BAGIMU, DALANG TEROR BEGERIKU

Senin, September 17, 2018
Tuan-tuan yang (merasa) terhormat,
Selamat. Satu puzzle skenario hitam Tuan telah dilengkapi. Setelah Brimob, lalu gereja di Surabaya. Tuan telah berhasil mensutradarai tema besar terorisme di negeri kami. Tuan telah menggerakkan bidak-bidak catur dan mengatur semuanya sesuai kehendak hawa nafsu. Nafsu berkuasa, nafsu menghancurkan. Nafsu menindas dan mendzolimi.
Tuan telah menjadikan agama kami sebagai sasaran. Peperangan ini, Tuan, adalah peperangan abadi. Sekarang Tuan sutradaranya, melanjutkan peran sutradara terdahulu.
Tuan bisa tertawa menonton, mencermati lakon skenario yang
Tuan telah buat. Para korban itu bisa jadi hanya onggokan boneka bagi Tuan. Satu dari sekian pemain yang perlu dijadikan tumbal. Pelakunya pun Tuan pilih dengan cermat. Tentu Tuan tidak perlu lakukan audisi, tak usah buat pengumuman ‘mencari pemain berbakat’. Di luar sana bertebaran berbagai karakter nyata yang Tuan bisa comot. Bisa siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Tuan-tuan yang (menempatkan diri) mulia,
Opini sudah Tuan tembakkan. Orang-orang yang bertugas di lapangan media sudah menyusun kata-kata. Pemilihan tempat bom diledakkan, dan tempat kerusuhan. Semuanya diciptakan sesuai dengan tujuan besar: citrakan Islam agama barbar. Agama para pengacau,dan meligitimasi kekacaun. Jadikan kaum muslimin sebagai sansak yang bisa digebuk habis-habisan sebagai contoh antiNKRI, antikebhinekaan, antitoleransi. Napiter itu judul pertama. Kalian tulis besar-besar dalam alur kerusuhan itu: para napi teroris sungguh kejam.
Alur kedua adalah gereja. Imej yang hendak kalian ciptakan adalah penyerang gereja selalu muslim. Lihat, masjd tidak pernah diserang, selalu tempat ibadah agama lain yang menjadi sasaran. Sebab hanya Islam yang membiarkan teroris tumbuh dan berkembang. Begitu, Tuan? Opini itu telah ditembakkan lewat peluru medsos. Yang bagian membisiki mengularkan desas desus, memainkan jempol lewat tuts keyboard masing-masing. Pemain besar, bicara dalam medan besar, forum besar. Luas pengaruh mereka memantulkan gema tulisan, pembicaraan, pendapat. Maka berduyun-duyun para ‘relawan’ ( orang yang tak pelajari sejarah, tak peduli kebenaran, menggadaikan kehormatan demi asupan gizi bagi diri dan keluarganya) menyusup di facebook, merayap di blog, mengendap-endap di group WA, line.

Suasana semakin hingar bingar sebab orang-orang yang terkilir izzah agamanya ikut bersuara lantang. Menuding sesama saudaranya sebagai biang kerok terror. Selamat Tuan, Anda telah berhasil membuka medan tempur antarmuslim. Mengadu domba hingga kami saling curiga. Mengaduk-aduk emosi hingga terpelintir antara gengsi pribadi dan kehormatan agama.
Sebagian lagi yang berada di barisan Tuan, sebagaimana yang Tuan harapkan, adalah orang-orang yang terombang-ambing tak tentu arah. Serupa pohon, ia bertiup bergantung angin. Angin ke barat, meliuklah ke sana. Angin ke timur, melambailah ke sana pula. Mungkin mereka tak hendak lelah-lelah berpikir dalam, mencerna lebih atau menelisik jauh. Yang tampak yang dinilai. Yang viral yang dihafal. Konspirasi bagi mereka adalah perkara jauh, jauh sekali.

Selamat Tuan.
Sudah berhasil Tuan menebar benci dan waswas. Sudah dilahap banyak-banyak oleh para pemabuk pulsa, penangguk dana, penunggu nasi bungkus. Ah, kasar nian daku. Tapi maafkan. Nalar-nalar normal mereka, menurutku, sudah konslet dan kacau balau. Kalang kabut menyusun alur logika pembenaran, kesasar-sasar hingga tak jelas dasarnya. Ah, kasihan. Semakin gencar, semakin bodoh penampakannya. Semakin lugas gambaran narasinya. Dangkal, dan norak.

Aih, aku lebay dalam berkata-kata, ya. Biar sajalah. Sedang ingin mendayu-dayu.

Kekuasaan itu manis, Tuan.
Hawa nafsu itu candu. Semakin dicerna, semakin dahaga. Tuan bisa bertepuk dada atas keberhasilan menciptakan drama. Uh, merasai kejayaan itu indah, bukan? Di singgasana gelapmu (maaf kukatakan gelap, sebab pasti kau tak mau posisimu diketahui, Tuan. Tak lucu sutradara naik ke panggung dan berakting. Dramamu akan babak belur dan hancur!), bisa kau lihat berbagai efek tonilmu. Kau tersenyum memandangi yang mengambil kesempatan menjadi tenar dan kaya. Kau biarkan saja. Kau biarkan yang baper dan menonton dengan deraian air mata. Memuja pemeran protagonis, dan mencaci pemain antagonis. Para pengamat drama memberikan analisis ini dan itu. Kau peduli, Tuan? Oh, tentu tidak. Tak penting analisis itu. Tuan hanya perlu focus menyiapkan drama berikutnya. Menimbang alur menciptakan konflik.



Tapi Tuan lupa…
Bukan Tuan yang berkuasa atas dunia ini.
Oh ya, bolehlah Tuan merasa demikian. Sebab dengan sekali tunjuk, Tuan bisa buat orang lain tunduk. Bolehlah Tuan merasa jumawa. Sebab dengan sekali kibas, Tuan merasa telah bisa melibas.
Tuan mungkin bermahkota, berwewenang atas tahta. Tapi...mahkota cuma benda. Tahta cuma barang. Ia akan terguling, terjatuh, atau bergeser sesukanya.
Tuan juga lupa, bahwa nanti akan menua. Atau tiba-tiba kendali kuasa berkhianat, berbelok tak terduga. Atau tiba-tiba Tuan mati merana.
Mati, Tuan.
Ma-Ti.
Ruh ditarik, badan tak berdaya, dihunjam sejuta sakit tak terbayangkan. Mungkin bersama tarikan ruh itu, dipukulkan kesakitan orang-orang yang Tuan dzolimi. DItitipkan pilu dan perih orang-orang yang Tuan fitnah. DIsisipkan irisan-irisan pedih yang Tuan kibaskan pada mereka. Semua sekaligus.
Semua ditanggung Tuan dalam kesendirian. Taka da pasukan nasi bungkus Tuan yang gagah perkasa membela. Taka da relawan pulsa Tuan yang gegap gempita pasang badan.

Tuan pasti tahu sunnatullah alam ini; bahwa segala sesuatu fana adanya. Yang lama akan ditukar, punah dan tinggal nama. Tuan akan lenyap.
Tak dikenal sebagai pehlawan. Tak dikenang sebagai pejuang.
DIlesakkan compang-campingnya kerusakan yang Tuan ciptakan, dalam kubur sempit. Tak bisa lari. Tak bisa ditolak.
Tak takutkah Tuan?
Semoga kasih sayang hidayahNya menyapa Tuan sebelum semua itu terjadi.

#ibuguruumi

Note:
Ide tulisan ini sudah lama. Tidak akan basi, sebab aku yakin, skenario teror itu masih mereka mainkan.
Mereka membuat makar, maka Allah yang akan membalas makar mereka.

di Jombang, 17 September 2018. 22.28 WIB

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.