SANG NEGOSIATOR
02 Agustus 2009 jam 7:56
Kisah lama. Sekitar delapan tahun
lalu.
Namanya Berri (sebut saja begitu).
Seorang anak laki-laki, usia delapan tahun. Cerdas. Pertanyaannya sering
membuat puyeng, karena sedikit rumit. Kadang-kadang gaya bicaranya tidak cocok untuk anak
seusianya. Aku menduga karena seringnya dia mendengar pembicaraan-pembicaraan
serius orang-orang dewasa sekitarnya.
Sayangnya dia sangat temperamen.
Bila sudah mengamuk, bikin porak-poranda. Matanya merah menyala. Kata-katanya
keras dan lantang. Tidak bisa dia disakiti. Sakit hati, alamat seisi kelas akan
dicekam ketakutan. Apalagi anak-anak putri.
Suatu hari, kelasnya gaduh.
Anak-anak menjerit-jerit. Kacau balau. Beberapa diantaranya berlari menuju
ruang guru. Saat itu pergantian jam. Wali kelas sedang mengajar di kelas lain.
Berri berteriak-teriak. Matanya
nyalang. Buku-buku berserakan tak karuan. Anak-anak putri meringkuk ketakutan.
Sementara anak-anak putra tak ada yang berani mendekati Berri.
Berri terus beraksi. Dia kalap.
Menyerang salah satu temannya. Yang diserang berlari ke sudut lain. Berri
menuju tempat duduk dan menyambar tas seseorang. Dilemparkannya sebagian besar
isi tas itu keluar jendela.
Seorang ustadz bergerak cepat.
Diangkatnya tubuh Berri keluar kelas. Didudukkan di sebuah kursi depan kelas.
Kemudian ditinggal pergi. Seorang ustadzah (sebut saja Ani) mendekati dan duduk
di sebelah Berri.
Napas Berri memburu.
Mendengus-dengus penuh emosi. Tangannya bahkan mengepal.Tampak betul dia
dikuasai dendam.
"Berri marah?" tanya
Ustadzah Ani. Berri diam. Mulutnya mencong-mencong menahan perasaan.
"Berri boleh marah...,"
sambung ustdh Ani lagi. Berri tetap diam. Tak sekali pun dia menoleh. Sejenak
suasana sepi. Tiba-tiba ustdh. Ani meraih punggungnya. Berri menjauh. Tak sudi
disentuh.
"Ayo, Berri wudhu. Ustadzah
temani...,"ajaknya. Berri bersungut-sungut. Ustdh Ani tetap meraih
tangannya dan menuntunnya menuju tempat wudhu. Kemudian mereka kembali duduk di
bangku itu.
"Kita masuk, ya ?Tapi janji,
jangan buat keributan lagi," bujuk Ustdh Ani. Diingatkan kembali. Berri
muntab.
"Aku mau sobek-sobek bukunya
Andi... Aku mau tonjok Andi.. ,"omelnya berulang-ulang. Matanya kembali
menyala, namun juga menorehkan duka. Barangkali hatinya merasa sangat
tersakiti.
"Kenapa?"
"Andi ejek-ejek aku.. Aku mau
tonjok dia... Aku mau buang bukunya..."katanya emosi.
"Kita selesaikan di dalam,
tapi pakai cara ustadzah, ya?" bujuk Ustadh Ani lagi.
"Gak!!" Tandas dan lugas.
"Lalu maunya mas Berri
apa?"
"Aku tonjok... Aku sobek-sobek...,"
Berri berapi-api.
"Cara itu tidak ada dalam
aturan sekolah. Berri tidak boleh lakukan itu disini," tegas ustadzah Ani.
Berri tampak tidak peduli.
"Ya sudah. Kalau begitu,
ustadzah beri Berri dua pilihan. Satu, bila Berri tetap tidak mau selesaikan
baik-baik di dalam, Ustadzah pulangkan saja Berri ke rumah. Silahkan istirahat
menenangakan diri di rumah. Pilihan dua, Berri masuk, bicara baik-baik dengan
Andi, kemudian ikuti pelajaran sampai selesai. Ustadzah beri waktu untuk
berpikir." Berri diam saja. Masih tidak peduli. Ustadzah Ani meninggalkan
Berri sendiri. Lima
menit kemudian, ia kembali.
"Apa keputusan Berri?"
"Aku mau tonjok Andi!"
tegas Berri emosi.
"Pilihan seperti itu tidak
ada, Berri," Ustdh Ani tidak kalah tegas.
"Aku mau duduk di sini
saja!!"Berri bergeming.
"Pilihan itu juga tidak
ada!" Ustdah Ani lembut. Namun nadanya tak terbantahkan.
"Aku disini saja!!" Berri
mengucapkan itu dengan nada penuh kemarahan.
"Baik. Berri belum bisa bicara
baik-baik saat ini . Lebih baik pulang saja. Mari ustadzah teleponkan orang tua
untuk menjemput Berri sekarang," Ustadzah Ani beranjak. Sejenak
diperhatikannya wajah Berri. Ia membuang muka. Ustdh Ani berbalik menuju
kantor. Beberapa langkah kemudian...
"Aku mau masuk,"
terdengar suara lirih. Berri tampak menunduk. Air matanya menetes satu per
satu. Ustdh Ani duduk disampingnya dan mengusap-usap punggungnya.
"Pasti sedih diejek, ya?"
katanya. Berri mengangguk pelan.
"Kita selesaikan bersama di
dalam, tanpa pukul-pukul dan lempar-lempar barang, , bisa?" tegas ustadzah
Ani . Berri mengangguk lagi. Selama beberapa waktu, Ustadzah Ani biarkan Berri
menangis. Mengusap-usap punggungnya. Membesarkan hatinya dengan kata-kata
penghiburan.
"Sudah siap?" Berri diam
saja. Ia berdiri dan berjalan menuju kelas. Ustdh Ani di belakangnya. Pintu
dibuka. Beberapa anak putri yang duduk di deretan depan tampak mengerut. Takut.
"Berri akan selesaikan dengan
cara baik-baik, Ustadz,"kata ustdh Ani pada ustdaz Danang yang mengajar.
Andi berdiri. Wajahnya ketakutan. Didepannya, tampak sebuah buku yang
sobek-sobek tak karuan. Ustdh Ani berpamitan. Biarlah Ustadz Danang yang
menuntaskan masalah ini. Ustdh Ani percaya, Berri memegang teguh janjinya.
(Masih menginspirasi saya, hingga
kini.
Tidak ada komentar: