YANG DEKAT ITU KEMATIAN
Hari pertama tahun 2016, Allah SWT memberi tadzkirah.
Di WA group wali murid kelas IB SIT Ar Ruhul Jadid, Bu Rinda, Ibu dari Hafidz I, teman Hafidz,mengabarkan bahwa suaminya meninggal dunia.
Innalillahi wa inna Ilaihi raji'un
Saya kontak Ustadzah Amnah, wali kelas IB untuk takziyah bersama. Ustadzah amnah akan datang bersama Pak Hadi karena tidak bisa naik motor sendiri. Kakinya keseleo. Kami bersepakat untuk bertemu di rumah duka.
Tepat ketika berbelok ke arah utara dari jembatan Sengon, saya mendengar sirine mobil ambulan. Saya mencari rumah duka, dan bertemu pak Hadi.
Seorang ibu, saya lupa namanya, menyambut saya dengan wajah sembab. Ar matanya berlinang. Ibu tersebut kerabat Pak Kasmianto, almarhum. Rumahnya di belakang rumah duka.
"Ya Allah bundaaa," dia terisak-isak di pelukan saya.
Tepat saat itu, ambulan berhenti di depan rumah. Bu Rinda keluar dari mobil dengan air mata bercucuran. Orang-orang menyambutnya dengan pelukan dan tangis. Saya mendekatinya.
"Ini bu Umi, ada Bu Umi," ada yang memberitahu Bu Rinda. Bu Rinda memeluk saya erat-erat. Tangisnya pecah.
"Maafkan pak Kasmianto, maafkan nggeh... Saya ikhlas. Saya ikhlash," bisiknya ketika saya mengusap-usap punggungnya.
Isak tangis bersahut-sahut terdengar. Satu per satu tetangga, kerabat memeluknya. Berkali-kali bu Rinda menyampaikan maaf, memintakan ridho atas khilaf dan salah almarhum.
Hafidz diam saja. Tak ada air mata. Wajahnya beku. Dia berdiri, tak ada satu kata pun terucap.
Bu Rinda memangku putra bungsunya yang masih balita. Anak kecil itu memegang nak truk mainannya. Bu Rinda menciumi kepalanya. Tak seperti perempuan-perempuan di sekelilingnya, Bu Rinda tidak menangis terus menerus. Tegar, kuat dan sabar.
Jenazah dimandikan dan dikafani segera. Ustadzah Amnah berinisiatif meminta akses jalan dari ruang tamu ke kamar mandi ditutupi dengan kain panjang, seprai dan lain-lain. Para bapak yang memegangi kain tersebut agar ketika jenazah dibawa ke ruang tamu untuk dikafani, tak sampai tampak oleh tamu di luar.
Saat dimandikan, adik Hafidz yang digendong Bu Rinda bertanya dalam bahasa jawa,"Ayah kenapa, Bu?"
Ya Allah, sedih mendengarnya.
Jenazah dibawa ke mushalla untuk dishalatkan. Ustadzah Amnah mengajak Hafidz menyolatkan. Hafidz mengambil air wudhu. Namun saat akan berangkat, dia enggan.
"Ayo sholatkan Ayah, Nak. Doakan Ayah. Mas Hafidz kan pinter ngaji," bujuk Bu Rinda lembut. Hafidz diam, tangannya memeluk Ibunya erta-erat.
"Bacakan al Fatihah untuk Ayah, ayo sama Ibu." Hafidz hnya menggeleng. Dadanya turun naik. Ia menahan perasaan sekuat tenaga.
"Nangis saja, Nak, nangis saja kalau ingin nangis," saya mengusap-usap punggungnya. Tak kuat rasanya melihat dia menahan perasaan demikian.
Hafidz menangis. Terisak-isak dipelukan Ibu. Tangis kami juga pecah. Melihat anak beranak berpelukan saling menguatkan, mengurai kepedihan dan kesempitan akibat rasa kehilangan. Ibunya menciumi kepalanya berkali-kali, membisikkan kata-kata untuk menghiburnya.
Dari mushalla terdengar pengumuman tentang diberangkatkannya jenazah.
"Ikut ke makam ya Nak? Antar Bapak," Ibunya berbisik lagi. Hafidz masih enggan. Tak hendak beranjak dari pangkuan ibu.
Setelah dibujuk banyak orang, Hafidz bersedia ke makam. Di makam,dia berdiri di sisi utara makam. Memandangi proses penguburan Ayahnya dalam diam. Tidak menangis lagi. Ketika makam ditutup, dia menepi dari tempatnya berdiri.
Duduk di atas tepi sebuah makam, pandanganya kosong. Tak lepas dari lubang makam ayahnya yang sudah mulai ditutupi sedikit demi sedikit.
Saya tidak bisa membayangkan kecamuk perasaannya. Orang yang selama ini mengisi hidupnya dan melimpahi kasih sayang, terbujur di dalam tanah. Tidak akan kembali. Tidak akan menemani lagi.
"Sini, Nak, kasih bunga," saya mengulurkan tangan kepadanya. Dia diam saja, pandangannya masih menatap beku ke gudukan di depannya.
"Ayo , Nak," seorang bapak menuntunnya.
Hafdiz jongkok dekat ibunya, merapat dan berpegangan.
Saya mulai mewek lagi. Ibu dan anak itu menaburkan bunga,mengusap-usap gundukan.
Pak Modin memimpin doa bersama. Setelah doa selesai, sebagian pelayat beranjak pergi.
Bu Rinda mengusap-usap gundukan itu lagi.
"Doakan Ayah, Nak" pinta Ibunya. Hafidz menggeleng, menyembunyikan mukanya dipelukan.
"Yo wis, ayo pulang saja. Nanti sakit karena kepanasan," kata seorang bapak.
Mereka beranjak. Bu Rinda mengusap nisan, pelan, lembut. Dilihatnya lagi gundukan itu, lalu berjalan.
Kami mengikuti di belakangnya.
Awal tahun 2016, Allah mengirmkan tadzkirah.
Kesedihan itu sebentar.
Kesenangan itu singkat.
Kepedihan itu tak lama.
Kekecewaan itu sejenak.
Yang lama itu akhirat. Dan kematian itu dekat. Sangat dekat.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDalam kenangan saya : Almarhum adalah Seorang ayah yang sangat bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga.. apapun upaya akan dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya namun sangat menjaga kehalalan rezeki yg didapat pernah suatu kali beliau bercerita pada saat ingin mendapatkan pekerjaan di salah satu SMK di Jombang kalo ingin mendapatkan posisi di smk tersebut ada yg menawarkan agar membayar sejumlah uang namun ditolak karna posisi tersebut sudah diisi seseorang yg kalau dia membayar akan menggeser posisi org tersebut kemudian beliau berkata rezeki sudah ada yg ngatur aku gak mau senang diatas penderitaan orang lain...itu yg selalu teringat betapa sangat dijaganya nilai nilai kemanusiaan...
BalasHapusYa Pak Cakkar Yono.. semoga Allah tempatkan almarhum di tempat terbaik, diampuni semua kesalahan dan dilapangkan kuburnya.
BalasHapusMatur nuwun sudah mampir di blog saya.