PEREMPUAN HARUS LEMAH!
Dua keponakanku itu mirip. Memang kakak adik sih, tapi melihat sekilas, seolah mereka kembar. Tingginya hampir sama.Model rambutnya juga sama. Mata (cenderung) sipitnya juga sama. Namanya Izzat dan Fatih.
Izzat lebih ngemong, usianya memang lebih tua satu setengah tahun. Fatih, si bungsu, temperamen. Kalau marah, banting-banting apa saja.
"Bagaimana mengatasi kebiasaan marahnya?"
Izzat lebih ngemong, usianya memang lebih tua satu setengah tahun. Fatih, si bungsu, temperamen. Kalau marah, banting-banting apa saja.
"Bagaimana mengatasi kebiasaan marahnya?"
Begitu pertanyaan Abinya. Wah, gimana, ya? Pertanyaan ini kudu ditanyakan pada orang sabar dan kalem macam mas Budi.
"Time out?" usul saya.
"Time out?" usul saya.
Time out, meminta anak berdiri di satu titik sembari memintanya memikirkan sepak terjang yang membuat time out diberlakukan. Untuk menerapkan ini, tentu saja perlu ada pemberian pemahaman lewat dialog yang baik dengan anak. Tidak bisa makbedunduk time out ditegakkan begitu saja. Bisa semakin mengamuk!
"Pernah saya plester kakinya pakai lakban, Bude, eh, dia menendang-nendang sampai lepas plesternya!"
"Pernah saya plester kakinya pakai lakban, Bude, eh, dia menendang-nendang sampai lepas plesternya!"
Kami tertawa bersama. Geli membayangkan keqinya sang Abi ketika insiden copotnya plester terjadi! Tengsin, jiahaha.
"Apa dia gak tambah mengamuk? Atau sakit hati?"
"Nggak tahu, sih!"
Lalu dialog berlanjut. Saya bukan orang yang ahli dalam pendidikan anak. Referensi dalam diskusi ini murni berdasar pengalaman mengasuh, baik anak sendiri atau anak orang lain di SDIT dahulu, atau di ABaTa. Itu thok.
Fatih and the gank sering menginap di rumah saat liburan. Ramadhan kemarin, kami sempat 'itikaf bersama di masjid Agung. Jika dijumlah dengan anak saya, total ada sepuluh orang. Wew, rame! Hafidz yang sekarang duduk di kelas lima, senang bukan kepalang. Najma dan Zahra juga demikian. Sebab masing-masing mereka punya 'kelompok-bermain'. Hafidz bersama Hilwah, Hanin, Izzat dan Fatih. Najma dan Zahra bersama Muthia dan Yasmin. Nabila? Sama saya, hehehe.
Rumah kami jarang sepi. Dan sejak dulu, kami berdua (secara tidak tertulis) kebagian mengasuh para sipon (keponakan). Menemani mereka ke kolam renang, ke alun-alun, ke Kebon Rojo. Urusan ajak jalan-jalan para krucils, serahkan Ayah dan Bunda (Mas Budi dan saya, maksudnya), begitu. Bukan hanya itu. Salah satu fungsi Ayah lainnya adalah: satpam! Wehehehe. Serius!
Begini, misalnya.
"Aa Thoriq, ayo mandi!" Ummi Thoriq memberi maklumat. Thoriq anteng.
"Aa, cepetan mandi!" Pantat Thoriq nancep, belum mau beranjak.
"Hampir maghrib, ayo mandi!" Cuek beibeh si Thoriq.
"Paman Budiiiiii, Thoriq gak mau mandi!" Wussssss.... Thoriq melesat ke kamar mandi.
Apa pasal? Sebab Ayah Budi alias Paman Budi tak segan mengangkat barangsiapa yang tak mandi-mandi, membawanya ke kamar mandi, dan blung...memasukkannya ke bak!
Atau begini.
"Adzan, ke masjid, Aa umar," kali ini Umminya Umar bertitah.
"Iya, ntar!" Umar khusyu' dengan mainannya.
"Keburu qomat!" Umminya mulai spanneng.
"Iya, nanti dulu!" Umar keukeuh.
Ayah Budi muncul.
"Ayo, Aa, ke masjid!" Suara Ayah Budi datar dan berat, dengan wajah cool.
Melesat Aa Umar, tak ada tawar menawar lagi.
Ajaib, ya? Hihi.
Sekarang Aa Thoriq dan Aa Umar sudah dewasa. Posisinya digantikan Izzat dan Fatih.
Suatu waktu, Ummi dan Abi mereka bepergian. Keenam anaknya bersama kami. Entah mengapa, sedang asyik bermain, Fatih ngambek. Saya dan Mas Budi duduk di hall samping, mengawasi anak-anak yang pontang-panting berlarian ke sana ke mari. Dari depan, ke tengah, ke belakang, ke tengah lagi, balik depan, masuk mushalla, mutar lewat garasi belakang mushalla. Lalu naik ke mainan-mainan di sebelah, balik lagi tengah, memutar ke belakang. Wes, pokoknya pusing kalau memperhatikan lagak mereka.
Balik ke Fatih yang merajuk. Posisi dia berdiri di ruang tamu. Dari tempat kami duduk, dia masih tampak.
"Eh, jangan banting al Qur'an!" Tiba-tiba Mas Budi berteriak.
Saya mendekati. Ada Al Qur'an milik Ummi di dekat kaki.
"Maaf, tidak bileh injak-injak Al Qur'an. Tidak boleh, ya! Marah-marahnya gak pakai banting-banting atau injak-injak barang, apalagi Al Qur'an," saya berjongkok di depannya. Tangan Fatih bersedekap, mulutnya manyun. Dia menunjukkan penolakan dan perlawanan.
"Ya Allah, hilangkanlah kemarahan di hati Fatih. Ya Allah, sejukkanlah hati Fatih," saya mengusap-usap dadanya. Mata Fatih mulai berair, mulutnya mewek. Lalu meluncur satu demi satu tetes air mata.
"Ummiiiii.... Ummiiiiii," teriaknya. Waduh, kok malah nangis buanter!
Nah, kemarin Sabtu, 6 Juli 2019, dua kali saya mendapati Fatih menangis.
Pertama, pagi hari saat main ayunan. Tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu sambil memegang tangannya. Duduk di pangkuan Ummi yang sedang mengobrol dengan saya.
'Kenapa, Dek?"
"Huhuhu...huhuhu...." Eh, itu bukan suara burung hantu, ya. Lagak Fatih menangis begitu.
"Kenapa, kak Izzat?" Ummi mananyai saksi ahli.
"Gak tahu, Mi'!" Wah, gak jadi ahli, deh!
"Kenapa, Dek? Tangannya kena apa?"
"Ituuu... aku pegangan ayunan gini (dia peragakan, memeluk tiang ayunan), terus tanganku kejepiiit.... Huaa, huaaa," nangisnya banter lagi. Dramatis, air matanya bercucuran. Jika diilustrasikan dalam kartun, macam air mata Nobita yang mancur-mancur, gitu.
"Oooh, lain kali, pgang ayunan jangan begitu, kalau ayunan bergerak, kejepit," Ummi memberi saran.
Setelah kering air mata, Fatih kabur lagi bersama Izzat. Main-main riang gembira.
Kedua, siang hari. Hafidz, Hilwah, dan lainnya bermain tembak-tembakan. Saya mengantuk, masuk kamar, dan leyeh-leyeh. Baru seperempat merem, ada suara Fatih menangis. Dari kamar, tampak Fatih di gerbang pagar, tersungkur. Ada tongkat pramuka yang dicat warna warni di dekatnya.
'Kenapa lagi?" saya keluar dari kamar.
"Huaaa...huaaaa...," Fatih masih sibuk menangis.
"Adek Fatih jatuh?" Umminya menanyai.
"Huaaa..huaaa... aku pegang tongkat ituuu.... Huaaa...terus tongkatnya kecantoool...huaaa."
Izzat lari ke pagar.
"Begini?" Izzat memegang tongkat dengan posisi melintang. Satu ujung tongkat menempel di pintu pagar, sisi lainnya di tembok gerbang.
"Bukaaaan...huaaaa," Fatih menggeleng.
"Gini?" Izzat mengubah posisinya.
"Bukaaaaaan, huaaaaaa... Itu, tongkatnya masuk ke pagar satunya." Penjelasan Fatih tidak terlalu saya pahami, tapi saya angguk-angguk. Case closed sajalah. Yang penting Fatih segera berhenti menangis.
"Gak papa, kuat, Adek Fatih kuat. Ayo main lagi!" Ummi memberinya semangat.
Saya beranjak, hendak meneruskan tidur.
"Adek Fatih main lagi, ayo! Laki-laki harus kuat, perempuan harus lemah!" Izzat memotivasi dengan gagah perkasa. Umminya tertawa keras sekali, sementara saya balik kanan.
"Lho, kok gitu?" kata saya.
"Emm... emm.. Laki-laki harus kuat, perempuan boleh lemah!" ralat Izzat, dengan teriakan yang sama keras.
Jiahahaha. Better, lah! Kalau didengar feminis, mencak-mencak mereka.
"Apa dia gak tambah mengamuk? Atau sakit hati?"
"Nggak tahu, sih!"
Lalu dialog berlanjut. Saya bukan orang yang ahli dalam pendidikan anak. Referensi dalam diskusi ini murni berdasar pengalaman mengasuh, baik anak sendiri atau anak orang lain di SDIT dahulu, atau di ABaTa. Itu thok.
Fatih and the gank sering menginap di rumah saat liburan. Ramadhan kemarin, kami sempat 'itikaf bersama di masjid Agung. Jika dijumlah dengan anak saya, total ada sepuluh orang. Wew, rame! Hafidz yang sekarang duduk di kelas lima, senang bukan kepalang. Najma dan Zahra juga demikian. Sebab masing-masing mereka punya 'kelompok-bermain'. Hafidz bersama Hilwah, Hanin, Izzat dan Fatih. Najma dan Zahra bersama Muthia dan Yasmin. Nabila? Sama saya, hehehe.
Rumah kami jarang sepi. Dan sejak dulu, kami berdua (secara tidak tertulis) kebagian mengasuh para sipon (keponakan). Menemani mereka ke kolam renang, ke alun-alun, ke Kebon Rojo. Urusan ajak jalan-jalan para krucils, serahkan Ayah dan Bunda (Mas Budi dan saya, maksudnya), begitu. Bukan hanya itu. Salah satu fungsi Ayah lainnya adalah: satpam! Wehehehe. Serius!
Begini, misalnya.
"Aa Thoriq, ayo mandi!" Ummi Thoriq memberi maklumat. Thoriq anteng.
"Aa, cepetan mandi!" Pantat Thoriq nancep, belum mau beranjak.
"Hampir maghrib, ayo mandi!" Cuek beibeh si Thoriq.
"Paman Budiiiiii, Thoriq gak mau mandi!" Wussssss.... Thoriq melesat ke kamar mandi.
Apa pasal? Sebab Ayah Budi alias Paman Budi tak segan mengangkat barangsiapa yang tak mandi-mandi, membawanya ke kamar mandi, dan blung...memasukkannya ke bak!
Atau begini.
"Adzan, ke masjid, Aa umar," kali ini Umminya Umar bertitah.
"Iya, ntar!" Umar khusyu' dengan mainannya.
"Keburu qomat!" Umminya mulai spanneng.
"Iya, nanti dulu!" Umar keukeuh.
Ayah Budi muncul.
"Ayo, Aa, ke masjid!" Suara Ayah Budi datar dan berat, dengan wajah cool.
Melesat Aa Umar, tak ada tawar menawar lagi.
Ajaib, ya? Hihi.
Sekarang Aa Thoriq dan Aa Umar sudah dewasa. Posisinya digantikan Izzat dan Fatih.
Suatu waktu, Ummi dan Abi mereka bepergian. Keenam anaknya bersama kami. Entah mengapa, sedang asyik bermain, Fatih ngambek. Saya dan Mas Budi duduk di hall samping, mengawasi anak-anak yang pontang-panting berlarian ke sana ke mari. Dari depan, ke tengah, ke belakang, ke tengah lagi, balik depan, masuk mushalla, mutar lewat garasi belakang mushalla. Lalu naik ke mainan-mainan di sebelah, balik lagi tengah, memutar ke belakang. Wes, pokoknya pusing kalau memperhatikan lagak mereka.
Balik ke Fatih yang merajuk. Posisi dia berdiri di ruang tamu. Dari tempat kami duduk, dia masih tampak.
"Eh, jangan banting al Qur'an!" Tiba-tiba Mas Budi berteriak.
Saya mendekati. Ada Al Qur'an milik Ummi di dekat kaki.
"Maaf, tidak bileh injak-injak Al Qur'an. Tidak boleh, ya! Marah-marahnya gak pakai banting-banting atau injak-injak barang, apalagi Al Qur'an," saya berjongkok di depannya. Tangan Fatih bersedekap, mulutnya manyun. Dia menunjukkan penolakan dan perlawanan.
"Ya Allah, hilangkanlah kemarahan di hati Fatih. Ya Allah, sejukkanlah hati Fatih," saya mengusap-usap dadanya. Mata Fatih mulai berair, mulutnya mewek. Lalu meluncur satu demi satu tetes air mata.
"Ummiiiii.... Ummiiiiii," teriaknya. Waduh, kok malah nangis buanter!
Nah, kemarin Sabtu, 6 Juli 2019, dua kali saya mendapati Fatih menangis.
Pertama, pagi hari saat main ayunan. Tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu sambil memegang tangannya. Duduk di pangkuan Ummi yang sedang mengobrol dengan saya.
'Kenapa, Dek?"
"Huhuhu...huhuhu...." Eh, itu bukan suara burung hantu, ya. Lagak Fatih menangis begitu.
"Kenapa, kak Izzat?" Ummi mananyai saksi ahli.
"Gak tahu, Mi'!" Wah, gak jadi ahli, deh!
"Kenapa, Dek? Tangannya kena apa?"
"Ituuu... aku pegangan ayunan gini (dia peragakan, memeluk tiang ayunan), terus tanganku kejepiiit.... Huaa, huaaa," nangisnya banter lagi. Dramatis, air matanya bercucuran. Jika diilustrasikan dalam kartun, macam air mata Nobita yang mancur-mancur, gitu.
"Oooh, lain kali, pgang ayunan jangan begitu, kalau ayunan bergerak, kejepit," Ummi memberi saran.
Setelah kering air mata, Fatih kabur lagi bersama Izzat. Main-main riang gembira.
Kedua, siang hari. Hafidz, Hilwah, dan lainnya bermain tembak-tembakan. Saya mengantuk, masuk kamar, dan leyeh-leyeh. Baru seperempat merem, ada suara Fatih menangis. Dari kamar, tampak Fatih di gerbang pagar, tersungkur. Ada tongkat pramuka yang dicat warna warni di dekatnya.
'Kenapa lagi?" saya keluar dari kamar.
"Huaaa...huaaaa...," Fatih masih sibuk menangis.
"Adek Fatih jatuh?" Umminya menanyai.
"Huaaa..huaaa... aku pegang tongkat ituuu.... Huaaa...terus tongkatnya kecantoool...huaaa."
Saya geli melihat ekspresinya ketika bercerita sambil menangis. Go, Fatih, go! Teruslah bercerita agar Ummi paham kejadiannya.
Izzat lari ke pagar.
"Begini?" Izzat memegang tongkat dengan posisi melintang. Satu ujung tongkat menempel di pintu pagar, sisi lainnya di tembok gerbang.
"Bukaaaan...huaaaa," Fatih menggeleng.
"Gini?" Izzat mengubah posisinya.
"Bukaaaaaan, huaaaaaa... Itu, tongkatnya masuk ke pagar satunya." Penjelasan Fatih tidak terlalu saya pahami, tapi saya angguk-angguk. Case closed sajalah. Yang penting Fatih segera berhenti menangis.
"Gak papa, kuat, Adek Fatih kuat. Ayo main lagi!" Ummi memberinya semangat.
Saya beranjak, hendak meneruskan tidur.
"Adek Fatih main lagi, ayo! Laki-laki harus kuat, perempuan harus lemah!" Izzat memotivasi dengan gagah perkasa. Umminya tertawa keras sekali, sementara saya balik kanan.
"Lho, kok gitu?" kata saya.
"Emm... emm.. Laki-laki harus kuat, perempuan boleh lemah!" ralat Izzat, dengan teriakan yang sama keras.
Jiahahaha. Better, lah! Kalau didengar feminis, mencak-mencak mereka.
Narasinya bisa begini: "Begitulah didikan Islam radikal!"
Wihihi.
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia
Wihihi.
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia
Ceritanya selalu menarik, lucu, seru....semua ada disitu. Ayo teh...aku dukung untuk bikin buku. Ganbatte 😍💪
BalasHapusAlhamdulillah terim kasih sudah baca dan komen..
HapusInsyaaAllah dibukukan.. bantu doa yaa...