AMBANG TAK KEMBALI

Minggu, Juli 29, 2018


Jenazah itu sudah siap diberangkatkan.

Kerandanya ditutupi kain putih. Para bapak berrdiri berjajar di sekitarnya. Para ibu di bagian dalam halaman rumah, sebagian di teras.
Isteri almarhum berdiri dekat pintu rumah. Kepalanya bersandar pada bahu seseorang. Taujih tentang kematian tengah diberikan seorang kyai, ketika tiba-tiba perempuan muda itu muncul. Sang putri almarhum yang baru tiba.
Dia berpegangan tangan pada seorang lelaki yang membawanya masuk. Raut wajah sang putri itu tegang, bingung, panik. Bola matanya bergerak ke sana ke mari, seolah sedang mencari-cari. Tangannya bergetar. Ia melewati jajaran para ibu, menuju ruang tamu, dan menangis di sana. Berpelukan dengan seorang ibu tua, yang kemudian menuntunnya menuju teras.
“Ibumu…,” gerak bibir perempuan tua itu mudah terbaca.
Sang putri memandang nyalang ke arah ibu-ibu, mendekat dengan bingung. Ia tak mengenali sang Ibu yang berdiri kaku, memandang ke depan.
Perempuan jilbab gelap dekat sang Ibu melambaikan tangan, mengajak sang putri mendekat. Sang putri mencari-cari tangan sang Ibu yang seolah tak peduli. Perempuan jilbab gelap meraih tangan mereka, mempertemukan dalam genggaman.
Air mata sang Ibu mengalir, namun wajahnya mengeras. Ia memilih menyembunyikan wajahnya dalam pelukan perempuan jilbab gelap itu. Tak hendak menengok, tak hendak melihat sang putri yang tergugu mencium tangannya.
“Demi Bapak, Bu. Demi Bapak. Maafkan.. Maafkan putri Ibu. Demi Bapak, agar lapang jalannya. Maafkanlah, Bu…,” perempuan jilbab gelap itu berbisik di telinga sang Ibu.
Sang Ibu menggeleng. Tangis di sekeliling semakin keras. Semua seolah larut dalam drama pilu perseteruan Ibu dan anak ini.
“Bapak orang baik, Bu. Kasihan kalau jalannya terhalangi… Maafkan. Lapangkan hati Ibu. Lupakan, demi Bapak, Bu. Kasihan Bapak. Maafkan, maafkan…,” perempuan jilbab gelap masih membisiki sang Ibu. Berdua mereka berpelukan dalam cucuran air mata. Kesedihan kehilangan seolah bercampur aduk dengan penyesalan, amarah, dan ketidakrelaan. Entah sebesar apa kecewa hingga ia layak dipertahankan dan ditanam dalam-dalam, susah dilupakan dan diikhlashkan; bahkan ketika contoh kematian nyata di depan mata.
“Mau sampai kapan kau begini?” Perempuan tua di dekat mereka membisiki. Sang Ibu menangis pilu. Sementara sang putri masih tergugu, terisak-isak tak berdaya.

Sang Ibu dan sang putri sudah lama berseteru. Sang Ibu tak hendak menerima kepulangan, tak mau terima tangan yang memohon maaf dan ridhonya. Konon saat almarhum masih hidup, sesekali almarhum menengok sang putri diam-diam. Melepas rindu. Sebelum almarhum berpulang, sang putri sempat menjenguk di rumah sakit. Menyuapi, menunggui sang ayah selama beberapa waktu. Lalu pulang kembali ke kotanya. Dan tak sempat ia menyolatkan sang Ayah, sebab ia datang saat keranda telah siap berangkat.

***

“Kematian…, ” Bu Rum, sejawat saya, menyodorkan hape, menunjukkan gambar jenazah perempuan tua yang tengah dikafani.
“Semua akan mati, bagaimana bisa kita tetap bersikap keras, kaku, memendam amarah dan dendam?” Bu Rum menerawang.
“Orang-orang yang merasa berkuasa, belum pernah sakit parah, belum merasakan dekat dengan mati. Jadi lalai, berkata-kata seenaknya, menyakiti… Lupa bahwa suatu waktu badan akan lemah, dan kembali menjadi bukan siapa-siapa,” kalimat-kalimat itu sering diucapkan Bu Rum.

Jadi ingat kisah seseorang.

Saya mengenalnya sejak dia muda. Dulu, duluuu sekali, lagaknya angkuh. Senang memakai kacamata hitam, jika berjalan kepalanya terangkat. Tubuhnya tidak tinggi, tapi atletis.
Ketidaksukaannya pada jilbab membuatnya bersikap represif, dan cenderung intimidatif. Dia memaksa siswi putri berjilbab untuk melepas jilbabnya, dan memberi nilai rendah pada siapa saja yang bersikukuh memakai jilbab pada saat ia mengajar.
Lebih dari sekian belas tahun kemudian, sosoknya berubah. Ia yang ringkih, tampak tua dan lemah. Konon, bukan fisiknya saja yang berubah. Perangainya juga. Ia tidak lagi garang, angkuh, sekarang cenderung diam dan banyak tersenyum. Konon, setelah sakit, ia seolah mendapat kesempatan kedua.
“Saya tidak ingin menyakiti orang lain, sembuh dari sakit adalah kesempatan kedua. Saya tidak mau jadi sosok jahat lagi,” begitu kurang lebih yang saya dengar.

Kesempatan kedua.
Beruntungnya ia mengalami dan memahami isyarat ‘kesempatan kedua’ itu. Betapa banyak orang-orang yang diberi isyarat namun tak paham jua. Masih jumawa, masih petantang petenteng, masih merasa perkasa dengan kekayaan dan kekuasaannya. Masih pede dan yakin batas kekuasaannya adalah ‘pensiun’. Lupa bahwa ada batas tak kasat mata yang sewaktu-waktu muncul dan tak terelakkan; kematian. Ambang akhir yang tak mungkin membuat kita kembali.

**
Kembali pada kisah pertama di atas.

Mempertahankan dendam itu seperti menanam pisau beracun dalam dada. Perihnya terbawa terus menerus, sementara racunnya merusak banyak hal. Tak ada hidup yang teduh dari dendam yang menyala.
Berharap dendam terhapus begitu saja, tanpa itikad dan usaha untuk membasminya, adalah harapan semu. Kesadaran untuk memelihara hati dari dendam dan amarah menahun layak diperjuangkan.
Sejatinya kita selalu berpacu dengan waktu, Jangan tunggu sampai tiba masa dimana kesadaran tak berguna. Yaitu kala sampai pada ambang tak kembali : kematian.

Jombang, 29 Juli 2018. 06.43 WIB

2 komentar:

  1. Iya, dendam hanya akan membawa keburukan di dunia maupun akhirat. Hati jadi kian sakit, panas dan hal-hal buruk yang terus dirasa.

    Pengantar ceritanya menarik,Mbak.. kalau bisa panjangkan lagi, Mbak, hehehe saya suka baca ceritanya. Bagaimana akhirnya Ibu itu? Apakah mau mengikhlaskan suaminya untuk pergi selamanya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. TErima ksih sudah mampir mba Eri.
      Saya sudah edit pengantarnya. Sepertinya kurang panjang hingga bagian pentingnya terlewat.. Endingnya? Saya kurang tahu, apakah sang Ibu akhirnya bisa memaafkan dan berdamai dengan putrinya. Saya berharap demikian yang terjadi... Doakan ya Mbak. Semoga Allah mudahkan mereka untuk berishlah...

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.