BAPAK JURU PARKIR

Minggu, Juli 07, 2013
Hape saya rusak. Tak tampak apa-apa di layarnya. Putih saja. Jika ada yang menelepon, saya tidak tahu siapa orangnya sampai terdengar suaranya. Kalau ada sms, saya tidak cukup sakti untuk bisa menerawang layar putih itu. Blank.

Ada hape hadiah dari seseorang. Jika dipakai menelepon, ternyata bermasalah. Suara saya katanya timbul tenggelam.KAdang nongol, kadang lenyap. Jadilah kalau mengobrol pakai hape itu seperti tarsan: berteriak-teriak gak puguh.

Maka, saya merayu-rayu Mas agar diijinkan beli hape. Jika boleh, beli hape yang itu atau beli tab yang ini. Pilihan-pilihan itu membuat Mas terseyum-senyum. Dulu kalau saya meminta ijin beli hape ini atau itu, Mas tidak melarang. Namun juga tidak mengijinkan. Saya paham gayanya. Itu berarti tidak, secara halus.  BAginya simpel: hape buat sms dan telpon saja. Cukup. 

Ternyata, saat merayu itu, saya beruntung. Ada isyarat bahwa saya boleh membeli. Bahkan mau ditemani membeli di Surabaya. Hore!

Tapi ternyata saya tidak bisa terlalu hepi. Entah kenapa. Justru ketika diijinkan, saya jadi meninjau kembali keinginan-keinginan itu. Walau demikian, saya tetap merencanakan hari ke Surabaya.

Nah, singkat cerita, saya akhirnya memutuskan untuk menservis hape blank itu. Ke sebuah toko hape. Pagi hari, saya ke sana dan menjelaskan kerusakan hape. 

"Nanti siang saya kabari penyebabnya. Ibu akan dikabari biayanya, jika setuju dengan harganya, kami akan kerjakan," katanya.

Baiklah. Deal. 

Saat menunggu pemilik toko itu membuat tanda terima barang, seorang bapak masuk. Saya mengenalinya sebagai juru parkir di depan toko itu. Dia berdiri di dekat saya. Menanyakan sesuatu dan mengobrol sebentar dengan akrab dengan pelayan toko. Lalu keluar lagi. Pada saat sama, saya melihat hape ini dan tab itu yang sudah saya impikan. Saya menanyakan harga dan tipe-tipe yang toko itu sediakan. Hm, keinginan membeli bangkit kembali. 

Siang hari, saya mendapat kabar tentang harganya. Baiklah, kerjakan saja. Dan soremenjelang ashar, pemilik toko mengabari hape saya dapat diambil sore hari karena telah selesai.

Saya ke sana menjelang pukul empat sore. Juru parkir itu ada di dalam sebentar,lalu keluar lagi. Setelah menyelesaikan pembayaran dan mencek kondisi hape, saya bergegas pulang.

Juru parkir itu berdiri di sebelah sepeda motor saya. Wajahnya tampak ramah.

"Anakku  tadi pagi nangis, Mbak," katanya tiba-tiba. Saya melambatkan aktivitas, berharap bisa mendengar lebih banyak.

"Kenapa, Pak?"

"Minta laptop. Untuk sekolah," jawabnya. 

"Untuk belajar, ya, Pak?" tanya saya basa-basi.

"Iya. Sudah lama dia minta. Tadi pagi nangis-nangis, saya janjikan nanti-nanti tidak mau. Katanya penting untuk sekolahnya," katanya lagi.

"Sekolah mana, Pak? KElas berapa?"

"SMEA, kelas satu."

Satu dari hampir dua ribu siswa di sekolah saya , ternyata.

"Harganya mahal ya Mbak. Katanya empat juta. Wah, bingung saya,"katanya.

"Saya hanya punya  lima belas ribu per hari. Tak cari yang murah, biar anak saya gak nangis lagi..."

Kata-kata terakhirnya menyentak saya. Tercekat dengan gumamannya itu, saya terharu  sekaligus juga merasa malu.

Saya sibuk menimbang-nimbang beli hape ini dan itu, bukan dengan ukuran kebutuhan. HAnya karena keinginan. Pun jika keinginan itu saya anggap kebutuhan, maka sejatinya kebutuhan itu tidak membuat saya merana jika tidak memilikinya. K inginan itu juga  bisa saya penuhi dengan mudah. Tak perlu berlelah-lelah, berpanas-panas seharian sebagaimana beliau.

Bapak itu, dengan naluri kebapakannya, berusaha memenuhi harapan putrinya. Membahagiakannya di tengah segala keterbatasan. Lima belas ribu per hari, sebagai juru parkir. Tentu uang itu sangat berarti. Untuk biaya hidup sehari-hari saja pasti berat. Apalagi untuk beli barang yang tergolong mewah baginya.  NAmun demi bahagia sang buah hati, segala kesulitannya barang kali tak berarti.

Rencana membeli hape baru saya tinjau kembali. Saya malu sekali pada juru parkir itu. Pelajaran hari itu adalah: keinginan dan angan-angan memang  rentan menggeser rasa syukur.

Momen Kamis, 6 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.