SANG NEGOSIATOR

Minggu, Juli 07, 2013
 02 Agustus 2009 jam 7:56
Kisah lama. Sekitar delapan tahun lalu.

Namanya Berri (sebut saja begitu). Seorang anak laki-laki, usia delapan tahun. Cerdas. Pertanyaannya sering membuat puyeng, karena sedikit rumit. Kadang-kadang gaya bicaranya tidak cocok untuk anak seusianya. Aku menduga karena seringnya dia mendengar pembicaraan-pembicaraan serius orang-orang dewasa sekitarnya.

Sayangnya dia sangat temperamen. Bila sudah mengamuk, bikin porak-poranda. Matanya merah menyala. Kata-katanya keras dan lantang. Tidak bisa dia disakiti. Sakit hati, alamat seisi kelas akan dicekam ketakutan. Apalagi anak-anak putri.

Suatu hari, kelasnya gaduh. Anak-anak menjerit-jerit. Kacau balau. Beberapa diantaranya berlari menuju ruang guru. Saat itu pergantian jam. Wali kelas sedang mengajar di kelas lain.
Berri berteriak-teriak. Matanya nyalang. Buku-buku berserakan tak karuan. Anak-anak putri meringkuk ketakutan. Sementara anak-anak putra tak ada yang berani mendekati Berri.

Berri terus beraksi. Dia kalap. Menyerang salah satu temannya. Yang diserang berlari ke sudut lain. Berri menuju tempat duduk dan menyambar tas seseorang. Dilemparkannya sebagian besar isi tas itu keluar jendela.

Seorang ustadz bergerak cepat. Diangkatnya tubuh Berri keluar kelas. Didudukkan di sebuah kursi depan kelas. Kemudian ditinggal pergi. Seorang ustadzah (sebut saja Ani) mendekati dan duduk di sebelah Berri.

Napas Berri memburu. Mendengus-dengus penuh emosi. Tangannya bahkan mengepal.Tampak betul dia dikuasai dendam.
"Berri marah?" tanya Ustadzah Ani. Berri diam. Mulutnya mencong-mencong menahan perasaan.
"Berri boleh marah...," sambung ustdh Ani lagi. Berri tetap diam. Tak sekali pun dia menoleh. Sejenak suasana sepi. Tiba-tiba ustdh. Ani meraih punggungnya. Berri menjauh. Tak sudi disentuh.
"Ayo, Berri wudhu. Ustadzah temani...,"ajaknya. Berri bersungut-sungut. Ustdh Ani tetap meraih tangannya dan menuntunnya menuju tempat wudhu. Kemudian mereka kembali duduk di bangku itu.

"Kita masuk, ya ?Tapi janji, jangan buat keributan lagi," bujuk Ustdh Ani. Diingatkan kembali. Berri muntab.
"Aku mau sobek-sobek bukunya Andi... Aku mau tonjok Andi.. ,"omelnya berulang-ulang. Matanya kembali menyala, namun juga menorehkan duka. Barangkali hatinya merasa sangat tersakiti.
"Kenapa?"
"Andi ejek-ejek aku.. Aku mau tonjok dia... Aku mau buang bukunya..."katanya emosi.
"Kita selesaikan di dalam, tapi pakai cara ustadzah, ya?" bujuk Ustadh Ani lagi.
"Gak!!" Tandas dan lugas.
"Lalu maunya mas Berri apa?"
"Aku tonjok... Aku sobek-sobek...," Berri berapi-api.
"Cara itu tidak ada dalam aturan sekolah. Berri tidak boleh lakukan itu disini," tegas ustadzah Ani. Berri tampak tidak peduli.
"Ya sudah. Kalau begitu, ustadzah beri Berri dua pilihan. Satu, bila Berri tetap tidak mau selesaikan baik-baik di dalam, Ustadzah pulangkan saja Berri ke rumah. Silahkan istirahat menenangakan diri di rumah. Pilihan dua, Berri masuk, bicara baik-baik dengan Andi, kemudian ikuti pelajaran sampai selesai. Ustadzah beri waktu untuk berpikir." Berri diam saja. Masih tidak peduli. Ustadzah Ani meninggalkan Berri sendiri. Lima menit kemudian, ia kembali.
"Apa keputusan Berri?"
"Aku mau tonjok Andi!" tegas Berri emosi.
"Pilihan seperti itu tidak ada, Berri," Ustdh Ani tidak kalah tegas.
"Aku mau duduk di sini saja!!"Berri bergeming.
"Pilihan itu juga tidak ada!" Ustdah Ani lembut. Namun nadanya tak terbantahkan.
"Aku disini saja!!" Berri mengucapkan itu dengan nada penuh kemarahan.
"Baik. Berri belum bisa bicara baik-baik saat ini . Lebih baik pulang saja. Mari ustadzah teleponkan orang tua untuk menjemput Berri sekarang," Ustadzah Ani beranjak. Sejenak diperhatikannya wajah Berri. Ia membuang muka. Ustdh Ani berbalik menuju kantor. Beberapa langkah kemudian...
"Aku mau masuk," terdengar suara lirih. Berri tampak menunduk. Air matanya menetes satu per satu. Ustdh Ani duduk disampingnya dan mengusap-usap punggungnya.
"Pasti sedih diejek, ya?" katanya. Berri mengangguk pelan.
"Kita selesaikan bersama di dalam, tanpa pukul-pukul dan lempar-lempar barang, , bisa?" tegas ustadzah Ani . Berri mengangguk lagi. Selama beberapa waktu, Ustadzah Ani biarkan Berri menangis. Mengusap-usap punggungnya. Membesarkan hatinya dengan kata-kata penghiburan.
"Sudah siap?" Berri diam saja. Ia berdiri dan berjalan menuju kelas. Ustdh Ani di belakangnya. Pintu dibuka. Beberapa anak putri yang duduk di deretan depan tampak mengerut. Takut.
"Berri akan selesaikan dengan cara baik-baik, Ustadz,"kata ustdh Ani pada ustdaz Danang yang mengajar. Andi berdiri. Wajahnya ketakutan. Didepannya, tampak sebuah buku yang sobek-sobek tak karuan. Ustdh Ani berpamitan. Biarlah Ustadz Danang yang menuntaskan masalah ini. Ustdh Ani percaya, Berri memegang teguh janjinya.

(Masih menginspirasi saya, hingga kini.




Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.