PURA-PURA
Hampir setiap pagi, saya mengantar
Mas Budi ke pasar. Bukannya belanja, tapi untuk 'naik bis'. hehehe. Momen
mengantar pagi hari tidak banyak peminatnya. Artinya, kadang Nabila atau Najma
ingin ikut, tapi kadang juga tidak.
Momen menjemput senja hari adalah waktu-waktu 'bargaining' yang cukup alot!
"Sekarang giliran aku yang ikut!" kata Nabila.
"Aku ! Mbak Biya kan sudah ngantar Ayah tadi pagi!" Najma tak mau kalah.
"Aku gak pernah jemput! Najma kan sudah sering jemput!" Nabila berkeras.
"Lhooo... Karena aku gak ngantar, sekarang aku yang jemput!" Najma masih ngotot.
Sementara mereka bersitegang, diam-diam Zahra memakai jilbabnya. Mencari-cari sandal. Dan menyelinap keluar.
Hafidh pun demikian. Dengan langkah-langkah kecilnya, ia berlari keluar. Memungut sandalnya dan berlari ke arah gerbang. Endingnya, Nabila harus tinggal. Najma berhasil ikut. Dia dan Zahra duduk di belakang. Hafidh dalam gendongan. Sepanjang jalan mereka berceloteh, mengobrol. Bernyanyi-nyanyi riang.
Sampai di alun-alun, seperti biasanya kami menunggu Ayah di sudut selatan. Duduk manis di tepi trotoar. Zahra dan Najma melompat-lompat. Bercerita-cerita. Hafidh duduk anteng. Menunjuk, menyebutkan dan mengomentari bus dan truk yang lewat.
Bila Ayah sudah muncul, mereka akan koor dengan nada yang sama.
"Aaaaaayaaaaaahhhhhhh!" Lalu berebut minta gendong. Bundanya? Minta gendong juga..hahaha..
Nah, ada tambahan spesial. Ketika menuju rumah, trio kwek-kwek itu minta jatah: bermain di alun-alun. Biasanya dikabulkan setelah melalui proses tawar menawar yang alot. Dan Ayah selalu menang dengan aturannya: hanya boleh main satu permainan!
Malam itu, saya tidak bisa langsung berangkat menjemput. Ayah sudah sms, memberitahukan sudah sampai. Saya beserta tiga bocah kecil-kecil itu baru berangkat sepeuluh menit setelah ayah sms. Ternyata kami bertemu Ayah di ujung gang. Rupanya Ayah berjalan kaki dari alun-alun.
"Lha, itu Ayah!" kata saya sambil menghentikan motor.
Hafid melonjak-lonjak dalam gendongan saya. Minta turun, lalu duduk di bagian depan.
"Whuaaaaa....," tiba-tiba NAjma menangis keras.
"Kenapa?" Ayah bertanya.
"Jemput Ayaaaahhhhh ke alun-aluuunnnnn!" teriaknya kencang sekali.
"Ayah kan sudah sampai sini, jadi jemputnya di sini saja!" kata saya.
"Aku mau main di alun-alun," kata Najma disela isak tangisnya.
"Kemarin kan sudah. Kapan-kapan lagi, insya Allah," janji Ayah. Kami berbalik pulang. Masih terdengar isak tangis Najma.
"Harusnya tadi Bunda pura-pura gak liaaaatttt! Biar bisa ke alun-alun!" kata Najma dengan ketus.
"Pura-pura apa?" saya bertanya, pura-pura gak jelas.
"Pura-pura gak liatttt!!Biar aja Ayah jalan sendiri!!" katanya lagi.
Saya dan Ayah tertawa tergelak-gelak. Bagus juga, PURA-PURA TIDAK MELIHAT! Ada yang mau meniru?
Momen menjemput senja hari adalah waktu-waktu 'bargaining' yang cukup alot!
"Sekarang giliran aku yang ikut!" kata Nabila.
"Aku ! Mbak Biya kan sudah ngantar Ayah tadi pagi!" Najma tak mau kalah.
"Aku gak pernah jemput! Najma kan sudah sering jemput!" Nabila berkeras.
"Lhooo... Karena aku gak ngantar, sekarang aku yang jemput!" Najma masih ngotot.
Sementara mereka bersitegang, diam-diam Zahra memakai jilbabnya. Mencari-cari sandal. Dan menyelinap keluar.
Hafidh pun demikian. Dengan langkah-langkah kecilnya, ia berlari keluar. Memungut sandalnya dan berlari ke arah gerbang. Endingnya, Nabila harus tinggal. Najma berhasil ikut. Dia dan Zahra duduk di belakang. Hafidh dalam gendongan. Sepanjang jalan mereka berceloteh, mengobrol. Bernyanyi-nyanyi riang.
Sampai di alun-alun, seperti biasanya kami menunggu Ayah di sudut selatan. Duduk manis di tepi trotoar. Zahra dan Najma melompat-lompat. Bercerita-cerita. Hafidh duduk anteng. Menunjuk, menyebutkan dan mengomentari bus dan truk yang lewat.
Bila Ayah sudah muncul, mereka akan koor dengan nada yang sama.
"Aaaaaayaaaaaahhhhhhh!" Lalu berebut minta gendong. Bundanya? Minta gendong juga..hahaha..
Nah, ada tambahan spesial. Ketika menuju rumah, trio kwek-kwek itu minta jatah: bermain di alun-alun. Biasanya dikabulkan setelah melalui proses tawar menawar yang alot. Dan Ayah selalu menang dengan aturannya: hanya boleh main satu permainan!
Malam itu, saya tidak bisa langsung berangkat menjemput. Ayah sudah sms, memberitahukan sudah sampai. Saya beserta tiga bocah kecil-kecil itu baru berangkat sepeuluh menit setelah ayah sms. Ternyata kami bertemu Ayah di ujung gang. Rupanya Ayah berjalan kaki dari alun-alun.
"Lha, itu Ayah!" kata saya sambil menghentikan motor.
Hafid melonjak-lonjak dalam gendongan saya. Minta turun, lalu duduk di bagian depan.
"Whuaaaaa....," tiba-tiba NAjma menangis keras.
"Kenapa?" Ayah bertanya.
"Jemput Ayaaaahhhhh ke alun-aluuunnnnn!" teriaknya kencang sekali.
"Ayah kan sudah sampai sini, jadi jemputnya di sini saja!" kata saya.
"Aku mau main di alun-alun," kata Najma disela isak tangisnya.
"Kemarin kan sudah. Kapan-kapan lagi, insya Allah," janji Ayah. Kami berbalik pulang. Masih terdengar isak tangis Najma.
"Harusnya tadi Bunda pura-pura gak liaaaatttt! Biar bisa ke alun-alun!" kata Najma dengan ketus.
"Pura-pura apa?" saya bertanya, pura-pura gak jelas.
"Pura-pura gak liatttt!!Biar aja Ayah jalan sendiri!!" katanya lagi.
Saya dan Ayah tertawa tergelak-gelak. Bagus juga, PURA-PURA TIDAK MELIHAT! Ada yang mau meniru?
27 Juli 2010 jam 7:37
Tidak ada komentar: