PUISI EYANG

Rabu, September 19, 2018
Menemukan tulisan ini di salah satu folder. Tulisan yang belum jadi, lalu disempurnakan.

Ramai puisi Ibu Sukmawati dibicarakan. Perhatian utama adalah pada ‘cadar’ dan ‘kode’; ‘adzan’ dan ‘kidung tembang’.
Pertama membaca, terkejut dan tersetrum, tak terima dan marah. Apalagi ketika membaca berbagai ulasan dan komentar.
Ternyata saya tidak sendirian.
Lalu, gelombang puisi jawaban sambung menyambung muncul di medsos. Banyak ulasan mengenai mengapa puisi itu dianggap melecehkan.

KASIHAN
Kasihan Ibu Sukmawati.
Kata teman, kalau tak bisa buat puisi, jangan memaksakan diri, nanti dibully.
Kata yang lain, kalau tak tahu syariat Islam, jangan berbusa-busa kata, nanti tenggelam.
Kata yang lain, dia menantang banyak orang. Dan babak belur, kalau dia merasa dan faham masalah.
Yang repot kalau kena penyakit gila nomor seratus sebelas: plonga plongo dengan keberatan orang dan balik menuduh yang tidak-tidak.
Itu penyakit jiwa yang menular akibat terlalu banyak tertelan air kolam.

BUDAYA VS AGAMA
Ada dua hal besar yang dibenturkan dalam puisi itu, yaitu antara budaya dan agama. Tertangkap demikian: Islam (diwakili oleh cadar dan adzan) mengikis budaya (yang diwakili oleh konde dan kidung tembang).
Mungkin pikirnya, perempuan bercadar itu lepas dari budaya Indonesia, atau tidak kenal dengan budaya Indonesia.
Definisi budaya menurut KBBI adalah pikiran, akal budi, atau adat istiadat, asal bahasa berasal Sansekerta.
Saya jadi ingat diskusi dengan teman diklat perpustakaan sekitar hampir dua bulan lalu. Panjang lebar dia jelaskan tentang hoaxnya pawai budaya yang biasa diadakan bulan Agustus. Kurang lebih begini katanya: “Pakaian adat saat karnaval itu hoax, Mbak Umi. Kalau kita baca buku sejarah budaya, akar budaya jawa itu, perempuan tidak pakai kemben. Tapi telanjang dada. Mestinya, kalau kita mau kembali kepada budaya kita yang sesungguhnya, perempuannya telanjang dada! Hoax itu baju adat yang ditampilkan saat karnaval!”
Itu lucu bagi saya. Pertanyaan saya padanya hanya satu: “Bapak izinkan kah isteri Bapak telanjang dada?” Dia tertawa. Saya yakin seyakin-yakinnya, sebab dia waras, kembali kepada budaya dalam konteks yang dia sampaikan tak akan mau dijalaninya.
Poinnya adalah, budaya selalu berkembang. Budaya berhubungan dengan akal budi, pikiran yang berkembang dalam masyarakat. Proses perubahannya tidak bisa ditolak, sebab itulah sunnatullah dunia ini. Bergerak dan berubah.


Saya jadi tergerak membuat puisi juga.

IBUKU
Ibuku istimewa. Bersama delapan anak perempuannya yang aktif dan suka membaca.
Ibuku dulu berkonde, berkebaya ketat. Hadiri berbagai acara dengan make up tipis.
Ibuku langsing hingga anak ke enam.
Muda dan tampak gadis, bersama enam anak perempuannya berfoto berbaris.
Rumah kami berlanggar. Bersama anak-anak sekitar
Suara adzan dan al quran adalah teman.
Khataman al Quran berarti makan-makan
Shalawatan berarti tumpengan
Ibuku berkonde, berkebaya ketat.
Saat sholat, berdirinya lama, sujudnya lama
Anak-anaknya diabsen sholat dengan giat,
Sampai suatu titik, Ibuku bertutup kepala.
Memanjangkan roknya, berbeda dengan sekeliling
Ibuku disindir isteri atasan, dikatakan pakaian
tak sesuai ketentuan
Ibuku bertahan.
Kami berdelapan tumbuh besar, dengan buku dan permainan seru
Berjilbab satu persatu
Melanglang buana mengejar takdir
Ibuku istimewa
Kunjungi tiga putri pertama yang masih kecil di pesantren, menguatkan agar bertahan
Kami bertumbuh, dengan kasih sayang
Dengan pengajian dan komitmen hijab bersama
Ibuku perkasa
Datangi tempat kuliah kami masing-masing, dengan bawaaan terjinjing
Sambangi tiga srikandi di Gontor putri, hingga lulus dan mengabdi
Ibuku istimewa
dengan jilbab rapinya, menyusur huruf-huruf al Quran
berteman masjid dan adzan di lima waktu
Tak perlu koar-koar sebagai pejuang.
Makna waktunya bersama delapan putri
sudah menceritakan segala.
Ibuku istimewa
Bersama ibu-ibu lain yang sholihat
Persembahkan perjuangan tanpa mimpi hadir di panggung
Tak perlu tepuk tangan dan puja puji
Yang dikejarnya syurga....
#sukmawati


Puisi itu saya posting di FB siang tadi. Dengan perasaan geli campur gemas pada Eyang Sukmawati. Beranjak tua adalah niscaya, tua dengan taubat itu pilihan. Hidup ridak kemana-mana kecuali ke batu nisan. Yang dihadapi bukan siapa-siapa kecuali Tuhan Allah Subhanahu waTa’ala. Kita bisa mengelak, menolak dalam hati dan pikiran saat ini. Namun saat utusan pencabut nikmat dunia datang, sungguh tak bisa mengelak dan menolak. Sedetik tak bisa maju atau mundur. Bisa kabur kemana?

Secara sekilas, saya ceritakan perjalanan Ibu saya (kami memanggilnya Mamah) hingga berhijab. Sebelumnya berkebaya ketat dan seksi. Koleksi kebaya banyak, demikian juga koleksi kain panjangnya. Stagen, sanggul, bros, selendang. Saya suka memandangi beliau ketika berdandan.
Ketika saya SD, menjelang SMP (sekitar 1984 sd 1986), Bapak meminta Mamah memakai ciput, penutup kepala. Tutup saja, tanpa selendang. Tahun itu, bahkan mengucapkan salam saya jarang saya dengar dalam kegiatan terbuka. Pakaian panjang Mamah mengundang teguran. Juga cibiran, kata Mamah dulu.
Tahun 1988, jilbab mulai masuk rumah. Dimulai dari The Tettet. Lalu berturut-turut tahun berikutnya kami mengikuti.
Budaya, sebab ia bersandar pada akal budi, pasti berubah.

Balik ke puisi Eyang Sukmawati.
Saya menebak Eyang diserang kecemasan karena melihat semangat beragama Islam yang semakin marak. Cadar menjadi perhatiannya. Mungkin sebab yang pakai cadar semakin banyak.
Dulu jilbab lebar itu menandakan muslimah dengan ciri-ciri khas. Tidak bersalaman dengan bukan mahram, konsisten (tidak bongkar pasanag), dll. Sekarang hijab lebar adalah trend. Siapa saja bisa pakai. Banyak yang suka. Modelnya manis-manis dan modis.
Kemudian cadar ‘mewabah’. Cadar tidak lagi dinisbahkan sebagai pakaian kelompok tertentu. Siapa saja bisa putuskan pakai cadar. Ada siswi sebuah SMK swasta di Jombang yang pakai cadar. Waktu saya tanya alasannya pakai, katanya ingin, sebab nyaman. Ketika ditanya dia mengaji dimana, ternyata belum kemana-mana. Tutorial cadar didapatnya dari youtube.

MENGAPA DIBENTURKAN?
Apa yang dicemaskan dari perubahan budaya ini? Menutup aurat adalah budaya beradab. Berkebalikan dengan pakaian yang buka-bukaan. Menutup aurat itu kebutuhan semua perempuan untuk memuliakan diri, menjaga kehormatan, agar tidak dinilai semata-mata berdasar fisik.
Sebagai hasil akal budi, maka penentu bagaimana wujud budaya itu adalah nilai etika dan moral yang dipegang. Sumber etika dan moral ini akan mewarnai corak budaya.
Orang Hindu, jelas memiliki corak budaya yang berbeda dengan Kong Huchu. Orang Nasrani, jelas punya corak budaya yang berbeda dengan Islam. Budaya suatu daerah tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religious yang dipercaya masyarakat.
Mengapa dibenturkan? Arah peruabahan budaya, keitika menuju kehidupan yang lebih beradab, tatanan yang sejalan dengan kemanusiaan, maka harus didukung.
Beradab tidaknya masyarakat sebenarnya bisa dilihat secara kasat mata, melok-melok, terang benderang. Pedagang yang menipu, perempuan yang mengekspos fisik, riba meraja lela, pergaulan bebas, perjudian, khamr mudah didapat, adalah tanda yang lugas dan jelas. Indikator sederhananya demikian.
Mengapa perlu dibenturkan? Perbaikan kualitas hidup itu kebutuhan umat manusia agar kelangsungan hidup berjalan pada track yang benar.

KASIHAN
Eyang Sukmawati sudah mengakui ketidaktahuannya pada syariat. Itu pengakuan lugu, yang kemudian tercermin dalam baris puisinya. Ya, seperti itulah.
Mungkin Eyang sedang mencari jalan indah untuk pulang. Siapa tahu ia berpikir dalam; bagaimana (kembali pada ) Islam bisa menjadi pilihan akal budi orang banyak. Mengapa hijab diminati para perempuan. Mengapa banyak perempuan yang komit dengan Islam tampil sebagai perempuan cerdas dan berkontribusi bagi. sekelilingnya. Bagaimana bisa pakaian kerja profesional yang dulu diwakili oleh rok pendek, rambut terurai dengan berbagai model, sekarang digantikan oleh jilbab, rok panjang, blazer atau pakaian kerja lengan panjang yang santun. Dan pilihan itu sama sekali tidak memperngaruhi kompetensi dan profesionalisme kerja mereka.
Eyang Sukmawati sudah meminta maaf secara resmi.
Mari maafkan.
Yang layak disyukuri adalah bahwa puisi ciptaannya itu memberikan hikmah tersendiri.
Pertama, memunculkan izzah muslimah. Berondong-bondong muslim muslimah membuat puisi balasan. Menunjukkan mulianya muslimah dengan karakteristiknya yang khas.
Kedua, membangkitkan ghirah, kecemburuan, rasa tak rela ketika simbol-simbol agama dilecehkan. Ini keren sekali. Barisan emak-emak bangkit, membuktikan cinta agama ini dengan pembelaan beragam.
Ketiga, memunculkan ruang bagi perenungan jiwa. Respon yang muncul adalah ilmu baru, ilmu tambahan yang semakin mengokohkan keyakinan atas agama ini.

Bagaimana kabar Eyang sekarang? Semoga hidayah menyapa, Allah Subhanahu wata’ala berkenan tunjuki jalan keselamatan. Agar ia bangga dengan agamanya, menjadi pembela dan penegaknya. Wallahu’alam bish shawab.

Ibu Guru Umi menuntaskan hari ini.
Menulis sebagai jalan pertaubatan.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.