SILAKAN MASUK LEMARI!
Suatu hari, masuk kelas, terkejut
mendapati kepala-kepala plontos
si empunya kepala menunduk malu-malu
sebagian memilih tetap bertopi
Hihi.
Pemandangan jadi terasa lebih terang
karena wajah-wajah malu itu, bikin saya geli dan riang
Haha.
Pagi ini sumuk sekali. Baru sebentar keluar dari ruang
perpustakaan, panas menyergap. Pengap. Saya meluncur, ke sekolah yang sebagian
besar siswanya adalah laki-laki.
Tepat
seperti dugaan. Anak-anak masih berseragam olah raga. Badan bersimbah kerngat.
Sebagian malah bertelanjang dada. Begitu saya masuk, buru-buru mereka
blingsatan, memakai seragamnya.
“Semua,
pakai batiknya,” saya memberi komando.
“Sumuk.
Buuu!”
“Silakan
ganti, saya tunggu,” saya berkeras. Bukan dengan nada tinggi. Sengaja saya stel
suara menjadi dingin. Kadang-kadang, saya merasa mereka menjajaki ‘toleransi’,
meminta kompromi.
Yang
bagian depan, berganti batik. Namun celananya masih celana olah raga.
“Ganti
celananya!” saya menunjuk kakinya dengan tegas. Satu dua lainnya merunduk,
diam-diam mengganti celananya. Nah!
Mereka
kipas-kipas. Gerah sekali, memang. Suasananya tidak kondusif. Jika saya
mengajar dengan ceramah, pasti membosankan.
Hafalan
saja. Pakai jurus the power of kepepet. Saya pilih beberapa ekspresi yang harus
mereka hafalkan dalam tiga puluh lima menit.
Dan,
taraaa!
Sekejap terdengar
dengungan-dengungan suara mereka menghafal. Berbagai gaya. Ada yang menunduk
sambill komat-kamit. Ada yang memegang kepalanya, sambil terpejam. Ada yang
seperti orang nge-rap. Tangannya bergerak-gerak dinamis.
Ada
yang menutup telinganya, mata terpejam. Seru! Saya mengamati dengan geli. Walau
terkesan seenaknya, begitu dipaksa menghafal, mereka seperti mengerahkan
seluruh kemampuannya.
Baru
lima menit berlalu.
“Bu,
saya sudah!” satu siswa maju.
“Sebentar.”
Dia
kembali ke bangkunya. Sepuluh menit kemudian, dia kembali lagi.
“Bu,
sudah,” katanya. OK lah. Dia mengambil posisi tepat di depan saya, dan mulai
setoran. Saya jadi ingat setoran hafalan quran.
Kemudian
bergantian yang lain, yang sudah hafal. Gaya setorannya macam-macam. Ada yang
memandang langit-langit. Sedikitpun tidak berani memandang saya. Ada yang
matanya melihat kesana kemari. Mungkin kata-kata yang dihafalnya
melompat-lompat riang di sekitar kepalanya, dan perlu diangkap oleh matanya.
Ada
juga yang memejam terus, dengan dahi berkerut. Lancar sih, cuma lucu saja
melihat ekspresinya. Kalau saya sembunyi, dia tidak akan tahu.
Rata-rata
anak-anak bersikap formal. Dengan tangan ditangkupkan, badan tegak. Tiba satu
siswa, dia melenggang santai. Lalu tangannya bertelekan meja, badannya condong
ke saya. Tidak dekat, tentu saja, karena ada meja diantara kami.
“Mulai
ya , Bu,” katanya. Saya mengangguk, sambil memperhatikannya.
Dia menghafalkan,
matanya lekat ke mata saya.
“Betul,
ya Bu?” berkali-kali dia menyelipkan kata-kata itu di tengah hafalannya. Saya
hanya mengangguk. Mungkin bertanya membuatnya pede.
Pindah
kelas sebelah, saya pakai cara lain.
Sekarang berpasangan, memeragakan dialog. Gayanya mirip-mirip: melihat ke atas,
melirik kanan kiri, plus memejamkan mata.
Ada
yang pakai acara pijat-pijat kepala, dahi berkerut, memejamkan matanya. Seolah-olah dialog yang dihafalkannya
mampat entah dimana, dan harus dihela keras-keras supaya keluar.
sambil memejam, berkerut..hihi |
Oh ya,
di kelas sebelumnya, ada empat anak yang belum maju. Tiga diantaranya, saya
lihat bersantai. Ngobrol, bermain-main, tidak sungguh-sungguh sebagaimana yang
lain.
Saya tentu
saja kecewa. Keluarlah omelan, sedikit panjang kali lebar. Khas emak-emak,
bisanya mengomel.
Jadi ingat pertemuan dengan beberapa rekan yang
menjadi instruktur nasional. Salah satu dari kami, bercerita suka dukanya
mengajar di STM.
Pertemuan dengan para Instruktur Nasional di kota kami |
“Anak-anak
sering berkomentar, kelas jadi ramai. Ada satu dua anak yang kelewatan. Kalau sudah
begitu, saya buka lemari,” katanya. Di bagian depan kelas, di atas panggung, ada
sebuah lemari kayu di sudut kelas.
“Lalu
saya bilang, ‘lemari sudah saya buka!’”
Saya
masih tidak mengerti, apa hubungan lemari dengan keributan anak-anak.
“Begitu
mereka tidak terkendali, gampang. Tinggal bilang, ‘masuk,’’ katanya sambil
tertawa.
“Masuk
ke mana?” saya heran.
“Masuk
lemari!!” dia ngakak. Wew, masuk lemari? Waduh, keren. Eh.
“Biarkan
dulu di dalam selama beberapa menit, biar kapok.”
Kami
terbahak. Membayangkan ada dalam lemari jadul, pengap dan bau apek. Widiw.
“Kalau kelas
yang dekat kolam, itu tambah asyik. Musim kemarau begini, airnya butek luar
biasa. Anak-anak yang bertingkah, saya suruh jongkok di tepi kolam. Cuci muka!”
Beliau kembali tertawa.
Saya
tahu kolam itu. Airnya hijau, seperti air comberan. Yang cuci muka dengan air
itu pasti sambil menahan nafas. Baunya, warnanya... Idih.
“Cara
itu ampuh untuk meredam tingkah mereka yang kelewatan. Kalau saya tanya, mau bertingkah
lagi, mereka bilang ‘mboten Pak, kapok!’,” katanya.
“Kalau didengar LSM, bisa jadi kami dituntut melanggar HAM,”
beliau tersenyum kecil.
Hmm, betul
juga. Kami, para guru yang di lapangan, sering berhadapan dengan kasus-kasus
karakter anak yang susah dikendalikan. Jika dihalusi, mereka ngelunjak dan
seenaknya. Kelas jadi tidak kondusif untuk pembelajaran.
Jadi timbul
pikiran iseng: sesekali para aktivis LSM yang getol dengan teori menjunjung
tinggi HAM dalam pembelajaran di sekolah itu, perlu diterjunkan langsung. Kasih
mereka kelas ajaib, dan lihat bagaimana teori HAM mereka bekerja disitu.
Kita lihat, bagaimana mereka mengatasi kelas yang para penghuninya serupa belut, bergerak dan berceloteh tak bisa diam. Termasuk juga memberikan materi pelajaran, dengan durasi waktu tertentu. Seru kali, ya!
Assalamualaikum Ibu Guru Umi.
BalasHapusSalam kenal ya. Menarik sekali cerita tentang anak-anak di sekolah. Kebetulan anak saya dua-duanya laki-laki Bu, jadi kebayang lah apa yang diceritakan Ibu di atas ��.
Alaikumussalam warahmah... SAlam kenal kembali. Hehehe, iya, seruuu ngajar kelas full cowok begitu.
BalasHapushalo bu guru...anak-anak jaman sekarang ya hehehehe....etapi jaman kita sekolah dulu juga sebenernya sama aja sih ya. Ada anak yang bandel, gak bisa dibilangin dll. Ya dihukum juga sama pak/bu gurunya dengan aneka jenis hukuman mulai dari cubit, pukul pake penggaris, sampe suruh skot jump segala. Bu guru aku pengen follow blog ini gimana caranya? Gaptek ni karena blogku wordpress :( Seru baca tulisan2 bu guru
BalasHapusHalo jugaaaa... Betuuul, jaman kita dulu, sama serunya. Kadang saya suka inget jail2nya saya, dan was-was alias waspada, ntar digitukan juga sam anak-anak.. Hehehe. Eh, gimana cara follorw ya? aduh, sama2 gapteknya..*pelukan yuuuuk...
Hapus