LELAKI DI KURSI RODA

Minggu, Juli 07, 2013
Setiap menjemput Mas Budi di alun-alun habis maghrib, saya melihat ini: seorang bapak yang mengayuh kuris roda dengan tangannya. Kayuhannya keras dan kursi rodanya melaju cepat.Saya melihatnya sekilas, terutama saat berpapasan. Suatu waktu, Najma berkata, "Bunda, di kaki bapak itu ada anak kecilnya."        
Saya terkejut. Malam berikutnya, saya mencoba mengamati. Ternyata benar. Di bawah kakinya,duduk meringkuk anak perempuan kecil berkerudung. Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan di alun-alun. Saat itu saya menduga, sang Bapak mengajak anak putrinya bermain. Tapi, setiap malam?
            Saya dan anak-anak sesekali bermain di alun-alun. Kereta mini, odong-odong, memancing, mandi bola, atau sekedar makan bebek goreng. Tempat bermain dan makan yang biasa kami datangi ada di tepi alun-alun. Kadang-kdang kami membeli baling-baling berlampu yang dilesatkan ke atas. Hafidh dan Zahra akan berlari memungut baling-baling yang jatuh  sambil berkejar-kejaran.
            Suatu waktu, anak-anak bermain di alun-alun bersama bunda-bunda ABATA. Sepulang dari sana, Bunda Eka sempat bercerita: "Beli baling-baling ke BApak itu, Bun. Yang pakai kursi roda. Kasihan... Bapaknya yang demonstrasikan melesatkan baling-balingnya, anaknya yang kecil yang berlari-lari mengambil.."
            Malam kemarin, saya berkesempatan menemui mereka.Saya ke kantor PWI, menghadiri undangan untuk LPA. Ada diskusi tentang kekerasan pada perempuan. Ternyata acaranya bukan habis ashar, tapi setelah maghrib. Saya sudah berjanji pada Zahra dan Hafidh akan menemui mereka di alun-alun sebelum maghrib. Maka, bersama NAbila dan Najma, saya meluncur ke alun-alun. Kami duduk-duduk agak ke tengah. Sambil  makan molen mini. Hafidh dan Zahra mulai menunjuk-nunjuk penjual mainan. Tiba-tiba, saya melihat Bapak tersebut. Tampaknya baru tiba. Ia bersama putri kecilnya tengah mempersiapkan dagangannya.
“Kita beli ke Bapak itu, yu," ajak saya. Zahra yang semula menunjuk ke kios warna-warni, tidak menolak ketika saya gandeng ke arah Bapak tersebut. Nabila dan Najma mengikuti. Berlima bersama anak-anak, saya mendekati sang Bapak.
            "Beli mainan, Pak," kata saya. sang Bapak menoleh dan tersenyum. Anak kecil itu sibuk mengatur mainan yang jumlahnya tak seberapa. Benar-benar tak seberapa. Hanya ada empat mainan yang dipajang. Empat saja! Sebuah tongkat lampu dan kincir angin yang kelap-kelip, sebuah kincir  biasa dan satu kincir berlampu  lainhya. Satu tongkat tergantung dalam kantong kresek.
Masya Allah... Saya sungguh tercekat...
            Hafidh menunjuk tongkat berlampu. Zahra menunjuk kincir yang juga berlampu. Sang Bapak menyiapkan permintaan kami. Dalam diam, saya dan anak-anak memperhatikan beliau.  Saya memandang dengan perasaan sesak. Anak-anak, entah kenapa, juga tidak banyak bercakap-cakap seperti biasanya. Campur aduk hati ini. Antara perasaan kagum, kasihan, empati, dan haru....
            Mainan itu akhirnya siap juga. Setelah membayar, saya berbalik. Tak lama, Nabila berbisik minta mainan baling-baling. Kami bergegas mendekati Bapak tersebut. Alhamdulillah, beliau menjual. Kembali kami menunggu BApak itu menyiapkan baling-baling berlampu. Kemudian mencobanya. Sempat saya mengobrol, menanyakan alamat, usia sang putri, dan sekolah. Dia kelas satu. Semula saya pikir masih TK. Sempat saya sampaikan pada Bunda Lulus yang mengantar HAfidh, agar menanyakan sekolah sang putri. Jika ia usia TK dan belum sekolah, tawarkanlah untuk sekolah di ABATA, gratis.
            Saat anak-anak berlari-larian saat bermain, saya melihat sang Bapak memperhatikan kami sambil tersenyum. Hingga pulang, masih terbayang rekaman pengamatan saya selama bertransaksi dan berada di alun-alun: senyum tulusnya, kelembutannya pada sang putri. Jumlah mainannya yang sangat tidak seberapa. Kursi rodanya yang sederhana. Semangatnya saat mengayuh juga berkelebat. Anaknya yang berlari-lari memungut baling-baling yang dilesatkan. Dan itu dilakukan setiap malam....
            Berhadapan dengan orang-orang setegar beliau, segala egoisme saya menguap. Sungguh kurang ajar jika saya masih mengeluhkan kegala kesempitan yang tak seberapa dibanding kesempitannya. Sungguh tak berharga kelelahan saya jika dibandingkan dengan kelelahannya dalam mencari nafkah, ditengah keterbatasan. Lalu, nikmat Tuhanku  yang manakah yang  aku dustakan?

 *alhamdulillah, atas potret itu...*

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.