JUNGKAT KUNGKIT LANGIT

Jumat, Januari 01, 2016




      Pak  Sinar, seorang tukang kayu, memiliki 2 anak, yaitu Damar dan Sakti.  Isteri Pak Sinar  meninggal beberapa bulan lalu. Pak Sinar sering melamun memikirkan isterinya.
“Andai Ibumu ada disini,” katanya berulang-ulang.  Akibat sering melamun, Pak Sinar tidak bersemangat bekerja.  Damar dan Sakti sering berusaha membantu menjualkan hasil kerja Pak Sinar. Tapi karena kerja Pak Sinar seadanya, hasil penjualan itu tidak seberapa.
                Suatu hari Damar masuk ke dalam hutan. Sore hari ia kembali membawa sebatang kayu yang besar. Selama beberapa hari, Damar  sibuk memotong-motong kayu tersebut. Satu buah kayu memanjang, paling besar diantara yang lain. Lalu ada beberapa yang pendek.
                Pak Sinar memperhatikan. Sakti sesekali membantu Damar.
“Apa yang akan kau buat?” tanya Pak Sinar  suatu waktu.
“Jungkat-jungkit,” jawab Damar.
“Jungkat-jungkit? Untuk siapa?” tanya Pak Sinar keheranan.
“Untuk aku dan Sakti,” tukas Damar lagi.
“Kalian kan sudah besar, untuk apa bermain jungkat-jungkit lagi?” Pak Sinar mentertawakan.
                Damar diam saja. Ia dan Sakti terus bekerja. Beberapa hari kemudian, jungkat-jungkit itu jadi. Sebuah jungkat-jungkit yang besar dan kokoh. Jungkat-jungkit itu diletakkan di halaman rumah. Saat siang hari, banyak anak-anak bermain di sana. Mereka suka naik jungkat-jungkit itu, karena jungkat-jungkit itu tinggi. Lebih tinggi dari jungkat-jungkit mana pun.
“Untuk apa kau buat jungkat-jungkit setinggi itu?” tanya Pak Sinar.
“Itu bukan jungkat-jungkit biasa, Pak. Itu jungkat-jungkit langit, “ jawab Damar.
“Jungkat-jungkit langit?” Pak Sinar semakin heran.
“Aneh!” kata Pak Sinar sambil  meninggalkan Damar sendiri.
                Suatu malam, Damar dan Sakti  keluar rumah. Mereka berdua menuju halaman. Pak Sinar diam-diam mengintip dari jendela kamarnya. Damar dan Sakti naik ke jungkat-jungkit itu dan mulai memainkannya. Mereka terus memainkannya hingga larut. Pak Sinar tertidur karena lelah.
                Esok pagi, Pak Sinar terkejut. Di meja makan, tersedia pepes ikan kesukaannya. Pepes ikan yang biasa dimasak istrinya dahulu. Rasanya juga mirip!
“Dari mana kalian dapatkan ini?” tanya Pak Sinar pada Damar.
“Dari Ibu!” jawaban Damar mengejutkan Pak Sinar.
“Bagaimana bisa kalin menemui Ibu?” Pak Sinar penasaran sekali.
“Menggunakan jungkat-jungkit langit!” Damar menjawab lagi. Apa-apaan ini, naik jungkat jungkit langit?
“Kalian mimpi!” Pak Sinar sangat marah karena merasa dibohongi.
                Damar dan Sakti  diam saja, tidak menanggapi kemarahan Pak Sinar. Mereka bekerja seperti biasa. Dan Pak Sinar duduk melamun, seperti biasanya. Kelezatan pepes ikan tadi   mengingatkan Pak Sinar  pada isterinya.  Pak Sinar merasa semakin rindu.
                Beberapa malam kemudian, Damar dan Sakti kembali keluar rumah. Pak Sinar lagi-lagi mengintip dari jendela kamarnya. Selama beberapa waktu, tidak ada apa pun yang terjadi.  Pak Sinar tertidur.
                Pagi  hari, didapatinya sup ayam kesukaannya terhidang di atas meja. Pak Sinar makan dengan lahapnya.
“Kau sudah pintar masak, rupanya. Rasa sup ini seperti sup buatan ibumu,” puji Pak Sinar.
“Ibu yang memberi resepnya, Pak,” jawab Sakti.
“Apa? Kalian naik jungkat-jungkit langit  dan bertemu Ibu, begitu?” Pak Sinar berkata dengan marahnya. Damar dan Sakti diam menunduk. Malam itu, ia bertekad akan terjaga hingga pagi. Pak Sinar ingin tahu, apa yang dilakukan oleh Damar dan Sakti.
                Tapi sayang, niat Pak Sinar tidak kesampaian. Karena kurang gerak dan hanya makan-tidur saja seharian, badan Pak Sinar tidak bugar. Terasa lemas dan gampang mengantuk.Maka selepas petang, Pak Sinar telah tertidur lelap.
“Sst, ayo pergi!” ajak Damar pada Sakti. Mereka berdua mengendap-endap keluar rumah. Damar dan Sakti cepat-cepat pergi dan menghilang di kegelapan.
                Esok hari, Pak Sinar bangun karena mencium aroma yang sangat disukainya. Aroma bubur ayam yang lezat. Pak Sinar bergegas bangun dan langsung menuju  meja makan.
                “Kalian bertemu Ibu lagi?” tanya Pak Sinar. Damar dan Sakti mengangguk.
                “Tidak mungkin! Kalian berbohong!” bentak Pak Sinar.
                “Kalau Ibu tidakmungkin hidup lagi, kenapa Bapak terus menerus bersedih?” Damar bersuara.  
“ Ya Pak. Kalau Ibu tahu Bapak murung terus, pasti Ibu tidak suka,” kali ini Sakti yang berkata.
                Pak Sinar terdiam. Ia tahu, walaupun kehilangan, seharusnya ia tidak bersikap murung dan lalai bekerja.
                Pak Sinar memeluk Damar dan Sakti. Ia berjanji, akan bekerja giat lagi!
               
               



Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.