MENJADI GURU, NAFASKU

Minggu, Juli 07, 2013



25 NOVEMBER 2012
Apa yang menyenangkan dengan menjadi guru? Banyak hal.

Ketika mencintai profesi dengan hati, sepenuhnya, kita akan mendapatkan kejutan-kejutan yang mencerahkan jiwa. Bertemu siswa dari berbagai kalangan, dengan berbagai karakter, dan berbagai tuntutan. Mencari-cari cara agar hati saya dan hati mereka terikat dalam semangat yang sama, kecintaan yang sama, suhu belajar yang sama. Menjaga agar keterikatan itu tetap berbalut kehangatan dan kasih sayang. Saat yang sama, memacu mereka untuk mengejar dan membeli masa depannya lebih laju.

Menjadi guru bukan sekedar memindahkan bab-bab pelajaran dari buku teks ke kepala-kepala mereka. Karena saya mengalami, saya melupakan hampir sebagian besar hafalan-hafalan saya dahulu. Saya kehilangan jejak rumus-rumus yang dahulu saya begadang dalam berlatih. TApi masih lekat dalam benak bagaimana Pak Rahwini mengajar, senyumnya, gayanya, sapanya. Bagaimana beliau menyemangati saya ketika 'menemukan' saya bisa menulis puisi. Atau Bapak Arifin, yang menyemangati saya karena saat itu sering dapat menjawab soal matematikanya yang panjang dan kami tidak diijinkannya mencoret-coret. Hanya boleh menghitung di  kepala saja.

Masih teringat jelas betapa Ibu Guru Fulanah begitu jutek, menyebalkan, suka memaki-maki, mendorong-dorong kepala siswanya. Bagaimana Bapak Fulan galak minta ampun, meminta saya memuku satu persatu teman yang gagal mengerjakan soal di papan tulis.

Sebagian besar yang mereka lakukan meninggalkan kesan begitu mendalm; sementara sebagian besar poin-poin pelajarannya menguap entah kemana.

Para guru sejatinya meninggalkan jejak 'apa yang dilakukan ketika mengajar'. 

Seminggu ini, saya memperhatikan satu hal. Siswa saya di kelas tiga, di kelas yang saya bersamai mereka, sebagian besar tampak loyo. 

"Ada apa dengan kalian?" tanya saya, pada pelajaran tambahan siang hari.

"Blank, Bu," jawab mereka.

"Milik siapa ini?" saya menunjuk teh dalam botol yang dingin dan segar.

"Untuk Ibu," kata mereka. Subhanallah. Saya tercekat beberapa saat.

"Sejak kapan kalian sediakan ini?"

"Minggu ini, Bu," jawab mereka. Masya Allah. Perhatian kecil, yang menyentuh hati.

Lalu mereka bercerita juga tentang hari itu yang terasa sulit. Pusing, lelah, blank.
Aih, kasihan.Setiap hari mereka menghadapi begitu banyak bidang studi.Menghafalkan ini dan itu.Mungkin semangat mereka sedang kendur karena digempur lelah.

Maka, pelajaran berjalan dengan cerita. Mengalir begitu saja. Begitu juga di kelas tiga yang lain. KAmi berinteraksi  lewat cerita. Bercerita bagaimana dahulu jilbab diperjuangkan (karena mereka hendak berfoto untuk ijazah, dan  harusmembuat surat pernyataan bila berfoto tetap memakai jolbabnya). Tentang pengalaman mengajar di beberapa sekolah di Bandung. Tentang banyak hal. Setiap saya hendak memutuskan kembali ke pleajaran, mereka meminta saya bercerita lagi.

Lalu tanya jawab. Curhat ini itu. 

Ketika hendak pulang, satu siswa mendekat dan berkata : "Terima kasih atas yang tadi, Ibu."
Seseorang yang lain :" Terima kasih sudah menyemangati."

Terima kasih kembali. Melihat kalian, seringkali menyadarkan Ibu. Bahwa bertemu kalian adalah anugerah yang menggugah. Semoga kalian menjadi orang-orang yang bermanfaat dalam kebaikan. 

Menjadi guru, nafasku.

SELAMAT HARI GURU.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.