hendak pelajaran bagi manusia.
Jika nilai-nilai tauhid itu
ditanamkan secara intensif di keluarga, maka ibadah bukan lagi sekadar
rutinitas. Anak-anak akan mencari, menemukan dan menguatkan terus menerus
alasan besar di baliknya. Sebagaimana halnya kurban, mereka akan meresapi makna
secara dalam. Sehingga berkurban bukan sekadar membagi daging. Penyembelihan,
pembagian daging dan ritual lain yang mengiringi, semata-mata menjadi wasilah
meninggikan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Wallahu’alam
bishshawab.
Tidak ada komentar: