IBUNDA BINAR

Senin, Januari 04, 2016
Tiga hari pertama bulan Januari, setiap hari saya takziyah.
Hari ketiga, saat pengajian IKADI, mendapat kabar bahwa Binar, siswa kelas dua SDIT Ar Ruhul Jadid meninggal dunia.

Tidak jelas bagaimana ceritanya, yang saya dapatkan informasi singkat saja: dia pingsan, lalu dirawat di rumah sakit. Baru ketahuan bahwa terjadi penyumbatan pembuluh darah di otaknya. Hari keempat, Allah memanggilnya.

Usai pengajian, saya meluncur menuju rumah duka. Di perjalanan, kami bertemu rombongan menuju perkuburan Parimono.

"Sepertinya itu," kata Mas Budi. Saya melihat ada beberapa wali murid yang saya kenal.

Di rumah duka masih ramai dengan para ibu. Saya masuk ke kamar, dimana Ibunda Binar berbaring.

"Ibunya masih shock," bisik seorang ustadzah SDIT.

Beliau berbaring, dengan suara tangisan lirih dan air mata yang tak henti mengalir. Satu demi satu menyalami dan memeluknya.

Saya meraih tangannya, mencium dan memeluknya.

"Maafkan Binar... MAafkan salahnya," bisiknya.

"Kuat bu, insyaaAllah Ibu kuat."

Air matanya mengalir lagi. Bibirnya digigit, menahan perih dan sedihnya.

Ustadzah Aliya, salah satu ustadzah quran, mohon pamit. Ibunda Binar menggenggam tangannya erat-erat, seperti tak hendak dilepaskan. Dimintakannya maaf kembali bagi Binar. Ustadzah Aliya menghiburnya dengan nasihat-nasihat tentang kesabaran.

Sang Ibu semakin menangis. Ustadzah Aliya meraih tangan saya, meminta saya menggenggam tangan sang Ibu.

Saya memeluknya. Melihat sang Ibu menahan rasa, saya tidak tega.

"Menangislah, Ibu. Menangislah... Tidak apa-apa, asal Ibu tidak meratap," saya membujuknya. Sang Ibu menggelengkan kepalanya.

"Saya tidak mau menangis, kasihan Binar. Dia paling sayang dengan saya, dia paling dekat dengan saya... Ya Allah, kenapa cepat diambil?" Sang Ibu kembali menggigit bibirnya, menolak air mata keluar.

"Ibu tidak boleh bilang begitu. Menangis saja, bu, luapkan kesedihan, tapi tidak boleh berkata-kata seperti itu," bisik saya.

"Sakit buuu... Kenapa cepat sekali diambil?"

Tangannya semakin erat menggenggam tangan saya. Mungkin sang Ibu mencari-cari kekuatan dan ketabahan saat disergap limbung dan kehilangan.

"Binar sudah jadi tabungan ibu, Binar sudah ditempatkan di tempat yang indah oleh Allah. Hanya ibu istimewa yang mendapatkan kesempatan ini. Ibu pasti kuat, Allah Maha Tahu siapa yang sanggup," sebisa mungkin saya membisikkan dengan suara yang tidak bergetar.

Kehilangan tiba-tiba, kepedihan yang mengungkung, bagaimana melerainya?

Saya menahan air mata, menguatkan genggaman ketika genggamannya juga mengerat.

Saya tidak tahu bagaimana rasanya. Jujur saja, membayangkan kehilangan anak-anak , sudah mewek dan berderai-derai air mata.

"Istighfar, Ibu, istighfar yang banyak," kerabat yang ada disebelahnya menuntun.

Perlahan, suara tangisnya reda, walau matanya masih kosong.

Saya beranjak pergi, berpamitan.

Binar, semoga menjadi binar indah bagi ayah bundanya di akhirat nanti.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.