EMPAT KALI ITU

Minggu, Juli 07, 2013
Rabu kemarin, ada seorang ibu guru yang dilarikan ke rumah sakit. Beliau tengah hamil delapan bulan, dan mengalami kontraksi. Wajahnya berkerut-kerut menahan sakit. Air matanya  menetes. Saya membayangkan sakitnya. Dan masih bisa mengingatnya dengan baik.
Empat kali melahirkan, dengan kisah yang berbeda-beda.Kehamilan pertama, pagi hari. Shubuh itu, saya berjalan-jalan dengan Mas Budi. Tidak bisa sampai jauh, karena perut rasanya sudah kaku. Mas Budi berangkat ke sekolah, dengan pesan khusus, "Kalau ada apa-apa, segera telepon."
            Saya berjalan-jalan di dalam rumah. Sesekali  perut yang kaku menghentikan langkah. Umar, keponakan yang saat itu masih 3 tahun dan sangat dekat dengan saya, membuntuti sambil sesekali menggoda. Saya masih sempat tertawa-tawa sesekali. Mencandai Umar (keponakan)  yang mengikuti kemanapun saya pergi.
            Perut semakin sakit. Tapi saya masih tahan. Kata salah satu kakak saya, bila sakitnya sudah tak terhankan, berarti dekat waktu melahirkan. Sakitnya masih tertahankan. Saya masih kuat berjalan-jalan. Jadi, saya menyimpulkan, waktunya masih lama.
            Pukul sepuluh, Mas Budi pulang. Menemani saya berjalan-jalan sambil memegangi tangan. Tentu saja, masih bersama Umar yang setia! Mas Budi menghitung jarak waktu kontraksi. Sudah per 3 menit!  Menjelang pukul 12, Mamah memanggil bidan di puskesmas pembantu dekat rumah. Ia memeriksa jalan lahir.
 "Mbak, sudah bukaan delapan!" katanya terkejut. Saya juga terkejut. Bukaan delapan? Lha, kurang dua lagi dong!
 "Apa tidak terasa sakit?" tanyanya pada saya. Saya meringis. Tertawa tertahan. Sakitlah, tapi selama masih bisa ditahan, gak perlu teriak-teriak kan?

Maka, saya dilarang berjalan-jalan lagi. Ditemani sang bidan, saya melewati detik-detik dua bukaan sempurna. Dan..melahirkan di rumah! Wow, diluar dugaan! Subhanallah.. Saya menatap tas dekat pintu. Tas siaga, berisi pakaian bayi, pakain ganti untuk saya, bedong dan lain-lain. Tas itu menganggur, karena saya tidak melahirkan dimana-mana. Tapi di sini, di salah satu kamar di rumah sendiri.
            Kehamilan kedua, kontraksi terasa sejak malam. Saya tidak memberi tahu mas Budi. Sesekali saya bangun, menghitung jarak waktu kontraksi. Menjelang pukul empat pagi, sudah per lima menit. Saya membangunkan Mas Budi.
 "Yah, lima menit!" kata saya. Mas Budi terlonjak. Kami berangkat menjelang pukul lima pagi, menuju rumah bidan. Semula bidan itu akan ke luar kota. Namun rencana keberangkatannya ditunda.  Ketika diperiksa, sudah bukaan tujuh. Lho, kok tidak terasa lagi?
 "Saya boleh jalan-jalan?"tanya saya. Diam di tempat tidur, saya tidak betah. Kalau jalan-jalan, banyak yang bisa dilihat.
 "Jangan yaa...Nanti kalau mbrojol gimana?" kata Bu Bidan sambil tersenyum-senyum.  Pukul tujuh, Najma lahir. Alhamdulillah, lancar..hehehe.
            Kehamilan ke tiga, menjelang melahirakan. Mas Budi ada tugas training ke luar kota. Malam itu gerimis. Nabila dan Najma menangis minta bakpao. Pukul setengah delapan, saya bermotor mencari bakapo. Gerimis mulai menebal, menjadi hujan. Kepalang tanggung, saya tetap melaju. Bakpao langganan sudah kehabisan stok.
 "Dimana lagi ada ya, Pak?" tanya saya pada penjual bakpao.
 "Depan apotik Merdeka, Bu," katanya.  Apotik merdeka, lebih jauh lagi. Kepalang tanggung (lagi), saya mencari ke sana. Alhamdulillah, dapatlah bakpao yang dimau anak-anak.
            Hujan semakin deras. Diperjalanan pulang, perut saya mengencang. Kontraksi! Saya bertahan di atas sepeda motor. Insya Allah masih kuat sampai rumah.

Dari pukul sembilan, sampai pukul sebelas, kontraksi berlangsung dalam rentang waktu teratur. tiga puluh menit, lalu dua puluh menit, lalu lima belas, lalu sepuluh, lalu lima menit!  Saya sesekali tertidur, sambil memegang stopwatch. Pukul sebelas malam, per tiga menit! Nah, ini sudah waktunya!
            Mamah panik mengetahui itu. Ngomel-ngomel panjang pendek.
 "Kenapa gak bilang dari tadi kalau kontraksi?" katanya. Saya senyum-senyum saja.  Karena masih tahan, jadi tenang dulu.
            Mamah mengontak mbak ipar saya yang bidan. Saya sendiri menuju rumah bersalin. Diperiksa, bukaan tujuh! Hehehe..Sejarah berulang.
            Saya menunggu di kamar bersalin sendiri. Memegang hape. Mencoba mengirim sms ke mas budi.
 "Yah, Bunda di kamar bersalin. Sudah bukaan tujuh," laporan terkirim. Saya coba telepon,  tak diangkat. Hm, pasti sudah tidur lelap.
            Mbak Wiwik, mbak ipar, tiba. Menemani saya mengobrol. Bila mulas itu datang, saya diam. Bila menghilang, saya mengobrol lagi. Begitu terus.
            Menjelang pukul dua pagi, ketika kontraksi, mbak Wiwik memeriksa lagi.
 "Ayo, sekarang!" katanya.
 "Sekarang? Kemana?" tanya saya heran.
"Lho, melahirkan,  sekarang!" katanya sambil tertawa. Saya tertawa juga, lalu bersiap-siap.
 "Ayuk..ayuk..," kata saya semangat. Lalu saya sms dulu, "Yah, sudah mau melahirkan." Sent. Nah, ayo berjuang!
Pukul dua lima belas, Zahra lahir dengan selamat. Alhamdulillah. Saya kirim sms lagi, "Yah, sudah lahir." Sent. Dan tidak ada jawaban apa pun, hehehe.
            Baru pukul empat pagi, hape saya berdering.

"Sudah ya?" Mas Budi bertanya sambil tertawa.
 "Sudah..hehehe," saya juga tertawa.
 "Kalau melahirkannya kayak mbak Umi, punya anak  sepuluh juga gak papa. Gak sakit, gitu!" komentar salah satu perawat. Hohoho..siapa bilang!
            Anak ke empat, melalui proses induksi. Saya masuk rumah bersalin pukul enam pagi. Berjalan-jalan keliling lorong ditemani mas Budi. Kontraksi tidak berlanjut. Jarak waktu kontraksi tidak teratur. Pukul sembilan pagi, mbak Wiwik menawarkan solusi.
 "Diinduksi, ya?"
 "Ok. Ayuk," kata saya.
            Pukul sepuluh, saya masuk kamar bersalin. Diinduksi, ditemani mas Budi. Kami mengobrol, bercerit macam-macam. Lalu kontraksi mulai teratur. Setiap kontraksi datang, saya diam. Menggenggam erat-erat tangan mas Budi. Kalau kontraksi hilang, kembali mengobrol sambil sesekali cekikikan.
 "Sepuluh detik lagi, kontraksi!" kata Mas Budi. Mas Budi mengaktifkan stopwatch di hapenya. Kalau pemberitahuan itu datang, saya bersiap-siap. Begitu terus hingga waktu melahirkan.
            Dan lagi-lagi, para bidan dan perawat di kamar bersalin itu berkomentar.
 "Enak ya Mbak, melahirkannya gak sakit! Buktinya, Mbak Umi gak bersuara, gak kesakitan..."
            Hehehe Alhamdulillah. Ngomong-ngomong, siapa bilang gak sakit? Sakit, doong. Saya normal, kok!

06 Januari 2011 jam 7:03


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.