JUNGKAT KUNGKIT LANGIT
Pak Sinar, seorang tukang kayu, memiliki 2 anak,
yaitu Damar dan Sakti. Isteri Pak Sinar meninggal beberapa bulan lalu. Pak Sinar
sering melamun memikirkan isterinya.
“Andai Ibumu ada disini,” katanya berulang-ulang. Akibat sering melamun, Pak Sinar tidak
bersemangat bekerja. Damar dan Sakti
sering berusaha membantu menjualkan hasil kerja Pak Sinar. Tapi karena kerja
Pak Sinar seadanya, hasil penjualan itu tidak seberapa.
Suatu hari Damar masuk ke dalam
hutan. Sore hari ia kembali membawa sebatang kayu yang besar. Selama beberapa
hari, Damar sibuk memotong-motong kayu
tersebut. Satu buah kayu memanjang, paling besar diantara yang lain. Lalu ada
beberapa yang pendek.
Pak Sinar memperhatikan. Sakti
sesekali membantu Damar.
“Apa yang
akan kau buat?” tanya Pak Sinar suatu
waktu.
“Jungkat-jungkit,”
jawab Damar.
“Jungkat-jungkit?
Untuk siapa?” tanya Pak Sinar keheranan.
“Untuk aku
dan Sakti,” tukas Damar lagi.
“Kalian kan
sudah besar, untuk apa bermain jungkat-jungkit lagi?” Pak Sinar mentertawakan.
Damar diam saja. Ia dan Sakti
terus bekerja. Beberapa hari kemudian, jungkat-jungkit itu jadi. Sebuah
jungkat-jungkit yang besar dan kokoh. Jungkat-jungkit itu diletakkan di halaman
rumah. Saat siang hari, banyak anak-anak bermain di sana. Mereka suka naik
jungkat-jungkit itu, karena jungkat-jungkit itu tinggi. Lebih tinggi dari
jungkat-jungkit mana pun.
“Untuk apa
kau buat jungkat-jungkit setinggi itu?” tanya Pak Sinar.
“Itu bukan
jungkat-jungkit biasa, Pak. Itu jungkat-jungkit langit, “ jawab Damar.
“Jungkat-jungkit
langit?” Pak Sinar semakin heran.
“Aneh!”
kata Pak Sinar sambil meninggalkan Damar
sendiri.
Suatu malam, Damar dan Sakti keluar rumah. Mereka berdua menuju halaman. Pak
Sinar diam-diam mengintip dari jendela kamarnya. Damar dan Sakti naik ke jungkat-jungkit
itu dan mulai memainkannya. Mereka terus memainkannya hingga larut. Pak Sinar
tertidur karena lelah.
Esok pagi, Pak Sinar terkejut.
Di meja makan, tersedia pepes ikan kesukaannya. Pepes ikan yang biasa dimasak
istrinya dahulu. Rasanya juga mirip!
“Dari mana
kalian dapatkan ini?” tanya Pak Sinar pada Damar.
“Dari Ibu!”
jawaban Damar mengejutkan Pak Sinar.
“Bagaimana
bisa kalin menemui Ibu?” Pak Sinar penasaran sekali.
“Menggunakan
jungkat-jungkit langit!” Damar menjawab lagi. Apa-apaan ini, naik jungkat
jungkit langit?
“Kalian
mimpi!” Pak Sinar sangat marah karena merasa dibohongi.
Damar dan Sakti diam saja, tidak menanggapi kemarahan Pak
Sinar. Mereka bekerja seperti biasa. Dan Pak Sinar duduk melamun, seperti
biasanya. Kelezatan pepes ikan tadi
mengingatkan Pak Sinar pada
isterinya. Pak Sinar merasa semakin
rindu.
Beberapa malam kemudian, Damar
dan Sakti kembali keluar rumah. Pak Sinar lagi-lagi mengintip dari jendela
kamarnya. Selama beberapa waktu, tidak ada apa pun yang terjadi. Pak Sinar tertidur.
Pagi hari, didapatinya sup ayam kesukaannya
terhidang di atas meja. Pak Sinar makan dengan lahapnya.
“Kau sudah
pintar masak, rupanya. Rasa sup ini seperti sup buatan ibumu,” puji Pak Sinar.
“Ibu yang
memberi resepnya, Pak,” jawab Sakti.
“Apa? Kalian
naik jungkat-jungkit langit dan bertemu
Ibu, begitu?” Pak Sinar berkata dengan marahnya. Damar dan Sakti diam menunduk.
Malam itu, ia bertekad akan terjaga hingga pagi. Pak Sinar ingin tahu, apa yang
dilakukan oleh Damar dan Sakti.
Tapi sayang, niat Pak Sinar
tidak kesampaian. Karena kurang gerak dan hanya makan-tidur saja seharian,
badan Pak Sinar tidak bugar. Terasa lemas dan gampang mengantuk.Maka selepas
petang, Pak Sinar telah tertidur lelap.
“Sst, ayo pergi!” ajak Damar pada Sakti. Mereka berdua mengendap-endap
keluar rumah. Damar dan Sakti cepat-cepat pergi dan menghilang di kegelapan.
Esok hari, Pak Sinar bangun
karena mencium aroma yang sangat disukainya. Aroma bubur ayam yang lezat. Pak
Sinar bergegas bangun dan langsung menuju
meja makan.
“Kalian bertemu Ibu lagi?” tanya
Pak Sinar. Damar dan Sakti mengangguk.
“Tidak mungkin! Kalian
berbohong!” bentak Pak Sinar.
“Kalau Ibu tidakmungkin hidup
lagi, kenapa Bapak terus menerus bersedih?” Damar bersuara.
“ Ya Pak. Kalau Ibu tahu Bapak murung terus, pasti Ibu tidak suka,”
kali ini Sakti yang berkata.
Pak Sinar terdiam. Ia tahu,
walaupun kehilangan, seharusnya ia tidak bersikap murung dan lalai bekerja.
Pak Sinar memeluk Damar dan
Sakti. Ia berjanji, akan bekerja giat lagi!
Tidak ada komentar: