ALIRAN APA?

Senin, September 18, 2017

Membayar hutang yang luawaaaassss pool! Ini tanggapan atas tulisan disini.  Penulisnya Emak kece nyang namanya Nur Islah.  Cekidot semua linknya yes.

Yuk mulai.

               Suatu pagi, saya bertemu gadis manis, yang berhijab rapi. Rapi dalam arti: tidak tipis, tidak terawang, baju tidak ketat, jilbabnya menutupi dada.
                Kami terlibat diskusi panjang. Ada satu titik dimana dia menceritakan asal muasal memutuskan berhijab rapi seperti itu.
                “Saya baru berubah setelah idul fitri, bu. Pakai kerudung dan baju begini terasa nyaman,” katanya.
                Nyaman, jika disandarkan pada standar personal, tentu menjadi hal yang sangat relatif. Sebelumnya dia berjilbab biasa saja, tipis, melambai-lambai, pendek. Mungkin seperti yang sering dipakai pada umumnya. Anak rambut nongol sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan, tengkuk atau leher bisa diteropong, peniti jilbab seadanya. Sehingga leher bagian depan sesekali nampak.
Dia yang semula begitu, memutuskan style lain. Maka ketika berubah gaya, otomatis ada standar kenyamanan lain yang jadi pertimbangan.
                “Saya ditanya ibu-ibu rekan kerja, ikut aliran apa?” Dia tertawa kecil.
                “Saya bilang, saya gak ikut aliran apa-apa. Hanya ingin berjilbab rapi saja.”

                Aliran apa?
                Dalam pembahasan identitas sosial, salah satu komponen pembentuknya adalah categorization, atau kategorisasi. Tajfel dan Turner (dalam Gogg 2003) menyatakan identitas sosial yang dibentuk melalui kategorisasi dapat menjelaskan hubungan antar kelompok. Kategorisasi meningkatkan kesamaan dalam kelompok, yang pada akhirnya menciptakan stereotype dalam kelompok.  Dalam proses kategorisasi, peserta kelompok akan menerapkan polarisasi kutub secara ekstrim, kami (ingroup) dan mereka (outgroup). Kami dan mereka dibedakan secara tegas.
                Ibu-ibu rekan kerjanya menerapkan ketegorisasi tersebut. Sebagai ‘kami’, dengan ciri-ciri cara berjilbab yang mereka terapkan. Dan menanyai mereka, dengan ciri-ciri berjilbab yang berbeda. Sahabat saya itu tidak memikirkan ‘kami’ dan ‘mereka’. Justru ketika ditanyai sebagai aliran apa, dia memikirkan dan menjadi ‘aware’.
                ‘Kami’ dan ‘mereka’ dikelompokkan (menurut persepsi ibu-ibu tersebut) dalam ‘aliran’. Bahwa sahabat yang yang mengubah gaya berjilbabnya, sudah tidak sama lagi dengan mereka, yang kemudian disimpulkan alirannya juga berbeda.
                Persepsi seputar aliran ini tidak lepas dari hiruk pikuk di media mengenai kelompok-kelompok. Muncul istilah radikal, yang dinisbahkan pada orang-orang yang memegang erat kaidah-kaidah agamanya. Dalam banyak aspek. Misal, menolak bersalaman, memakai jilbab lebih rapi, memanjangkan jenggot (bagi laki-laki), bersikap kritis pada kedzoliman, dan meneropong persoalan dari kacamata agama.
                Saya pernah (dan mungkin masih) mengalami hal tersebut. Dikatai sebagai aliran keras. Salah satu teman di ruangan bahkan dipanggil secara khusus dan disaranlan untuk berhati-hati dengan saya.
 “Aliran keras,” katanya.
“Aliran keras bagaimana, Pak?” Tanya teman saya itu. Bapak tersebut tidak bisa menjawab detil.
Yang menjadi penanda pertama adalah cara berjilbab, jika muslimah. Konsep  ‘kami’ dan ‘mereka’  kemudian diterjemahkan dengan cara yang sangat sempit. Bahwa jika tidak sama, maka dia bukan golongan ‘kami’.
Saya pernah iseng tanya pada satu dua orang teman tentang cadar. Rata-rata jawaban sama: bercadar itu ekstrim, berlebihan. Lalu saya tanya, mazhab yang dianut teman saya itu apa. Mereka menjawab Imam Syafi’i sebagaimana kebanyakan.
“Tahukan panjenengan, cara menutup aurat menurut pendapat Imam Syafi’i? Tidak boleh tampak apa pun, sebab seluruh tubuh wanita adalah aurat?”
Hasilnya? Mereka bengong. Bahkan mengaku tidak pernah tahu hal itu sebelumnya.

Stereotype
Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranganggapan bahwa segala bentuk stereotipe adalah negatif.
Itu makna steeotype yang dikatakan dalam wikipedia.  Dalam   Kamus Besar Bahasa Indonesia, stereotip  (kata benda) adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka dan tidak tepat.
Intinya tetap sama: pandangan stereotip  itu menggebyah uyah secara serampangan. Golongan itu, pasti begini. Yang ini, pasti begitu.
Kembali ke gadis manis itu.
Dia terkena imbas pengelompokan ‘kami’ dan ‘mereka’ oleh ibu-ibu rekan kerjanya. Gaya berhijab yang berubah, otomatis membuat mereka waspada karena merasa dia tidak lagi sama dengan mereka.
Muncul pertanyaan lain, apa pandangan ibu-ibu  tentang kelompok’mereka’ yang dianggap punya aliran tertentu?
Pertanyaan ini, saya belum pernah dapatkan jawabannya. Sebab kalau ditanya, biasanya hanya keluar jawaban: “Ya gitu itu!”
“Kami berjilbab biasa saja, situ lebar.”
“Situ sering pakai rok.”
“Situ tidak mau bersalaman dengan laki-laki.”
“.....”
Lalu, pandangan tersebut mengimbas pada hal lain. Dalam satu kesempatan, saya berdiskusi dengan tetangga, seorang ibu-ibu modis.
“Mba Umi, tanya ya, kalau di rumah, di depan Pak Budi, mba Umi pakai baju ‘brukut’ begitu?”
“Nggak lah, Bu. Ya pakai baju biasa.”
“Baju apa?” Baju bayi. Beneran? Nggak lah, itu sih dialog abal-abal. Tentu saja saya gak bilang gitu.
“Ya baju rumah, Bu. Celana selutut, misalnya. Kaos (kekecilan). “
“Wah, kok saya gak pernah lihat?”
Hihihi. Jelas dong, kan saya pakai baju begitu didalam rumah. Bukan pas nyapu halaman, siram-siram, atau ke pasar.
Pertanyaan sejenis itu bukan sekali dua saya dapatkan.
Kali lain, saya ada janji dengan mahmud – mamah muda – untuk ketemuan di salah satu cafe. Sesi curhat, begitu. Tante Lia, saya memamnggilnya begitu. Mamah muda yang rame, putranya dua dan salah satunya sama-sama terpilih sebagai polisi cilik dengan anak saya.
Tante Lia sudah di dalam cafe. Saya menyusul kemudian. Dari front-office saya lihat Tante Lia mengobrol dengan dua orang gadis muda. Ia melambaikan tangan, saya membalas. Kelar memesan salad buah, saya masuk. Tak lama, dua gadis muda itu berpamitan.
“Tadi, mereka kaget lihat saya berteman sama Teteh,” kata Tante Lia. Lalu mengalirlah ceritanya.
Katanya, orang-orang seperti saya pasti serius. Gak bisa bercanda. Anteng, khusyuk. Mungkin terjemahan bebasnya gini: orang pakai kerudung lebar itu jadul, kaku, kenceng, gak asyik, serius. Intinya, medeni.
Kalau dikaitkan dengan teori ‘aku’ dan ‘mereka’,  juga stereotip, penilaian mereka wajar dan normal. Menebak karakter orang dari chasing  itu cara termudah.
Mudah, tapi juga bisa salah.
“Saya bilang, walaupun jilbabnya lebar, dia juga gaul. Kita bisa hah hihi, heboh,” kata Tante Lia bersemangat. Tertawa bersama-sama, ingat segala guyonan dan kegokilan kalau sedang sharing bareng.
“Mereka tertipu!” Tante Lia berbisik lucu.
Hahaha. Betul juga. Menebak sifat orang dari chasing atau penampilan itu, sungguh rawan. Rawan dengan prasangka yang tidak-tidak.

Jadi, jangan lakukan, yes.
Berhenti menilai orang lain hanya berdasarkan pemahaman kita yang sempit. Gali ilmunya, kenali lebih dekat. Bisa jadi yang dianggap aneh itu benar, dan justru yang  banyak dilakukan orang lain itu yang salah. Benar dan salah tidak bisa hanya dipersepsikan pada ‘biasanya’, ‘kebanyakan’, ‘keumuman’.
Di tengah orang-orang berjilbab tipis, terawang, pendek, yang memakai jilbab rapat bisa dianggap aneh. Begitu juga sebaliknya.

Kembalikan kebenaran dengan ilmu. Dan berdoalah, agar ilmu kita menuntun pada kebenaran. 

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.