EMPAT KALI ITU
Rabu kemarin, ada seorang ibu guru
yang dilarikan ke rumah sakit. Beliau tengah hamil delapan bulan, dan mengalami
kontraksi. Wajahnya berkerut-kerut menahan sakit. Air matanya menetes.
Saya membayangkan sakitnya. Dan masih bisa mengingatnya dengan baik.
Empat kali melahirkan, dengan kisah
yang berbeda-beda.Kehamilan pertama, pagi hari. Shubuh itu, saya berjalan-jalan
dengan Mas Budi. Tidak bisa sampai jauh, karena perut rasanya sudah kaku. Mas
Budi berangkat ke sekolah, dengan pesan khusus, "Kalau ada apa-apa, segera
telepon."
Saya
berjalan-jalan di dalam rumah. Sesekali perut yang kaku menghentikan
langkah. Umar, keponakan yang saat itu masih 3 tahun dan sangat dekat dengan
saya, membuntuti sambil sesekali menggoda. Saya masih sempat tertawa-tawa
sesekali. Mencandai Umar (keponakan) yang mengikuti kemanapun saya pergi.
Perut
semakin sakit. Tapi saya masih tahan. Kata salah satu kakak saya, bila sakitnya
sudah tak terhankan, berarti dekat waktu melahirkan. Sakitnya masih
tertahankan. Saya masih kuat berjalan-jalan. Jadi, saya menyimpulkan, waktunya
masih lama.
Pukul
sepuluh, Mas Budi pulang. Menemani saya berjalan-jalan sambil memegangi tangan.
Tentu saja, masih bersama Umar yang setia! Mas Budi menghitung jarak waktu
kontraksi. Sudah per 3 menit! Menjelang pukul 12, Mamah memanggil bidan
di puskesmas pembantu dekat rumah. Ia memeriksa jalan lahir.
"Mbak, sudah bukaan delapan!" katanya
terkejut. Saya juga terkejut. Bukaan delapan? Lha, kurang dua lagi dong!
"Apa tidak terasa sakit?" tanyanya
pada saya. Saya meringis. Tertawa tertahan. Sakitlah, tapi selama masih bisa
ditahan, gak perlu teriak-teriak kan?
Maka, saya dilarang berjalan-jalan
lagi. Ditemani sang bidan, saya melewati detik-detik dua bukaan sempurna.
Dan..melahirkan di rumah! Wow, diluar dugaan! Subhanallah.. Saya menatap tas
dekat pintu. Tas siaga, berisi pakaian bayi, pakain ganti untuk saya, bedong
dan lain-lain. Tas itu menganggur, karena saya tidak melahirkan dimana-mana.
Tapi di sini, di salah satu kamar di rumah sendiri.
Kehamilan
kedua, kontraksi terasa sejak malam. Saya tidak memberi tahu mas Budi. Sesekali
saya bangun, menghitung jarak waktu kontraksi. Menjelang pukul empat pagi,
sudah per lima menit. Saya membangunkan Mas Budi.
"Yah, lima menit!" kata saya. Mas Budi
terlonjak. Kami berangkat menjelang pukul lima pagi, menuju rumah bidan. Semula
bidan itu akan ke luar kota. Namun rencana keberangkatannya ditunda.
Ketika diperiksa, sudah bukaan tujuh. Lho, kok tidak terasa lagi?
"Saya boleh jalan-jalan?"tanya saya.
Diam di tempat tidur, saya tidak betah. Kalau jalan-jalan, banyak yang bisa
dilihat.
"Jangan yaa...Nanti kalau mbrojol
gimana?" kata Bu Bidan sambil tersenyum-senyum. Pukul tujuh, Najma
lahir. Alhamdulillah, lancar..hehehe.
Kehamilan
ke tiga, menjelang melahirakan. Mas Budi ada tugas training ke luar kota. Malam
itu gerimis. Nabila dan Najma menangis minta bakpao. Pukul setengah delapan,
saya bermotor mencari bakapo. Gerimis mulai menebal, menjadi hujan. Kepalang
tanggung, saya tetap melaju. Bakpao langganan sudah kehabisan stok.
"Dimana lagi ada ya, Pak?" tanya saya
pada penjual bakpao.
"Depan apotik Merdeka, Bu," katanya. Apotik merdeka, lebih jauh lagi. Kepalang
tanggung (lagi), saya mencari ke sana. Alhamdulillah, dapatlah bakpao yang
dimau anak-anak.
Hujan
semakin deras. Diperjalanan pulang, perut saya mengencang. Kontraksi! Saya
bertahan di atas sepeda motor. Insya Allah masih kuat sampai rumah.
Dari pukul sembilan, sampai pukul
sebelas, kontraksi berlangsung dalam rentang waktu teratur. tiga puluh menit,
lalu dua puluh menit, lalu lima belas, lalu sepuluh, lalu lima menit!
Saya sesekali tertidur, sambil memegang stopwatch. Pukul sebelas malam, per
tiga menit! Nah, ini sudah waktunya!
Mamah
panik mengetahui itu. Ngomel-ngomel panjang pendek.
"Kenapa gak bilang dari tadi kalau
kontraksi?" katanya. Saya senyum-senyum saja. Karena masih tahan,
jadi tenang dulu.
Mamah
mengontak mbak ipar saya yang bidan. Saya sendiri menuju rumah bersalin.
Diperiksa, bukaan tujuh! Hehehe..Sejarah berulang.
Saya
menunggu di kamar bersalin sendiri. Memegang hape. Mencoba mengirim sms ke mas
budi.
"Yah, Bunda di kamar bersalin. Sudah bukaan
tujuh," laporan terkirim. Saya coba telepon, tak diangkat. Hm, pasti
sudah tidur lelap.
Mbak
Wiwik, mbak ipar, tiba. Menemani saya mengobrol. Bila mulas itu datang, saya
diam. Bila menghilang, saya mengobrol lagi. Begitu terus.
Menjelang
pukul dua pagi, ketika kontraksi, mbak Wiwik memeriksa lagi.
"Ayo, sekarang!" katanya.
"Sekarang? Kemana?" tanya saya heran.
"Lho, melahirkan, sekarang!" katanya
sambil tertawa. Saya tertawa juga, lalu bersiap-siap.
"Ayuk..ayuk..," kata saya semangat.
Lalu saya sms dulu, "Yah, sudah mau melahirkan." Sent. Nah, ayo
berjuang!
Pukul dua lima belas, Zahra lahir
dengan selamat. Alhamdulillah. Saya kirim sms lagi, "Yah, sudah
lahir." Sent. Dan tidak ada jawaban apa pun, hehehe.
Baru
pukul empat pagi, hape saya berdering.
"Sudah ya?" Mas Budi bertanya sambil
tertawa.
"Sudah..hehehe," saya juga tertawa.
"Kalau melahirkannya kayak mbak Umi, punya
anak sepuluh juga gak papa. Gak sakit, gitu!" komentar salah satu
perawat. Hohoho..siapa bilang!
Anak
ke empat, melalui proses induksi. Saya masuk rumah bersalin pukul enam pagi.
Berjalan-jalan keliling lorong ditemani mas Budi. Kontraksi tidak berlanjut. Jarak
waktu kontraksi tidak teratur. Pukul sembilan pagi, mbak Wiwik menawarkan
solusi.
"Diinduksi, ya?"
"Ok. Ayuk," kata saya.
Pukul
sepuluh, saya masuk kamar bersalin. Diinduksi, ditemani mas Budi. Kami
mengobrol, bercerit macam-macam. Lalu kontraksi mulai teratur. Setiap kontraksi
datang, saya diam. Menggenggam erat-erat tangan mas Budi. Kalau kontraksi
hilang, kembali mengobrol sambil sesekali cekikikan.
"Sepuluh detik lagi, kontraksi!" kata
Mas Budi. Mas Budi mengaktifkan stopwatch di hapenya. Kalau pemberitahuan itu
datang, saya bersiap-siap. Begitu terus hingga waktu melahirkan.
Dan
lagi-lagi, para bidan dan perawat di kamar bersalin itu berkomentar.
"Enak ya Mbak, melahirkannya gak sakit!
Buktinya, Mbak Umi gak bersuara, gak kesakitan..."
Hehehe
Alhamdulillah. Ngomong-ngomong, siapa bilang gak sakit? Sakit, doong. Saya
normal, kok!
06 Januari 2011 jam 7:03
Tidak ada komentar: