MULIAKAH KITA?
Tak ada sekolah khusus jurusan orang tua. Padahal ini adalah ‘jurusan profesi’ yang dilalui banyak orang. Betapa banyak keliru dilakukan, kemudian menyesal di hari kemudian. Di media sosial, diskusi tentang orang tua yang toxic (membawa pengaruh buruk pada anak) diangkat oleh remaja dan orang dewasa yang memiliki pengalaman diasuh dengan pola yang meninggalkan jejak trauma. Mereka menuliskan kecaman dan penyesalan karena telah mengalami hal buruk yang melukai jiwa.
Ungkapan mereka memancing
perdebatan. Sebagian menyayangkan dan menganggap mereka melupakan jasa orang
tua, menjadi anak durhaka, dan merendahkan martabat orang tua. Sebagian menganggap tak apa dan
sah-sah saja melakukan ini karena realitasnya demikian adanya. Situasi ini menimbulkan pertanyaan dalam diri: sudahkah menjadi
orang tua yang layak dimuliakan?
Di Parang Tritis, Juli 2022
Fatherless Country
Indonesia dikatakan
sebagai negera yang ‘fatherless’, dan menempati urutan ketiga. Retno Listiyarti, dari Komisioner Komisi
Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa ‘Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa
kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai
ayah tapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak
(pengasuhan). ‘
Dalam
Al Quran, terdapat 14 dialog pengasuhan antara Ayah dan anak dari 17 dialog
pengasuhan yang ada. Namun ironisnya, perhatikanlah acara-acara parenting di
sekolah-sekolah atau lembaga sosial lainnya. Rata-rata yang hadir adalah ibu.
Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Bunda Elly Risman dari tahun 2008 –
2010, dengan 33 provinsi sasaran studi. Dari hasil penelitian itu, dikatakan
bahwa Indonesia menjadi salah satu negara paling ‘yatim’ sedunia. Waktu bertemu Ayah dan anak hanya 65 menit
perhari. Padahal , dalam keluarga, Ayah memegang tiga peranan penting, yaitu:
1. sebagai kepala keluarga dan teladan,
2. sebagai pencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga,
3. sebagai pendidik anak dan pemberi nasihat,
4. sebagai pelindung keluarga dan pemberi kasih sayang,
Posisi
sebagai teladan menjadi kata kunci dalam pembentukan karakter anak di rumah, lalu
dibawa ke lingkungan berikutnya: keluarga besar, tetangga, sekolah, dan
seterusnya.
Orang Tua Durhaka
Umar bin Khottob pernah
menegur orang tua yang tidak memenuhi kewajiban pengasuhan yang sesuai dan
dijuluki ‘orang
tua durhaka’. Ada beberapa ciri orang tua yang durhaka, menurut
Ustaz Ali Jaber (almarhum). Mari kita kenali satu per satu.
Pertama,
mencaci maki anak.
Sebutan dan julukan buruk pada anak akan melukai jiwa, mengerdilkan harga diri
dan memupuk dendam.
Kedua,
menghina anak. Apalagi
jika menghina di depan orang lain. Penghinaan ini akan menimbulkan permusuhan
dalam hati.
Ketiga,
membandingkan anak dengan orang lain. Setiap anak terlahir unik, memiliki kelebihan dan
kekurangan khasnya masing-masing. Tak ada gunanya berusaha menyamakan satu dan
lainnya, karena akan menimbulkan kekecewaan, luka, dan kelelahan tak berkesudahan.
Keempat,
cinta dengan syarat.
Seringkali secara halus, bagian ini diatasnamakan ‘untuk memotivasi’. Misalnya,
mengatakan : Ibu akan sayang jika kamu rajin mengaji. Sekilas kalimat ini
terkesan baik, padahal ia memberi beban
pada kegiatan mengaji. Katakan saja sayang tanpa syarat apa –apa. Nasihatilah
ia untuk mengaji dengan tujuan yang lebih tinggi lagi, yang akan membuatnya memiliki alasan besar mengapa harus mengaji.
Kelima,
menyampaikan informasi yang salah. Misalnya, laki-laki tidak boleh menangis, hanya perempuan yang
pantas. Menangis, secara psikologis, menjadi katarsis yang baik untuk melepas
kesedihan, kekecewaan, dll. Asal dilakukan secara proporsional, tak ada
yang keliru dengan laki-laki yang menangis.
Keenam,
mengancam dan melarang tanpa penjelasan alasan yang tepat. Cara orang tua mengomunikasikan
alasan perintah dan penjelasan tentang
larangan akan menentukan bertumbuhnya
cara berpikir kritis anak. Carilah lebih dahulu penjelasan ilmiah agar anak
juga terbiasa berpikir ilmiah dari hal sederhana.
Ketujuh,
membongkar aib anak.
Tindakan ini menghancurkan kepercayaan terhadap orang tua. Perasaan dikhianati,
tidak dilindungi, merupakan bibit turunnya penghormatan anak pada orang tua.
Kedelapan,
berdoa dengan doa buruk.
Emosi sering membawa lidah pada kata-kata yang buruk. Kendalikan emosi dengan
trik tertentu. Bagian
ini sudah banyak sekali dibahas dalam parenting, baik dalam seminar maupun
berupa tulisan.
Landasan Kemuliaan
Dihormati
karena harta, ia bisa lenyap. Dihormati karena kekuatan, ia juga akan melemah
seiring usia. Dihormati karena jabatan, ia dihentikan oleh ‘purna tugas’.
Dihormati karena keindahan fisik, ia akan kisut keriput.
Landasan penghormatan yang
paling mulia adalah ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,
ÙŠَا بَÙ†ِÙŠ Ø¢َدَÙ…َ Ù‚َدْ Ø£َÙ†ْزَÙ„ْÙ†َا
عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ Ù„ِبَاسًا ÙŠُÙˆَارِÙŠ سَÙˆْØ¢َتِÙƒُÙ…ْ Ùˆَرِيشًا ÙˆَÙ„ِبَاسُ التَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ Ø°َÙ„ِÙƒَ
Ø®َÙŠْرٌ
“Hai anak Adam, sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah
untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah
yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26).
Mulia
karena taqwa mendatangkan ketentraman, kenyamanan, keamanan dan keselamatan.
Predikat mulia dengan landasan ini adalah sebaik-baik dan sekukuh-kukuh alasan. Walau tak ada sekolah khusus menjadi
orang tua, Allah Subhanahu wata’ala telah menyediakan guidance dan tuntunan yang lengkap bagaimana menjalankan peran
sebagai orang tua.
Kembali
pada agama, pelajari dengan sungguh-sungguh, dan terapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Di rumah, anak akan melihat secara utuh sosok orang tua yang
qur’ani, pembelajar yang tekun, pekerja keras, penjungjung kebaikan, melakukan
perbaikan, dan membenahi kesalahan. Orang tua disibukkan dengan aktivitas dalam kerangka taat dan tobat.
Rumah
demikian sungguh indah. Orang tua demikian sungguh mulia. Semoga demikianlah
diri ini dibentuk, agar pengasuhan menjadi wasilah menuju syurga. Allahummaa
aammin.
*Tulisan ini dimuat di Majalah LAZUQ Edisi Mei 2022
Tidak ada komentar: