PEDAGANG DAN NAJMA

Minggu, Juli 07, 2013

Najma ngambek. Mukenanya sudah kekecilan. Dia merengek-rengek minta dibelikan mukena baru.  Maka satu siang, berangkatlah saya bersamanya ke pasar.
            Pasar Jombang samalah dengan pasar mana saja. Pasar khas orang Indonesia: sempit, berkelok-kelok, bergang, dan untuk orang yang 'tidak-cerdas-spasial' seperti saya, sungguh  menyiksa. Saya suka tersesat didalamnya. Berputar-putar tak tentu arah ketika hendak mencari toko tertentu. Asli, saya bingung!
            Najma yang berjalan disebelah saya tersenyum-senyum. Awalnya dia mengikuti saja kemana saya pergi. Tidak berkomentar dan tidak menunjukkan arah apa-apa.
 Saya masuk ke sebuah toko. Ada mukena berjajar dalam etalasenya.
 "Cari mukena, mbak. Buat ini," saya berkata sambil menyentuh kepala Najma. Mbak itu  mengambil satu contoh mukena berwarna oranye. Cantik, dan warnanya cukup lembut. Najma mencobanya. Ukurannya cukup untuk Najma.
 "berapa?" saya tanya.
"Enam puluh ribu," jawab penjualnya. Hm, teori Nenek, tawar setengahnya.
"Tiga lima ya?" kata saya sambil tersenyum. Sambil menatap mata pemiliknya. Sang pemilik, ibu-ibu muda, balas tersenyum.
"Gak dapat. Lima lima," katanya. Saya menggeleng, senyum lagi. Tebar pesona, supaya hati penjual luluh.
"Tiga lima laaah,' kata saya lagi. Melihat senyum saya, sang pemilik tersenyum lagi.
"Lima puluh," balasnya.
"Kebanyakan. Empat puluh deh," saya naikin dikit. Masih sambil senyum. Halah, senyum seharga lima ribu yak? Hihi
"Tambahain deh... Empat lima," rayu sang pemilik. Saya menggeleng. Dia juga menggeleng. Lha, deal, sama-sama tidak sepakat kan?
"Empat puluh aja," kata saya, sambil menyodorkan kembali mukena itu.
"Tambah sedikit lagi.." katanya. Saya masih mantap menggeleng. Padahal, nambah seribu dua, tak masalah kan? Urusan menawar bagi perempuan, sebagian bukan urusan dompet. Kadang bergereser pada urusana 'gengsi' hihi.
 Klop lah. Saya pembeli wanita. Dia pedagang wanita. Jadi, sama-sama keukeuh. Akhir transaksi mudah ditebak:saya melambai dengan mesra, dan pedagang melepas dengan rela... Hahaha.
            Menyusuri pasar kembali, saya bolak-balik ada di tempat yang tadi-tadi lagi! Benar-benar tidak cerdas spasial! Untuk menutupi malu pada penunggu kios yang saya lewati bolak-balik itu, saya berjalan agak cepat. Tengsin laah..Hehehe.
 "Mbak Najma bingung, gak?' bisik saya. Najma menatap saya sambil tersenyum.
"Nggak! Tuh, tadi kan sudah kesini!" Najma menunjuk satu kios. Waduuhhh... KAlah sama Najma!
            Ada satu kios yang ditunggui mas-mas. Kami berhenti. Sayang pilihan mukenahnya sedikit. Dan kecil-kecil. Tapi saya sempat bertanya-tanya tentang harga. Lebih murah dari kios pertama. Harga pas, katanya.
 "Coba cari di Langitan, Mbak," katanya. Mbak? Aahh, ge-ernya dipanggil Mbak, bukan Bu! Hoho... Dasar, narsis!
"Dimana tuh?" tanya saya.
"Itu, belok kiri, lalu ke  bla, bla..." dia menunjukkan arah. Saya tidak sepenuhnya paham. Tapi mengangguk-angguk saja. Sok tahu,malu kalau ketahuan bingungnya!
            Maka saya mulai berjalan lagi. Dengan pede berusaha mengingat-ingat  petunjuk si Mas tadi. Setelah belok sana-sini, secara tidak sengaja saya sampai juga di Langitan. Penunggunya beberapa ibu dan seorang bapak. Yang melayani  si Bapak itu.
 "Cari mukenah, buat dia," saya berkata sebelum ditanya. Bapak itu manthuk-manthuk sambil mengambil beberapa contoh.
 "Ini bahan parasit, ini bahan katun. Ini model terbaru," dia mengangsur satu mukenah cantik berbunga-bunga seperti dilukis. Anggun, dan halus.
 "Ini berapa?" saya menunjuk mukenah cantik itu.
"Tujuh puluh," katanya. Hm, lumayan. Najma menunjuk satu mukenah warna biru. Membuka dan mencobanya. Ada satu mukenah yang mirip dengan kios sebelumnya.
"Ini berapa?" saya menunjuk mukenah putih. Dikios kedua harganya tiga puluh lima.
"Lima puluh," katanya.
"Yakin? bukan tiga lima?" tanya saya. SAmbil senyum, tentu saja. Si Bapak balas tersenyum
"Lima puluh, pas," katanya mantap.
"Tadi di toko lain dikasih tiga lima loh, hanya saja kekecilan,' kata saya. Si Bapak tertawa.
"Boleh tiga lima..," katanya. Saya menunggu, karena kata-katanya menggantung.
"Anaknya ditinggal," lanjutnya.
Yeeee....Hehehehehe.
 "Yang ini aja," Najma menunjuk yang biru. Modelnya sama dengan yang oranye sebelumnya.
"Ini enam  puluh," katanya.
"Empat puluh," tawar saya.
"Boleh...," katanya, menggantung lagi.
"Anaknya tinggal, gitu?" potong saya cepat.
"Bukan, ibunya ditinggal..!"katanya sambil nyengir. Eh, sembarangan!
 "Empat puluh aja deh," saya ngotot.
"Lima puluh," dia juga ngotot. Najma manyun level satu,
"empat puluh..,: saya bertahan.
"Lima puluh," dia bergeming.
            Najma manyun  level dua. Wajahnya bete habis.
 "Ayolah,empat puluh saja," saya berusaha.
"Empat lima," katanya mantap. Lagaknya jelas: harga mati. Saya melirik Najma. Jelas dia makin manyun. Hatinya mungkin sudah tertambat habis pada mukenah biru. Dan itu pertanda buruk! Dia mirip sekali dengan saya: jika sudah memilih, tak bisa ke lain hati!
 Ok-lah. Saya menyerah. Si BApak tersenyum-senyum bahagia sambil membungkus mukenah itu.
 "Belajar yang rajin ya Dik, jadi anak sholeh," katanya. Najma menerima mukenah itu malu-malu.
"Biar gak peliit..," katanya sambil melirik saya, sambil senyum-senyum juga.
"Lha, situ yang pelit!" balas saya angot. Eh, dia tertawa!  Dasar!
            Saya keluar dari toko dengan perasaan geli campur sebal. Bisa-bisanya dia bilang saya pelit! Namanya juga nawar, lagian, dia juga pelit kan? Saya ngomel-ngomel dalam hati. Eh, jalan keluarnya mana ya? Saya clingak-clinguk di persimpangan antar kios.
 "Mana ya,  jalannya?" tanya saya pada Najma. Najma menuntun tangan saya,  belok kiri, kesini, kesana, dan... taraaaa! Itu jalannya!
            Hahahaha. Saya tertawa dalam hati habis-habisan. Diolok-olok pedagang, dan dituntun Najma!  Aih, malu-maluin!
16 Juli 2011 jam 15:58


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.