SILAKAN MASUK LEMARI!

Rabu, September 21, 2016

Suatu hari, masuk kelas, terkejut
mendapati kepala-kepala plontos
si empunya kepala menunduk malu-malu
sebagian memilih tetap bertopi
Hihi. 
Pemandangan jadi terasa lebih terang
karena wajah-wajah malu itu, bikin saya geli dan riang
Haha.






Pagi ini sumuk sekali. Baru sebentar keluar dari ruang perpustakaan, panas menyergap. Pengap. Saya meluncur, ke sekolah yang sebagian besar siswanya adalah laki-laki.
                Tepat seperti dugaan. Anak-anak masih berseragam olah raga. Badan bersimbah kerngat. Sebagian malah bertelanjang dada. Begitu saya masuk, buru-buru mereka blingsatan, memakai seragamnya.
                “Semua, pakai batiknya,” saya memberi komando.
                “Sumuk. Buuu!”
                “Silakan ganti, saya tunggu,” saya berkeras. Bukan dengan nada tinggi. Sengaja saya stel suara menjadi dingin. Kadang-kadang, saya merasa mereka menjajaki ‘toleransi’, meminta kompromi.
                Yang bagian depan, berganti batik. Namun celananya masih celana olah raga.
                “Ganti celananya!” saya menunjuk kakinya dengan tegas. Satu dua lainnya merunduk, diam-diam mengganti celananya. Nah!
                Mereka kipas-kipas. Gerah sekali, memang. Suasananya tidak kondusif. Jika saya mengajar dengan ceramah, pasti membosankan.
                Hafalan saja. Pakai jurus the power of kepepet. Saya pilih beberapa ekspresi yang harus mereka hafalkan dalam tiga puluh lima menit.
                Dan, taraaa!
Sekejap terdengar dengungan-dengungan suara mereka menghafal. Berbagai gaya. Ada yang menunduk sambill komat-kamit. Ada yang memegang kepalanya, sambil terpejam. Ada yang seperti orang nge-rap. Tangannya bergerak-gerak dinamis.
                Ada yang menutup telinganya, mata terpejam. Seru! Saya mengamati dengan geli. Walau terkesan seenaknya, begitu dipaksa menghafal, mereka seperti mengerahkan seluruh kemampuannya.
                Baru lima menit berlalu.
                “Bu, saya sudah!” satu siswa maju.
                “Sebentar.”
                Dia kembali ke bangkunya. Sepuluh menit kemudian, dia kembali lagi.
                “Bu, sudah,” katanya. OK lah. Dia mengambil posisi tepat di depan saya, dan mulai setoran. Saya jadi ingat setoran hafalan quran.
                Kemudian bergantian yang lain, yang sudah hafal. Gaya setorannya macam-macam. Ada yang memandang langit-langit. Sedikitpun tidak berani memandang saya. Ada yang matanya melihat kesana kemari. Mungkin kata-kata yang dihafalnya melompat-lompat riang di sekitar kepalanya, dan perlu diangkap oleh matanya.
                Ada juga yang memejam terus, dengan dahi berkerut. Lancar sih, cuma lucu saja melihat ekspresinya. Kalau saya sembunyi, dia tidak akan tahu.
                Rata-rata anak-anak bersikap formal. Dengan tangan ditangkupkan, badan tegak. Tiba satu siswa, dia melenggang santai. Lalu tangannya bertelekan meja, badannya condong ke saya. Tidak dekat, tentu saja, karena ada meja diantara kami.
                “Mulai ya , Bu,” katanya. Saya mengangguk, sambil memperhatikannya.
                Dia menghafalkan,  matanya lekat ke mata saya.
                “Betul, ya Bu?” berkali-kali dia menyelipkan kata-kata itu di tengah hafalannya. Saya hanya mengangguk. Mungkin bertanya membuatnya pede.
                Pindah kelas sebelah,  saya pakai cara lain. Sekarang berpasangan, memeragakan dialog. Gayanya mirip-mirip: melihat ke atas, melirik kanan kiri, plus memejamkan mata.
                Ada yang pakai acara pijat-pijat kepala, dahi berkerut,  memejamkan  matanya. Seolah-olah dialog yang dihafalkannya mampat entah dimana, dan harus dihela keras-keras supaya keluar.

sambil memejam, berkerut..hihi
                                  

                Oh ya, di kelas sebelumnya, ada empat anak yang belum maju. Tiga diantaranya, saya lihat bersantai. Ngobrol, bermain-main, tidak sungguh-sungguh sebagaimana yang lain.
                Saya tentu saja kecewa. Keluarlah omelan, sedikit panjang kali lebar. Khas emak-emak, bisanya mengomel.
                Jadi  ingat pertemuan dengan beberapa rekan yang menjadi instruktur nasional. Salah satu dari kami, bercerita suka dukanya mengajar di STM.

Pertemuan dengan para Instruktur Nasional di kota kami

                “Anak-anak sering berkomentar, kelas jadi ramai. Ada satu dua anak yang kelewatan. Kalau sudah begitu, saya buka lemari,” katanya. Di bagian depan kelas, di atas panggung, ada sebuah  lemari kayu  di sudut kelas.
                “Lalu saya bilang, ‘lemari sudah saya buka!’”
                Saya masih tidak mengerti, apa hubungan lemari dengan keributan anak-anak.
                “Begitu mereka tidak terkendali, gampang. Tinggal bilang, ‘masuk,’’ katanya sambil tertawa.
                “Masuk ke mana?” saya heran.
                “Masuk lemari!!” dia ngakak. Wew, masuk lemari? Waduh, keren. Eh.  
                “Biarkan dulu di dalam selama beberapa menit, biar kapok.”
                Kami terbahak. Membayangkan ada dalam lemari jadul, pengap dan bau apek. Widiw.
                “Kalau kelas yang dekat kolam, itu tambah asyik. Musim kemarau begini, airnya butek luar biasa. Anak-anak yang bertingkah, saya suruh jongkok di tepi kolam. Cuci muka!” Beliau kembali tertawa.
                Saya tahu kolam itu. Airnya hijau, seperti air comberan. Yang cuci muka dengan air itu pasti sambil menahan nafas. Baunya, warnanya... Idih.
                “Cara itu ampuh untuk meredam tingkah mereka yang kelewatan. Kalau saya tanya, mau bertingkah lagi, mereka bilang ‘mboten Pak, kapok!’,” katanya.
                “Kalau didengar  LSM, bisa jadi kami dituntut melanggar HAM,” beliau tersenyum kecil.
                Hmm, betul juga. Kami, para guru yang di lapangan, sering berhadapan dengan kasus-kasus karakter anak yang susah dikendalikan. Jika dihalusi, mereka ngelunjak dan seenaknya. Kelas jadi tidak kondusif untuk pembelajaran.
                Jadi timbul pikiran iseng: sesekali para aktivis LSM yang getol dengan teori menjunjung tinggi HAM dalam pembelajaran di sekolah itu, perlu diterjunkan langsung. Kasih mereka kelas ajaib, dan lihat bagaimana teori HAM mereka bekerja disitu.

               Kita lihat, bagaimana mereka mengatasi kelas yang para penghuninya serupa belut, bergerak dan berceloteh tak bisa diam. Termasuk juga memberikan materi pelajaran, dengan durasi waktu tertentu. Seru kali, ya!


4 komentar:

  1. Assalamualaikum Ibu Guru Umi.
    Salam kenal ya. Menarik sekali cerita tentang anak-anak di sekolah. Kebetulan anak saya dua-duanya laki-laki Bu, jadi kebayang lah apa yang diceritakan Ibu di atas ��.

    BalasHapus
  2. Alaikumussalam warahmah... SAlam kenal kembali. Hehehe, iya, seruuu ngajar kelas full cowok begitu.

    BalasHapus
  3. halo bu guru...anak-anak jaman sekarang ya hehehehe....etapi jaman kita sekolah dulu juga sebenernya sama aja sih ya. Ada anak yang bandel, gak bisa dibilangin dll. Ya dihukum juga sama pak/bu gurunya dengan aneka jenis hukuman mulai dari cubit, pukul pake penggaris, sampe suruh skot jump segala. Bu guru aku pengen follow blog ini gimana caranya? Gaptek ni karena blogku wordpress :( Seru baca tulisan2 bu guru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo jugaaaa... Betuuul, jaman kita dulu, sama serunya. Kadang saya suka inget jail2nya saya, dan was-was alias waspada, ntar digitukan juga sam anak-anak.. Hehehe. Eh, gimana cara follorw ya? aduh, sama2 gapteknya..*pelukan yuuuuk...

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.