BELAHAN JIWA

Minggu, Juli 07, 2013
Dulu sekali, kalau tidak salah saat SMP,  saya membaca sebuah majalah yang mewawancara pasangan kakek nenek. Sang kakek menyatakan,"Garwa  itu 'sigaring nyawa' (garwa, artinya belahan jiwa)." Tak lama, sang nenek meninggal dunia. Sang kakek diwawancara kembali. Beliau berkata panjang lebar, yang intinya saya pahami begini: baru kini saya memahami apa arti belahan jiwa. Perginya isteri membuat sebagian hidup saya hampa. Separuh jiwa saya kosong. saya baru menyadari betapa besar cinta saya padanya. Betapa berarti dia bagi saya...

Bertahun-tahun, hingga kini, kisah itu masih saya bawa. Saya simpan lekat dalam lipat ingatan. Namun awal tahun ini, lipatan itu terbuka dan menunjukkan wangi yang tidak biasa.

Saya merasakan apa arti belahan jiwa, walau mungkin belum sedalam pemaknaan sang kakek.

Suami saya,adalah laki-laki sederhana. Segalanya. Wajahnya, sikapnya, gayanya. Beliau sungguh apa adanya. Jika saya tanya apa cita-citanya dahulu, beliau hanya tersenyum dan berkata : "Apa ya?"

Sungguh berbeda dengan saya. Saya adalah pemimpi, tukang ngayal. Bersemangat melonjak-lonjak serupa bola bekel. Tak betah saya ada dalam satu titik saja. Harus ada putaran. HArus ada selingan. Saya gampang bosan dan jenuh.

Saya bayangkan, cara berpikir, gerak dan sikap saya semestinya menjengkelkan. Bikin pusing. Mungkin juga mengganggu. Tapi ketenangan suami sungguh luar biasa. Jika saya ngambek kecil, dia akan memeluk saya dan berkata : "Maaf yaaaa..." Jika saya ngambek menengah, dia akan duduk diam mendengarkan omelan saya yang (tentu saja) sama sekali tak merdu. Jika saya ngambek tingkat tinggi, dia akan.. menjauh! Pergi, seolah-olah tak ada apa-apa. Tinggallah saya yang semakin ngambek dan manyun sekian senti.

Tahun-tahun awal pernikahan, saya sering gemas luar biasa. Sebaliknya, dia tenang luar biasa! Akhirnya, sayalah yang kelimpungan! Saya menemukan kenyataan, pola komunikasi yang saya terapkan kurang tepat. Dan itu mengakibatkan letupan-letupan kecewa yang terakumulasi. Pelan tapi pasti. Saya membuat gunung-gunung tuntutan tersembunyi.

Gunung tuntutan itu meletup. Dengan cara yang tidak pernah saya duga. Dengan kejadian yang sungguh tak terbayangkan sebelumnya.

Maka, dimulailah pembenahan itu. Saya mengubah sikap dan pola komunikasi. Beliau pun demikian. Ada nuansa baru yang diam-diam membuat saya dan beliau merasa berbeda.
Beliau menjadi sangat romantis, sangat perhatian, sangat peduli. Saya menyulap diri menjadi yang berbeda pula. Dalam banyak hal.

Setelah ombak besar itu, saya dan dia sering saling memandang, sambil  bertukar senyum. Kini, makna belahan jiwa seperti menemukan artinya.

Memandangnya, menyadari kebaikan-kebaikannya, memaknai kasih sayangnya. Sungguh sempurna caranya ia memperlakukan saya sebagai belahan jiwanya.

*Catatan hari ini, ditemani hujan. Kado sederhana untuk suamiku, di usianya yang ke 40 tahun .*
JOMBANG, 3 FEBRUARI 2013

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.