LELAKI DI KURSI RODA
Setiap menjemput
Mas Budi di alun-alun habis maghrib, saya melihat ini: seorang bapak yang
mengayuh kuris roda dengan tangannya. Kayuhannya keras dan kursi rodanya melaju
cepat.Saya melihatnya sekilas, terutama saat berpapasan. Suatu waktu, Najma
berkata, "Bunda, di kaki bapak itu ada anak kecilnya."
Saya terkejut.
Malam berikutnya, saya mencoba mengamati. Ternyata benar. Di bawah
kakinya,duduk meringkuk anak perempuan kecil berkerudung. Saya tidak tahu apa
yang mereka lakukan di alun-alun. Saat itu saya menduga, sang Bapak mengajak
anak putrinya bermain. Tapi, setiap malam?
Saya dan anak-anak sesekali bermain di alun-alun. Kereta
mini, odong-odong, memancing, mandi bola, atau sekedar makan bebek goreng.
Tempat bermain dan makan yang biasa kami datangi ada di tepi alun-alun.
Kadang-kdang kami membeli baling-baling berlampu yang dilesatkan ke atas.
Hafidh dan Zahra akan berlari memungut baling-baling yang jatuh sambil
berkejar-kejaran.
Suatu waktu, anak-anak bermain di alun-alun bersama
bunda-bunda ABATA. Sepulang dari sana, Bunda Eka sempat bercerita: "Beli
baling-baling ke BApak itu, Bun. Yang pakai kursi roda. Kasihan... Bapaknya
yang demonstrasikan melesatkan baling-balingnya, anaknya yang kecil yang
berlari-lari mengambil.."
Malam kemarin, saya berkesempatan menemui mereka.Saya ke
kantor PWI, menghadiri undangan untuk LPA. Ada diskusi tentang kekerasan pada
perempuan. Ternyata acaranya bukan habis ashar, tapi setelah maghrib. Saya
sudah berjanji pada Zahra dan Hafidh akan menemui mereka di alun-alun sebelum
maghrib. Maka, bersama NAbila dan Najma, saya meluncur ke alun-alun. Kami
duduk-duduk agak ke tengah. Sambil makan molen mini. Hafidh dan Zahra
mulai menunjuk-nunjuk penjual mainan. Tiba-tiba, saya melihat Bapak tersebut.
Tampaknya baru tiba. Ia bersama putri kecilnya tengah mempersiapkan
dagangannya.
“Kita beli ke
Bapak itu, yu," ajak saya. Zahra yang semula menunjuk ke kios warna-warni,
tidak menolak ketika saya gandeng ke arah Bapak tersebut. Nabila dan Najma
mengikuti. Berlima bersama anak-anak, saya mendekati sang Bapak.
"Beli mainan, Pak," kata saya. sang Bapak
menoleh dan tersenyum. Anak kecil itu sibuk mengatur mainan yang jumlahnya tak
seberapa. Benar-benar tak seberapa. Hanya ada empat mainan yang dipajang. Empat
saja! Sebuah tongkat lampu dan kincir angin yang kelap-kelip, sebuah
kincir biasa dan satu kincir berlampu lainhya. Satu tongkat
tergantung dalam kantong kresek.
Masya Allah...
Saya sungguh tercekat...
Hafidh menunjuk tongkat berlampu. Zahra menunjuk kincir
yang juga berlampu. Sang Bapak menyiapkan permintaan kami. Dalam diam, saya dan
anak-anak memperhatikan beliau. Saya memandang dengan perasaan sesak.
Anak-anak, entah kenapa, juga tidak banyak bercakap-cakap seperti biasanya.
Campur aduk hati ini. Antara perasaan kagum, kasihan, empati, dan haru....
Mainan itu akhirnya siap juga. Setelah membayar, saya
berbalik. Tak lama, Nabila berbisik minta mainan baling-baling. Kami bergegas
mendekati Bapak tersebut. Alhamdulillah, beliau menjual. Kembali kami menunggu
BApak itu menyiapkan baling-baling berlampu. Kemudian mencobanya. Sempat saya
mengobrol, menanyakan alamat, usia sang putri, dan sekolah. Dia kelas satu.
Semula saya pikir masih TK. Sempat saya sampaikan pada Bunda Lulus yang
mengantar HAfidh, agar menanyakan sekolah sang putri. Jika ia usia TK dan belum
sekolah, tawarkanlah untuk sekolah di ABATA, gratis.
Saat anak-anak berlari-larian saat bermain, saya melihat
sang Bapak memperhatikan kami sambil tersenyum. Hingga pulang, masih terbayang rekaman
pengamatan saya selama bertransaksi dan berada di alun-alun: senyum tulusnya,
kelembutannya pada sang putri. Jumlah mainannya yang sangat tidak seberapa.
Kursi rodanya yang sederhana. Semangatnya saat mengayuh juga berkelebat.
Anaknya yang berlari-lari memungut baling-baling yang dilesatkan. Dan itu
dilakukan setiap malam....
Berhadapan dengan orang-orang setegar beliau, segala
egoisme saya menguap. Sungguh kurang ajar jika saya masih mengeluhkan kegala
kesempitan yang tak seberapa dibanding kesempitannya. Sungguh tak berharga
kelelahan saya jika dibandingkan dengan kelelahannya dalam mencari nafkah,
ditengah keterbatasan. Lalu, nikmat Tuhanku yang manakah yang aku
dustakan?
*alhamdulillah, atas potret
itu...*
Tidak ada komentar: