IMUNISASI

Rabu, Januari 13, 2016
Ada surat dari sekolah. Diberikan hari Senin, 11 Januari 2016. Isinya tentang informasi imunisasi untuk kelas 1 dan 3.

"Aku gak mau masuk! Gak mau disuntik," kata Hafidz.

"Aku juga," Zahra menimpali. Mulutnya manyun, dan duduk sambil bersungut-sungut.

Saya tidak berkata apa-apa. Surat itu diletakkan begitu saja di meja.

Selasa sore, kami ke rumah sakit Wilujeng, Kediri. Mbah Uti dirawat disana. Hafidz, Zahra dan Najma ikut.

Di rumah sakit, ada Mbah lain, adik  Mbah Uti. Mbah Uti sendiri sudah beberapa hari tidak sadarkan diri.

Kami menunggu di kamarnya hingga pukul tujuh malam.

"Aku besok gak mau masuk ya, " Hafidz mengulang lagi pernyataannya.

"Masa anak laki takut sama suntik," kata ayah.

"Biarin. Aku gak mau," Hafidz menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Eh, dulu sunat berani. Masa suntik takut. Lebih sakit sunat lho!" kata Ayah lagi.

"Gak sama, sakitan suntik. Aku kan sudah lupa sama sakitnya sunat... Kalau disuntik itu, masih terasa...juusss...jusss... Hiiy..."

Kami tertawa. Diskusi tentang imunisasi tidak ada titik temunya. Dia tetap bersikukuh tidak mau imunisasi.
Kami sendiri tidak masalah jika anak-anak tidak diimunisasi diusia besar begini. Maka, kami tidak melakukan 'pemaksaan' apa-apa atas keengganan mereka.

Rabu pagi, menjelang mandi, Hafidz tiba-tiba bertanya: "Sudah beritahu ustadzah? Aku gak mau suntik."

Oh ya, baik. Saya wa ustadzah.

"Sudah dibalas?" itu ditanyakan ketika hendak memakai seragamnya.

"Belum," saya menjawab singkat, lalu meneruskan pekerjaan lain.

"Sudah dijawab ustadzah?" Hafidz bertanya lagi sekian menit kemudian. Mungkin ia ingin berangkat dalam keadaan yakin bahwa tidak akan dipaksa imunisasi.

"Belum, tapi ustadzah sudah paham," jawab saya. Di WA group, Ustadzah Amnah meminta wali murid yang tidak ingin anaknya diimunisasi untuk memberikan konfirmasi.

"Jadi aku nanti ndak dipaksa suntik, ya?" katanya.

"Apa kata Ustadzah?" Hafidz masih penasaran.

"Ngge," saya menyebutkan respon Ustadzahnya.

Dia berangkat dengan riang.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.