TANTANGAN AYAH

Senin, April 02, 2018
“…
Tiap hari kumain dengan kawan
Bermain tali kuambil tali jemuran
Ibuku ngomel tapi aku tak peduli
Reff: pada suatu hari, kuasyik bermain
Ibu ke tempat kami, membawa lidi
Ibuku marah-marah, kaki dibabat
Sejak saat itu aku bertobat…


Ada yang tahu lagu itu? Itu lagu masa kecil. Entah siapa penyanyinya. Saya juga tidak yakin dia laki atau perempuan. Isi lagunya kebanyakan ‘girly’, tapi suaranya berat.
Lompat tali itu kenangan. Dulu perlu merangkai karet gelang. Dijalin sedemikian rupa hingga menjadi tali yang elastis dan nyaman untuk main lompat tali.
Permainan jenis tu sekarang tidak banyak dimainkan. Saya jarang melihat lompat tali menjadi ‘trend’.
Anak-anak tidak mengenal prosedur melompat dalam permainan lompat tali. Sesekali (tapi jarang sekali!) saya dan anak-anak memainkannya. Bukan jenis lompat dari mata kaki, betis, dll itu; namun melompat dalam putaran karet.
Anak-anak cukup senang. Mereka antusias mencoba masuk ke dalam putaran karet yang diayun dan langsung melompat. Banyak gagalnya. Tali menyangkut di kaki atau tertahan di kepala karena tidak dalam posisi yang tepat. Atau akurasi perhitungan masuknya tidak pas.



OLAH RAGA
Permainan fisik macam begitu bagus. Anak-anak punya kesempatan bergerak, bergembira dan tertawa lepas. Beberapa kali Ayah membelikan skipping, tapi tidak awet. Entah karena tali itu putus (tidak jelas bagaimana cara bermainnya hingga putus begitu!), atau barangnya lenyap entah kemana.
Beberapa hari lalu, Ayah membelikan lagi alat skipping. Nabila mencoba berskipping, bergantian dengan Najma dan Zahra. Masing-masing saling membantu menghitungkan.
“Sini, Bunda coba,” saya berdiri. Bermenit-menit melihat anaka-anak mencoba, penasaran juga.
“Ayo hituuuung,” Nabila dan Najma berseru. Ekspresinya jail, usil. Mereka seperti menahan tawa. Mungkin sangsi, emaknya yang ginuk-ginuk ini bisa melompat tidak ya?
Saya berdiri, bersiap. MEnahan geli juga, bodiku yang begini bisa diajak kompromi tidak? Berapa lama kaki bisa terangkat secara akurat agar tali tidak menyangkut?
Here I go!
Satu, dua, tiga…. Saya terus melompat. Menjaga ayunan tali agar konsisten dan terkoordinasi dengan hentakan kaki.
Empat puluh lima, empat puluh enam…. Mulai terengah-engah. Hadoooh, bodi yang sudah biasa mager begini, gak akan punya kekuatan maksimal untuk skipping. Di hitungan lima puluh sekian, kaki ‘lemot’. Tidak lagi kuat terangkat, dan tali tersangkut tumit.
Najma, Nabila dan Zahra tepuk tangan.
“Weeeh, lima puluh! Aku coba, aku coba!” Najma bersemangat. Nah kan, emak kudu kasih contoh dulu biar anak-anak ‘kesetrum’ dan penasaran.
“Masa kalah sama Bunda,” saya manas-manasi Nabila. Dia tertawa saja.
“Ayo, kalau bisa diatas lima puluh, traktir es krim!” kata Ayah.
“Beneran? Dua ya? ******to yaa?” kata Nabila.
“Deal!” Saya menyahut. Wah, semakin semangat deh!

Nabila ancang-ancang, dan melompat. Menjelang hitungan lima puluh, macet dah. Kakinya sudah lelah.
Yang lain bersorak.
Giliran Najma. Lebih lucu lagi. Belum empat puluh, sudah menyerah juga.
“Ah, payah,” saya makin semangat memanas-manasi.
“Coba Ayah!” Ayah berdiri, dan bersiap.
Anak-anak bertepuk-tepuk dan bersorak melihat gaya skipping Ayah yang mirip gaya atlet. Ayah berhenti di hitungan serratus.
“Horeeee, Bunda dikalahkan Ayah!” Sorak Nabila.
“Wiiih, Ayah keren!” Kata Najma.
“Kalau bisa lebih dari seratus, belikan apa?” Najma mulai menjajaki.
“Apa saja!” tantang Ayah,
“Hape?”
“Nggak laaaah, itu kan ada aturannya sendiri. Gak boleh punya hape sekarang!” elak Ayah.
“Kerudung Robbani, ya?”
“Iya wes, lima!” Ayah pede mengucapkan itu.
“Beneran? Beneran? Lima?” Najma membelalakkan matanya. Nabila tertawa terbahak-bahak.
“Iyaaa, lima!” Ayah sok yakin.
“Ayah tuh gak tahu harga kerudung Robbani, Bunda! Wahahahaha!” Nabila terpingkal-pingkal.
“Emang berapa?” Ayah mulai menyadari sesuatu. Hihi.
“Ayah kira harganya dua lima, tiga puluh, gitu kaaaaaan?!” Nabila tergelak-gelak lagi.
“Berapaan?”
“Ayaaaah, kerudung itu sekitar tujuh puluh ribu! Jadi kalau beli limaaaaaa…” Saya tertawa melihat ekspresi Ayah mendengar kalimat Nabila. Hidungnya berkerut-kerut. Senyumnya lebaaaar…
“Gak jadi lima, tiga aja saya?” Ralatnya.
Ayah galau! Wehehehe.

Nah, mereka mencoba satu persatu. Gagal! Coba lagi, gagal lagi!
“Ayo Bunda saja!” Aih, mengalihkan perhatian. Baik, saya penuhi tantangan itu.
Hasilnya? Enam puluh tujuh! Gagal juga ternyata!

Ayah memberi tenggat waktu sepekan. Lewat dari sepekan, hangus. Hingga tulisan ini dibuat, hari kedua, tiga gadis saya berlatih terus. Kerudung Robbani ternyata sangat manjur memotivasi anak-anak berolah raga.

Berhasilkah mereka nanti? Kita buktikan bersama. Pemirsa, jangan kemana-mana, saya akan kembali setelah pesan-pesan berikut!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.