TRAINED OR NOT TRAINED

Minggu, September 30, 2018
Alhamdulillahirabbil’alamiin, atas nikmat menulis ini.
Dalam sebuah film laga drama, ada seorang pengawal pribadi yang melatih putri majikannya berenang. Cara melatih sang pengawal sistematis dan ketat. Taka da leha-leha atau santai. Capaian waktu dicatat dengan seksama.
Satu hari, setelah mencapai waktu tertentu, sang putri melonjak-lonjak riang sambil berkata: “Aku cepat, aku cepat!”
Pengawalnya hanya berkata dingin: “Pembedanya bukan kecepatan, tetapi terlatih atau tidak terlatih.”
Trained or not trained.
Kata-kata itu pembatas nyata antara keberhasilan dan kegagalan. Kemenangan dan kekalahan.
Kelebihan dan kelemahan.
Memaknai kalimat itu mengantarkan kita pada kebutuhan berusaha dan memperjuangkan harapan.

Saya sering menemukan ibu-ibu, mbak-mbak, adik-adik, yang menyampaikan keinginannya untuk bisa menulis.
“Bagaimana supaya bisa menulis?”
“Saya ingin menulis tapi tidak percaya diri.”
“Tulisan saya kacau.”
“Darimana memulai belajar menulis?”
Itu masih mendingan. Ada juga yang bilang begini:
“Saya bisa menulis lebih baik dari dia.”
“Biasa saja, nulis begitu saya juga bisa.”
Sementara hingga dia bicara demikian, belum pernah tulisannya muncul, baik di posting di akun media sosialnya maupun di media massa.
Sepertinya dia yakin berbakat, namun belum terbukti
Yang hopeless juga banyak.
“Tidak bisa menulis, tidak bakat!”
“Otakku buntu kalau disuruh mengarang.”

MULAILAH
Menjadi penulis dimulai dengan menulis. Tak ada istilah menulis dimulai dengan menumpuk ide di kepala, lalu mulai menulis setelah ide terasa pas. Berpikir tulisan langsung matang setelah ide datang adalah harapan yang tidak realistis. Berlawanan dengan sunnatullah alam ini, bahwa yang indah dan mempesona itu terbentuk setelah melewati banyak tahapan.
Dimana peranan bakat?
Sampai saat ini, saya percaya bahwa bakat bukan menjadi satu-satunya penentu ketrampilan menulis (juga ketrampilan lainnya). Bakat membedakan kualitas belajar menulis seseorang pada titik percepatan. Orang yang berbakat lebih cepat belajar dan menguasai teknik kepenulisan. Selebihnya, bergantung pada :
1. Kegigihan. Sebagaimana latihan lainnya, menulis mensyaratkan kegigihan mencoba menulis, tidak mudah menyerah pada penolakan, buntu ide, dan lain-lain. Mencoba menggali ide, mengambil sudut (angle) perstiwa yang unik, tepat, memilih diksi dan alur yang menarik, adalah sebagian kecil proses yang perlu dilakukan penulis.
2. Kekuatan mendobrak kebosanan. Bosan menulis sebab hasilnya belum juga sesuai harapan. Bosan menulis sebab merasa tulisan tidak unik atau berbeda.
3. Kemauan membaca. Jangan berharap jago menulis jika belum banyak membaca. Sama dengan memegang senjata, ingin menembak, namun tak punya peluru.

MENULIS MEMANJANGKAN UMUR
A mentor die, a book is alive.
Seorang guru, pelatih, mati. Tapi sebuah buku, akan hidup, melewati lama hidupnya sang mentor.
Impian menjadi orang bermanfaat dimiliki oleh banyak orang. Menulis, adalah salah satu cara bermanfaat. Tulisan yang membangkitkan harapan, menyalakan inspirasi, menumbuhkan keyakinan atas solusi, dapat menjadi wasilah memperpanjang umur, juga memeprbanyak amal jariyah.



BERBAKAT MENULIS TAPI TIDAK BERBAKAT
“Tulisan Ibu bagus. Kenapa tidak mencoba?”
“Malas. Tidak ada waktu.”
“Eman-eman.”
“Mauku menulis essay, kalau fiksi aku tidak suka.” Tapi tidak juga tampak tulisannya. Anugerah bakatnya terpendam, ditelan kesibukan dan berbagai alasan.
Sisi lain, ada orang yang saya kenal melalui dunia maya. Saya membaca karyanya. Sederhana dan menurut saya tidaklah istimewa. Namun dia gigih sekali. Berguru pada beberapa penulis kawakan, lalu hijrah ke kota besar. Dia melakukan banyak hal: memperbaiki kualitas tulisan, meluaskan jaringan, membranding dirinya sebagai penulis genre tertentu, hingga membuka kelas menulis daring. Saya kagum dengan keberaniannya melakukan lompatan.
Jadi, merasa berbakat namun tidak berbakat, itu bergantung keberanian membuat terobosan. Tak ada keberhasilan yang tidak mensyaratkan ketekunan dan kegigihan.
Pembedanya pada: terlatih atau tidak terlatih!

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.