NIKMATI ATAU TINGGALKAN
“Kue itu dilempar di depan saya,” katanya.
“Kenapa?”
“Menurut mereka tidak enak, dan tidak pantas disuguhkan,” pungkasnya.
**
Itu percakapan saya dengan salah satu rekan yang diamanahi menjadi bagian konsumsi dalam sebuah acara. Membayangkan makanan dilempar dengan diikuti celaan, entah dengan cara bagaimana, terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan. Eh.
Orang tua saya melarang keras anak-anaknya mencela makanan. Sekedar mengatakan “Tidak enak” secara terang-terangan, itu tabu.
Semula saya anggap itu sebagai bagian dari sopan santun saja. Adab bersikap. Ternyata memang ada hadist yang melarang mencela makanan. Jika tidak suka, tinggalkan tanpa mencelanya.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: "Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan. Apabila beliau menyukainya, beliau memakannya, dan apabila tidak menyenanginya, maka meninggalkan makanan tersebut". (HR. Bukhari dan Muslim)
Dua hikmah yang saya rasakan dari kebiasaan itu.
Pertama, membiasakan bersikap qonaah. Menerima apa yang ada dengan penuh rasa syukur. Menurunkan kadar tuntutan mulut dan perut yang seringkali dipengaruhi hawa nafsu. Mulut yang sudah biasa disuguhi dengan standar makanan tertentu, akan memiliki tuntutan yang kadang menjerumuskan. Kita menyebutnya selera. Saya tidak bermaksud mencela selera. Selera itu hal manusiawi. Fulan senang soto, fulanah doyan bakso. Yang doyan bakso pun punya tempat favorit masing-masing. Yang menjadi masalah adalah ketika selera itu mengunci rasa syukur dan penerimaan, juga membuat kita jatuh pada mencela makanan.
Jika berkaitan dengan pilihan pribadi, tidak ada masalah berarti. Datang saja ke restoran mana pun yang sesuai selera, asal mampu membayar. Masalah muncul manakala makanan itu pemberian, atau suguhan. Sikap qonaah akan menemukan ujiannya. Yang tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan qonaah memadai, akan jatuh pada sikap merendahkan. Enak tidak enaknya diverbalkan dengan kata-kata buruk, atau bisik-bisik yang jatuh pada menggunjing.
Kedua, menuntun hati untuk menghapus kesombongan. Selera berkaitan dengan kelas dan status sosial. Ketika dalam kondisi papa, tidak punya banyak pilihan makanan/minuman. Yang penting lapar dan dahaga hilang. Yang penting perut kenyang. Ini yang disebut nilai pertama. Fungsi makanan untuk menghilangkan lapar saja, tak lebih. Dalam kondisi berada, menentukan makanan bukan lagi sekadar kenyang. Ada nilai kedua yang menjadi penentu, misalnya gengsi. Merasa bangga ketika bisa makan di restoran berkelas. Enggan makan di tempat sederhana sebab akan menurunkan ‘level’ atau status sosial.
Larangan mencela makanan ini mendidik jiwa-jiwa demikian untuk mengikis gengsi dan angkuh. Menganggap bahwa makanan yang dicela itu sebagai makanan yang ‘tidak level dengan status sosial atau kemampuan finansial’. Memandang diri atau orang lain berdasarkan kelas sosial atau kemampuan finansial tertentu adalah sikap jahiliyah yang harus dihapuskan. Sebab tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hehe.
Oh ya, jahiliyah itu bukan perspektif yang didasarkan pada kecerdasan, status sosial, kemajuan teknologi atau kemajuan ekonomi. Jahiliyah itu perspektif hidayah. Siapa pun orang cerdas, ketika dia jauh dari nilai kebenaran Islam, maka ia jahiliyah. Semaju apa pun teknologi suatu negara, jika jauh dari nilai-nilai agama, maka negara itu jahiliyah.
Kembali pada mencela makanan.
Mencela adalah sikap tercela.
Kecuali mencela keburukan, perilaku maksiat, barang haram, itu keharusan. Tentu dengan hikmah dan adab yang baik.
Ada banyak orang di luar sana yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya. Boro-boro memikirkan mengganti baju, memastikan bahwa besok makan apa, mereka tidak berani. Mungkin saja makanan yang bagi kita tak enak, tak sesuai selera, sangat mereka harapkan dan impikan.
Adab yang dicontohkan Rasulullah saw dalam hadist diatas memiliki nilai kemuliaan yang tinggi.
Mari mulai.
Hindarkan mencela makanan. Nikmati jika berkenan, tinggalkan jika tak suka. Bawalah kotak makanan yang menurut kita tak enak itu, lalu berdoalah. Agar Allah pertemukan kita dengan orang yang akan menerima dengan senang hati.
Dua kebaikan kita dapatkan. Pertama kebaikan mengikuti Sunnah Nabi, kedua kebaikan sedekah.
Tidakkah itu lebih afdal dan mulia?
“Kenapa?”
“Menurut mereka tidak enak, dan tidak pantas disuguhkan,” pungkasnya.
**
Itu percakapan saya dengan salah satu rekan yang diamanahi menjadi bagian konsumsi dalam sebuah acara. Membayangkan makanan dilempar dengan diikuti celaan, entah dengan cara bagaimana, terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan. Eh.
Orang tua saya melarang keras anak-anaknya mencela makanan. Sekedar mengatakan “Tidak enak” secara terang-terangan, itu tabu.
Semula saya anggap itu sebagai bagian dari sopan santun saja. Adab bersikap. Ternyata memang ada hadist yang melarang mencela makanan. Jika tidak suka, tinggalkan tanpa mencelanya.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: "Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan. Apabila beliau menyukainya, beliau memakannya, dan apabila tidak menyenanginya, maka meninggalkan makanan tersebut". (HR. Bukhari dan Muslim)
Dua hikmah yang saya rasakan dari kebiasaan itu.
Pertama, membiasakan bersikap qonaah. Menerima apa yang ada dengan penuh rasa syukur. Menurunkan kadar tuntutan mulut dan perut yang seringkali dipengaruhi hawa nafsu. Mulut yang sudah biasa disuguhi dengan standar makanan tertentu, akan memiliki tuntutan yang kadang menjerumuskan. Kita menyebutnya selera. Saya tidak bermaksud mencela selera. Selera itu hal manusiawi. Fulan senang soto, fulanah doyan bakso. Yang doyan bakso pun punya tempat favorit masing-masing. Yang menjadi masalah adalah ketika selera itu mengunci rasa syukur dan penerimaan, juga membuat kita jatuh pada mencela makanan.
Jika berkaitan dengan pilihan pribadi, tidak ada masalah berarti. Datang saja ke restoran mana pun yang sesuai selera, asal mampu membayar. Masalah muncul manakala makanan itu pemberian, atau suguhan. Sikap qonaah akan menemukan ujiannya. Yang tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan qonaah memadai, akan jatuh pada sikap merendahkan. Enak tidak enaknya diverbalkan dengan kata-kata buruk, atau bisik-bisik yang jatuh pada menggunjing.
Kedua, menuntun hati untuk menghapus kesombongan. Selera berkaitan dengan kelas dan status sosial. Ketika dalam kondisi papa, tidak punya banyak pilihan makanan/minuman. Yang penting lapar dan dahaga hilang. Yang penting perut kenyang. Ini yang disebut nilai pertama. Fungsi makanan untuk menghilangkan lapar saja, tak lebih. Dalam kondisi berada, menentukan makanan bukan lagi sekadar kenyang. Ada nilai kedua yang menjadi penentu, misalnya gengsi. Merasa bangga ketika bisa makan di restoran berkelas. Enggan makan di tempat sederhana sebab akan menurunkan ‘level’ atau status sosial.
Larangan mencela makanan ini mendidik jiwa-jiwa demikian untuk mengikis gengsi dan angkuh. Menganggap bahwa makanan yang dicela itu sebagai makanan yang ‘tidak level dengan status sosial atau kemampuan finansial’. Memandang diri atau orang lain berdasarkan kelas sosial atau kemampuan finansial tertentu adalah sikap jahiliyah yang harus dihapuskan. Sebab tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hehe.
Oh ya, jahiliyah itu bukan perspektif yang didasarkan pada kecerdasan, status sosial, kemajuan teknologi atau kemajuan ekonomi. Jahiliyah itu perspektif hidayah. Siapa pun orang cerdas, ketika dia jauh dari nilai kebenaran Islam, maka ia jahiliyah. Semaju apa pun teknologi suatu negara, jika jauh dari nilai-nilai agama, maka negara itu jahiliyah.
Kembali pada mencela makanan.
Mencela adalah sikap tercela.
Kecuali mencela keburukan, perilaku maksiat, barang haram, itu keharusan. Tentu dengan hikmah dan adab yang baik.
Ada banyak orang di luar sana yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya. Boro-boro memikirkan mengganti baju, memastikan bahwa besok makan apa, mereka tidak berani. Mungkin saja makanan yang bagi kita tak enak, tak sesuai selera, sangat mereka harapkan dan impikan.
Adab yang dicontohkan Rasulullah saw dalam hadist diatas memiliki nilai kemuliaan yang tinggi.
Mari mulai.
Hindarkan mencela makanan. Nikmati jika berkenan, tinggalkan jika tak suka. Bawalah kotak makanan yang menurut kita tak enak itu, lalu berdoalah. Agar Allah pertemukan kita dengan orang yang akan menerima dengan senang hati.
Dua kebaikan kita dapatkan. Pertama kebaikan mengikuti Sunnah Nabi, kedua kebaikan sedekah.
Tidakkah itu lebih afdal dan mulia?
Kalau kecil dulu ketika makanan gak habis, selalu dinasihati sama gini Umi' "makanan kalau gak dihabisin itu nanti dia nangis dan lapor sama Allah kalau kita menyia-nyiakan makanan"
BalasHapusPaling sedih kalau hadiri pesta dan melihat rupa-rupa makanan bersisa di piring... Hiks.
HapusTerima ksih sudah mampir dan komen di sini mas Sadli..
Smg kita termasuk orang yg bs menghargai makanan.Sesederhana apa pun.Krn..benar Bunda...nun jauh di sana masih ada orang yg tdk bisa menikmati makanan sesederhana apa pun.
BalasHapusAllahumma aamiin... Perlu dibiasakan sikap begitu, ya Bu..
HapusTerima kasih sudah membaca..