AYIK
Aku
membaca buku di kamarku . Pintu kamarku terbuka, sehingga aku
bisa melihat ke arah ruang tamu. Zahra dan Ayik
bermain bersama di ruang tamu. Ayik menarik-narik sesuatu dari tangan
Zahra. Barang di tangan Zahra terlepas. Nah, sebentar lagi akan ada teriakan
ala tarzan!
“Maaaamaaaaa..,” teriak Zahra. Betul, kan?
Mama
tergopoh-gopoh mendekati. Ayik memandangi Zahra sambil memegang tongkat berkepala spongebob.
“Itu, iituuu..,” Zahra berteriak-teriak sambil menunjuk tongkat spongebob.
“Ayik, itu punya siapa?” Mama
berlutut di depan Ayik.
“Punyaku,” kata Ayik.
“Buukaaaan,” Zahra teriak. “ Itu
punyakuuu! Punya Ayik rusak. Huhuhuu..” Zahra menangis kencang.
Aku
menunggu apa yang akan dilakukan mama
baruku itu.
“Ayik mau pinjam?” tanya Mama. Ayik mengangguk.
“Sudah izin sama Zahra?” Mama
bertanya lagi. Ayik menggeleng.
“Coba Ayik bilang ‘mbak, pinjam’,”
Mama memberi contoh. Tiba-tiba Ayik
memukulkan tongkat itu ke kepala Zahra.
“Ayik, sesuai peraturan, yang
memukul orang lain harus di ‘time-out’! “kata Mama sambil mengangkat Ayik ke
atas keset di depan kamarku.
Time Out adalah
aturan baru yang dibuat Mama bagi Ayik dan Zahra. Siapa saja
yang menyakiti orang lain tanpa
alasan yang jelas, akan disuruh berdiri diam di atas keset selama satu menit
kali usianya. Karena Zahra empat
tahun, maka ia di ‘time-out’
selama empat menit.
Ayik menangis
dengan kerasnya. Aku tidak suka melihat pemandangan itu. Aku keluar kamar mendekati Mama.
“Mama tidak adil!” teriakku. Mama tampak terkejut.
“Mira!” Mama memanggil. Tapi aku
tak peduli. Aku berlari keluar.
Aku
menuju butik Mama. Mamaku yang lama. Mama Eli. Aku duduk diam di
bangku taman butik itu. Setahun lalu, kami sering duduk di bangku ini. Sambil makan kue buatan Mama
sendiri. Atau sambil membacakan buku untuk Ayik.
Sayang Mama Eli sudah meninggal karena
kecelakaan. Lalu Bapak menikah lagi
dengan Mama Santi, mamaku yang baru ini.
Mama Santi punya Zahra, yang sebaya dengan Ayik. Entah kenapa, aku tidak suka Mama Santi. Kupikir
Mama Santi tidak sayang kami, terutama Ayik. Buktinya, Ayik sering di time-out.
Aku
rindu Mama Eli. Aku ingin Mama Eli
kembali. Menemani aku dan Ayik lagi.
Tidak perlu ada Mama Santi dan Zahra. Mama Eli saja sudah sangat cukup.
“Mira?” tiba-tiba Paman Hari sudah
berdiri di dekatku. Paman Hari adalah adik Mama Eli yang sekarang mengurusi butik .
Aku
mengusap air mataku. Mataku menatap kolam ikan. Ada
wajah Mama Eli di sana.
Ada senyum Mama Eli di bunga teratai.
Ada Mama Eli dimana-mana. Aku rindu sekali.
Lalu
aku mulai menangis lagi. Setelah puas menangis, aku menceritakan tentang Ayik dan
Mama Santi.
“Seingat Paman, Ayik dulu tidak
begini. Menurut kamu, mengapa Ayik berubah?” tanya Paman Hari.
Ayik dulu
periang, sekarang lebih pendiam. Ayik dulu
sering mengajakku bermain. Sekarang
ia sering menyendiri. Tunggu…! Aku pun juga sering menyendiri. Terutama
saaat rindu Mama Eli. Kapan terakhir kali aku dan Ayik bermain bersama?
Sepertinya sudah lama sekali kami tidak melakukannya!
“Mungkin Ayik juga rindu Mama,”
bisikku sambil menunduk.
“Ya, bisa jadi begitu,” kata Paman Hari.
“Ayo, ikut Paman. Paman akan
tunjukkan sesuatu padamu!” kata Paman.
“Paman menemukan ini sehari yang
lalu, ketika membuka file-file di flash disk Mama,” Paman menunjukkan lap topnya
padaku.
Disitu
ada fotoku bersama Mama dan Ayik yang diambil seminggu
menjelang Mama meninggal. Aku dan Ayik
memakai baju rancangan Mama sendiri. Ada
tulisan agak besar dibagian bawah foto tersebut: “ Jadilah anak baik yang saling
menyayangi dan melindungi. Love, Mama”
Aku
menatap foto itu lama. Air mataku
mendesak-desak ingin keluar.
“Ayik pasti masih bersedih, seperti Mira. Tapi karena
Mira lebih besar, Paman berharap Mira bisa menghibur Ayik. Seperti harapan
Mama, saling menyayangi dan melindungi,” kata Paman sambil mengusap-usap kepalaku.
“Mama Santi pasti kebingungan
menghadapi Ayik. Mira bantu Ayik dan Mama Santi, ya? Bantu Ayik supaya riang
kembali,” kata Paman Hari.
Aku
ingin membantu. Seperti harapan Mama
Eli, saling menyayangi dan melindungi.
Tidak ada komentar: