TANTE HANI
“Aksi begitu itu untuk apa, buang-buang waktu saja!”
Narti heran. Tante Hani, adik dari Bapak, menonton televisi di ruang tengah sambil mengomel. Walau terpisah ruang, omelan Tante Hani terdengar jelas. Narti melanjutkan merajut. Sudah sebulan Narti merajut. Coba-coba. Sejak ikut komunitasnya, Narti tekun berlatih. Membuat tas, selimut, dan sekarang cardigan.
“Mereka kurang piknik, kurang kerjaan. Ngurusi negara lain, lha wong negeri sendiri saja masih kocar kacir begini.”
Narti melongok melalui sekat ruang tamu.
Tante Hani masih serius menonton. Matanya tidak beralih. Ia berkata-kata seolah-olah ada teman menonton.
“Panas-panas gini, kok mau-maunya . Dibayar berapa? Paling dapat nasi bungkus.”
Sekarang Narti tidak tahan. Ia beranjak mendekati sofa. Duduk di sebelah Tante Hani dan menyimak acara televisi.
Ada tayangan infotainment. Cerita seleb yang sedang piknik. Narti memperhatikan. Si seleb sedang memilih oleh-oleh. Ditunjukkan makanan-makanan di etalase, lalu memilih beberapa. Kemudian, berlanjut ke butik, memilih batik khas. Lalu ke restoran, mencari makanan khas. Ah, Narti malu hati. Si seleb memakai baju kurang kain, jadi auratnya melambai-lambai. Astaghfirullah.
“Suka juga sama infotainment? Weh, tak pikir gak seneng!” Tante Hani tergelak. Eh, iya, kenapa jadi nonton gossip begini? Tadi mau apa, ya?
“Bukan nonton itu,” Narti berpikir keras. Tante mencibir, terkekeh menggoda.
“Oh, mau tanya, tadi Tante lihat apa?”
“Nonton ini!” Tante menunjuk layar televisi.
“Bukan ah, tadi komentar apaaa…gitu!”
“Oh, ya. Itu, sekilas info. Aksi apa tadi ya, yang kumpul-kumpul gitu.”
“Kumpul bagaimana?”
“Aksi. Aksi Palestina. La opo seh, ngunu barang! Apa yang ikut itu kurang kerjaan?”
Narti diam, menunggu kelanjutan. Memandang lekat-lekat wajah Tante Hani. Tante Hani, merasa jadi perhatian, meneruskan berapi-api.
“Gak usah melu-melu urusan negeri lain. Urusan negeri dewe wae masih ruwet gini.” Tante Hani bersemangat.
“Gak kurang kerjaan, Te. Itu kepedulian,” kata Narti halus.
“Yo pengangguran namanya. Jangan-jangan mereka dibayar.”
“Mboten ngoten, Te.”
“Ah iyo, pasti. Untuk apa mereka mau disuruh-suruh hadir, panas menthor-menthor ngene,” Tante Hani tetap ngotot.
“Karena peduli, Te. Peduli saudara seiman,” Narti masih mencoba menjelaskan
“Ah ya ndak… Gak mungkin kalau gak ada iming-imingnya. Tetangga Tante itu, kerjanya mengumpulkan massa kalau ada yang pesan. Lumayan penghasilan dia , lho!”
“Ini murni kehendak sendiri, Te.”
“Kamu kok mbelani terus, se. “
“Hehehe. Mas Ari ikut, dia tidak dibayar, tidak dapat nasi bungkus.” Narti tesenyum.
Tante Hani tercekat. Mas Ari adalah keponakan kesayangan Tante Hani.
“Aku bilang anak-anakku, tiru Ari. Pinter, sholih, gak urakan, sayang keluarga. Joss tenan Ari itu, kamu beruntung dapat dia!” Narti tertawa kecil dengan pujian Tante Hani dulu, ketika Narti dan Ari baru menikah beberapa bulan. .
“Sejak SMA, dia luruuuuuus saja. Gak neko-neko, kuliahnya cepat lulus, cepat dapat kerja. Wis, menantu idaman!” Begitu katanya, dulu.
Narti menunggu reaksi Tante Hani.
“Bilang Ari, gak usah ikut begitu-begitu.”
“Mas Ari kayanya sih senang Tante, katanya karena muslim bersaudara, jadi di belahan bumi mana pun, muslim tertindas layak dibela. Sekedar menunjukkan pembelaan, Tante.”
“Oalaaaah... Ngunu barang. Pokoknya bilang, gak boleh, gitu. Tante eman-eman, takut kalau kenapa-kenapa nanti.”
Tante beranjak pergi.
Narti tersenyum tipis.
Masih panjang jalan untuk memahamkan Tante Hani tentang ukhuwwah, solidaritas, dan pembelaan. Narti bersyukur perbedaan sikap dengan Tante Hani tidak sampai membuat mereka saling memusuhi.
Tidak ada komentar: