DARI SEBUTIR TELUR

Senin, Maret 19, 2018



Bapak guru geografi masuk ke kelas kami. Beliau menuju meja guru, dan duduk. Kami menunggu. Beliau memandang lurus pada kami, dengan sikap berwibawa.
Kami anteng, masih menunggu. Tiba-tiba beliau tertawa. Wajahnya seperti setengah mati menahan geli.

“Kalau saya lihat kelas ini, selalu ingin tertawa,” katanya. Teman-teman sontak bersorak dan ikut tertawa.
Kelas saya kelas gemuk. Ada sekitar 54 siswa. Wew, full-class. Iseng-iseng pula mahluknya. Deret bangku saya, yang paling kiri dan posisinya di depan meja guru, banyak cowoknya. Ceweknya cuma 3, saya, Yayuk, dan Pinaris. Yayuk duduk sendiri di bangku paling depan, saya dan Pinaris di baris kedua.
Jika kami sudah duduk di bangku masing-masing, ada yang berteriak dari belakang kepada Yayuk: “Mbak Supir, sudah penuh. Berangkat!”

Jam istirahat, para siswa biasanya bergerombol di depan kelas. Begitu bel masuk berbunyi, mendadak banyak calo terminal.
“Ayo mbak, kanan tiga kiri dua. Masih kosong…. Ayo berangkat, berangkat…”
“Kemana? Surabaya? Sini Mbak, kosong…, kosong…, segera berangkat. Ya, kanan tiga, kiri dua…”
Itu kata-kata mereka kepada anggota kelas yang satu per satu masuk. Kami senyum-senyum saja. Sudah hafal dengan keisengan akut mereka.
Para calo itu akan bubar, semburat kabur, bukan karena ada satpol pp atau petugas keamanan terminal. Tetapi sebab bapak/ibu guru yang akan mengajar di kelas kami muncul dari arah depan.

Pernah kejadian , sebab lari yang terbirit-birit, teman saya jatuh. Sepatunya melenting ke atas, lalu mendarat di meja guru. Dia tak sempat mengambil, segera lari menuju bangku.
“Ayo, ambil ini sepatu… Gimana caramu jatuh sampai nangkring di sini!” kata Bapak guru agama dalam bahasa jawa. Beliau mengangkat sepatu itu sambil tertawa geli.

Suatu waktu, kami ingin membuat seragam kelas. Mupeng lihat kelas fisika satu (tempat orang-orang serius dan anteng berada, termasuk suamiku… Eh, waktu SMA kami sama sekali tidak saling mengenal!) yang punya jaket keren.

Ketua kelas kami, cowok pintar, kalem, dan alim (sungguh kasihan, memimpin anak buah jahil-jahil macam kami!), maju ke depan kelas.
“Rek, kita buat seragam kelas, ya. Ayo usulkan, apa yang mau kita pilih, kaos? Jaket?” Kelas kami gaduh.
“Jaket mahal! Syal saja!” Seseorang bersuara.
“Ojo! Elek! Kaos, warna biru.” Suara lain lagi.
“Topi saja. Bagus!”
“Woooo, ojo topi, gak apik!”
“Kaos!”
“Jaket saja!”

Suara bersahut-sahutan terdengar terus menerus. Bapak kepala suku garuk-garuk kepala, sambil senyum-senyum.
“Jadi apa, rek, maunya? Kaos, jaket, atau topi?” Tanya beliau, di tengah arus usul yang tak habis-habis.
“Saruuuung!!” suara lantang menjawab. Kami tergelak-gelak riuh. Dan rapat gagal. Hingga lulus, tak ada topi, jaket, kaos, apalagi sarung seragam!

**

Setiap angkatan pada sekolah, ada kekhasannya.
Tiap angkatan ada cerita uniknya. Ada angkatan yang anteng, tenang, dan sebagian besar siswa menurut. Ada yang tukang portes, manja, dan periang. Ada juga angkatan yang full masalah!

“Angkatan sekian, angkatan yang kompleks,” kata Ustadz Supri, kepala sekolah Najma. “Dalam camp di Batu lalu, kami memikirkan bagaimana membuat pengkondisian yang bisa melatih tanggung jawab mereka.”

Baca cerita lain tentang kepala sekolah dan sekolah kerennya disini!

Dan kepala sekolah, bersama Ustadz Kukuh (seorang instruktur kepanduan yang dilibatkan secara khusus), menemukan cara yang unik: membagikan sebutir telur keada masing-masing siswa di awal acara.
Telur itu diberi nama.

Tugas pemilik adalah: menjaga telur sepanjang acara, hingga penutupan, agar tidak pecah, atau hilang. Mereka bertanggungjawab penuh atas telur masing-masing. Jika tampak ada telur yang ‘keleleran’, panitia berhak mengambil. Jika ada telur pecah, mereka berhak mendapatkan ganti, dengan syarat menghadap kepada tiga orang: Ustadz Kukuh dan dua orang ustadz ustadzah lain. Tiga orang tersebut akan memberi penugasan. Bisa hafalan, atau apapun.



Maka, menurut cerita Ustadz Supri, inilah yang terjadi.
Semua siswa membawa tekur ke mana pun pergi. Mereka memikirkan cara agar telur itu aman di kamar mandi, saat mandi, misalnya. Saat tidur, bagaimana caranya supaya telur itu terjaga. Masing-masing siswa tidur ‘ngeloni’ telur.
Waktu sholat berjamaah, berjajar-jajar telur di sajadah. Waktu materi, banyak telur disimpan di bawah kursi masing-masing.

Ada lagunya nih : di sini telur, di sana telur. Di mana-mana kujaga telur. Hehehe.



**

Nilai yang hendak ditanamkan adalah amanah, tanggungjawab, dan pemecahan masalah.

“Dan ternyata mereka bisa! Hanya dua yang pecah, selebihnya aman!” kata Ustadz Supri.

Anak-anak yang selama ini dikenal ‘istimewa’ bisa melampaui hari-hari training dengan telur yang selamat. Mereka menunjukkan kesungguhan menjaga amanah telur itu. Mereka bisa mencari cara agar telur itu berada dalam kondisi aman ke manapun dibawa.
Tilawah, tahajud, sesi kelas, olah raga, makan bersama, shalat berjamaah, atau waktu santai.
Membayangkannya lucu juga: seluruh peserta membawa telur dengan gayanya masing-masing!

Salut.

Kreatif sekali menciptakan situasi yang memaksa mereka mengerahkan daya upaya agar peserta bertanggungjawab dan lihai mencari solusi.
Seluruh rangkaian acara dirancang agar komprehensif dan mencakup nilai-nilai intelektual, moral dan spiritual secara maksimal.
Tak ada karaoke dangdut, tak ada joget-joget, tak ada bentak-bentak.

“Telur itu dibawa pulang dan dipersembahkan kepada orangtua masing-masing,” pungkas Ustadz Supri.
Dipersembahkan dengan kebanggaan dan kepercayaan diri. Bahwa mereka sanggup menuntaskan amanah menjaga telur itu sepanjang acara.

Dari sebutir telur, ada filosofi agung yang bisa diajarkan!


Lalu apa hubungan antara cerita diatas dengan di bawah? Tak ada. Hanya hendak memberikan gambaran mengenai uniknya masa sekolah. Dan anak saya termasuk beruntung berada di sekolah yang Kepala Sekolah beserta jajarannya punya banyak akal mengkondisikan siswa siswinya agar agama, akhlaq, akal dan adabnya terjaga!

Barakallahu fiikum.



Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.