FIAN : MISI KHUSUS (BAGIAN KEDUA)

Kamis, Februari 07, 2019

Fian masih menjadi pusat perhatian saya, setelah rentetan kejadian sebelumnya.

"Dia tidak nyaman duduk di belakang, Bu. Katanya tidak kelihatan, kesulitan melihat tulisan di papan tulis."
"Baik, saya pindahkan."
"Kata Fian, enak di belakang. Bisa bersandar ke tembok. Kalau dipindah ke depan, tidak bisa bersandar santai."
"Bisa saya pindahkan ke bagian depan yang dekat tembok. Semoga temannya mau bertukar tempat duduk."
"Bu Umi yang bilang ke Fian, ya?"
"InsyaaAllah."
Alhamdulillah, Arman, yang duduk paling depat dekat tembok, bersedia bertukar. Dia pindah ke deretan tengah, kursi paling depan. Fian mengangkat tasnya, berjalan pelan menuju bangku depan. Tidak nampak antusias tidak juga bergembira. Khas anak introvert; menyembunyikan emosinya rapat-rapat.
Saya lega. Satu masalah terpecahkan.
Namun kelegaan itu hanya bertahan beberapa hari. Fian kembali duduk di belakang. Dan kembali pada kebiasaan: diam, menutup diri, dan sangat pasif.

Kembali saya mencoba mengorek informasi dari teman sekelasnya.
"Siapa teman dekatnya?"
"Yolanda, Bun, satu SMP sama Fian."
"Rico yang biasanya menemani Fian, Bun. Dia sering mengajak Fian bicara."
"Tolong panggilkan Yolanda dan Rico, Bunda mau tanya-tanya."
Rico dan Yolanda menemui saya.
Cerita mereka tidak banyak.
"Sering saya ajak ke kantin, Bun. Saya bilang, ramai-ramai sama teman-teman, biar kompak. Jangan sendiri terus, gak enak. Fian sering tidak mau,"cerita Rico.
"Kenapa?"
"Malas," Rico tertawa kecil.
Alasan malas itu, menurut saya, gak asyik. Gak seru. Itu alasan orang yang kehabisan cara untuk bergembira, menikmati hidup.
Yolanda lain lagi. Dia bersungut-sungut ketika menjawab pertanyaan saya.
"Bagaimana?"
"Saya memang dekat Bu dari SMP. Kita sering bareng. Tapi di sini saya mau dia gabung teman laki, jangan sama saya terus. Ya tapi dia begitu....," katanya.

Sejauh ini, saya menangkap masalah adaptasi Fian yang jadi penghambat dia bersosialisasi sehingga terkucilkan. Sempat Fian menghadap saya dan mengobrol. JAwabannya pendek-pendek saja. Dia menyatakan baik-baik saja, dan tidak ada masalah seirus. Sikap menarik dirinya hanya sebab 'gerah', 'pusinh', 'berisik', capek.
Fian enggan terbuka pada saya. Dia cenderung defensif. Saya harus mencari cara lain untuk membantunya, melalui teman sebaya.

Maka saya kumpulkan para pengurus kelas dan berdiskusi.
"Fian butuh bantuan kalian. Tolong temani dia, ajak bicara dan ajak beraktifitas bersama-sama."
"Sering diajak,tapi sering menolak. Dia sering duduk luar, Bun, di teras kelas ini atau teras depan sana," certa satu anak.
"Iya, kalau ditanya, katanya sumuk di dalam. Duduk di luar isis...,"yanglain menimpali.
"Tetap temani, ya. Siapa diantara kalian yang mau secara khusus mendekati dia?"
Tiga anak mengacung. Baiklah. Misi itu dimulai bersama-sama. Saya mengeceknya selang beberapa hari. Hasilnya tidak tetap, fluktuatif. Ada kala laporan anak-anak positif, ada kalanya negatif.
**
"Tolong Bu, jika Ibu mengajar, Ibu videokan suasana kelasnya. Saya ingin tahu bagaimana Fian di kelas," pinta Mama.
Okey.
Suatu hari, saat kerja kelompok Bahasa Inggris, saya merekam kegiatan. Mulai dari pembentukan kelompok, hingga pengerjaan tugas. Kebetulan kelompok Fian duduk di deretan depan.
Badan Fian condong ke depan, bersandar pada meja. Lama-lama, kepalanya tertelungkup, seakan tidur. Ketika ditegur, dia hanya tersenyum. Video itu saya kirim kepada Mamanya.

"Ya ampun, Bu, anak saya kok begitu sikapnya," sang Mama mengeluh. DIskusi berlanjut, tentang bagaimana cara kami memompa semangat dan motivasi Fian.
"Eman-eman, Ma. Fian pintar. Sayang jika prsetasinya terhambat," kata saya.
"Saya sedih anak saya begitu, Bu. Nelongso,"mata Mama Fian berkaca-kaca.
Tidak tega melihatnya.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.