FIAN (BAGIAN PERTAMA)

Selasa, Februari 05, 2019
"Saya ingin bertemu Ibu," kata seorang wali murid, suatu malam.
"Kebetulan, ada beberapa hal yang ingin saya komunikaiskan dengan Ibu," kata saya. Kami berjanji akan bertemu esok hari.

**


"Dia aneh, Bun," kata anak-anak. Ada beberapa orang yang mengelilingi saya di meja guru.
"Aneh bagaimana?"
"Gak mau bergaul, diaaaam saja di bangkunya."
"Suka membentu-benturkan kepalanya ke meja."
"Dia gak suka anak-anak rame, Bun. Katanya berisik.'
"Bla..bla..bla..."
Saya mendengarkan, dengan keheranan yang menggelembung pelan-pelan. Meninggi dan membesar. Ada apa?

**
"Anak Bunda ada yang pinter matematika," kata Bu Dede, di pekan-pekan awal tahun ajaran baru.
"Siapa?"
"Fian."
"Yang mana, ya?" Saya berusaha mengingat-ingat. Belum semua anak perwalian bisa saya hafal.
"Duduknya di belakang. Kacamata, badannya agak besar. Dia pendiaaaaaam. Satu kelas gak ada yang bisa soal itu, dia bisa. Tapi gak mau maju untuk mengerjakan. Saya paksa, baru dia mau."
"Ooooh," saya baru ngeh siapa yang dimaksud. Fian memang pendiam.
Pekan-pekan berikutnya, pujian Bu Dede tetap setinggi langit. Saya mulai menaruh perhatian lebih padanya. Pendiam, tidak antusias, tidak menunjukkan ekspresi. Saya pikir, begitulah anak pintar yang introvert itu.

***
Esok hari, pukul sembilan pagi, wali murid itu datang. Mama Fian.
Kami bicara di perpustakaan.
Ini inti dialog kami.

"Fian tidak mau sekolah," mata Mama Fian mulai memerah.
"Sakit?"
"Tidak. Kemarin-kemarin katanya pusing, tapi semakin ke sini, dia malas-malasan sekolah."
"Penyebabnya?"
"Dia tidak suka kelasnya. Katanya rame. Anak-anaknya bicara keras-keras, dia tidak suka."

Saya mulai mencium aroma aneh. Ini tidak lazim.

"Dia saya marahi, Bu. Saya bilang, kamu tidak bisa memaksa mereka supaya diam. Namanya kelas ya rame. Mereka juga bayar, sama kayak kamu. Tidak mungkin mereka semua ikuti maumu!" Mama berapi-api bercerita.
Mengalir kemudian kisah-kisah lain.
"Fian pernah menangis di SMPnya. Dia marah karena teman-temannya menyontek. Meurutnya, tidak boleh begitu. Dia saya ingatkan juga, tidak bisa teman-temannya menuruti semua keinginannya. Walaupun menyontek itu salah, tapi dia tidak berhak memaksa temannya untuk tidak menyontek."
"Fian anak laki-laki satu-satunya. Tidak sama dengan saudara perempuannya yang lain."
"Dia manut sama saya, kalau saya bilang A, dia ikuti. Tapi sekarang saya kesulitan mengondisikan."
"Kemarin dia salah beli minuman. Saya minta merek A, dia belikan yang A, tapi variannya tidak cocok dengan yang saya minta. Sudah, saya tidak menyuruhnya beli lagi. MAma saja yang beli, saya bilang begitu pada Fian."
"Dia maunya berteman dengan Yolanda saja. Saya dorong dia untuk berteman dengan lainnya, katanya tdiak bisa. Teman-temannya tidak enak diajak berteman. Saya bilang, Yolanda itu juga bosan terus-terusan denganmu, dia pasti ingin main-main dengan lainnya. JAdi kamu cari teman juga, begitu saya bilang sama Fian, Bu."

Dan kisah-kisah lainnya.

Saya sampaikan, menurut pendapat saya, Fian kurang bisa survive. Terutama bila menemui situasi yang tidak sesuai dengan standarnya.
"Ibu tahu apa penyebabnya?"
"Apa, Bu?"
"Sebab Ibu selalu mengambil alih masalah-masalah Fian. Kisah minuman tadi, misalnya. Fian tidak terlatih untuk mengatasi masalahnya, atau menyikapi kesalahannya. Akibatnya, dia tidak terampil memecahkan masalahnya sendiri. Begitu menemukan hal-hal yang tidak pas dengan keinginan atau standarnya, Fian memilihi menarik diri. Bukannya menyesuaikan..."

Mama Fian terdiam sejenak.
"Latih dia untuk mengatasi masalahnya, Bu. Dorong dia untuk hadapi, jangan lari."

Lalu diskusi berlanjut.
Semakin banyak Mama bercerita semakin jelas bagi saya, bagaimana pola asuh yang tampak.
Fian harus dibantu. MAmanya juga.
Dan cerita ini masih berlanjut.

Kisah siswaku, semester lalu.
Catatan hati seorang ibu guru.

1 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.