FIAN: THE DECISION (TERAKHIR)

Sabtu, Februari 09, 2019


Kisah Fian, melampaui satu, dua, hingga tiga babak.
Inilah endingnya.

**
"Fian minta keluar," kesekian kali Mama nmenyampaikan.
"Tidak bisa dirayu lagi?"
"Saya takut; takut jika saya memaksa, efeknya akan buruk. Kalau terjadi apa-apa di kemudain hari, bagaimana?"
Speechless.
Saya bukan siapa-siapa. Hanya wali kelas dan guru; tidak punya banyak power di hadapan Fian. Tapi saya tidak boleh menyerah. Fian layak diberi perspektif lain tentang keadaannya.

Baiklah. Saya akan mendatanginya.
Suatu malam, saya berkunjung ke rumah Fian.
Berdua dengan Hafidz, kami menyusuri jalan menuju arah timur. Jalan ini cukup sepi. Alamat sudah dikirim via WA, namun saya tetap saja kesulitan. Nomor rumah sekitar sebuah kantor (yang disebutkan Mama sebagai ancer-ancer) tidak nampak jelas. Beberapa gedung tertutup, dengan tembok tinggi. SAya melewati kantro ancer-ancer, lalu berputar kembali.

"Itu, Bunda," Hafidz menunjuk satu gedung yang lampu terasnya temaram.
Rumah Fian sepi. Halaman luas, dan lengang.
Mama dan Papa menemani saya. Tak lama, Fian menyusul.

"Bagaimana? Ada apa sebenarnya?"
Fian senyum-senyum.
"Ayo ceritakan terus terang ke Bu Umi. Kamu gak mau sekolah karena cewek itu kan?" Mama to the point. Fian senyum-senyum.
"Mumpung ada Bu Umi, ayo ceritakan. Bu Umi ingin tahu yang sebenarnya,"Papa angkat suara.
"Kamu suka banget sama Yolanda?" Saya ikut-ikutan menodong. Haduh, kasihan dia. Fian yang remaja, dikeroyok tiga orang dewasa.
"Iya," lirih suara Fian.
"Serius, mau keluar sekolah gara-gara ini? Gak eman, kah?" Saya bertanya lagi.
"Gak enak, gak nyaman," kata Fian.
"Coba gini deh," saya mengangkat tangan kanan. "Ini sekolahmu."
Lalu saya angkat tangan kiri," Ini cewek itu. Kira-kira sebanding gak, kalau sekolahmu dikalahkan oleh cewek?"
Fian diam. Memandang tangan saya.
"Ini sekolahmu, masa depanmu, Mama, Papa," saya kembali menggerakkan tangan kanan yang teracung.
"Lalu ini cewek itu," ganti tangan kiri yang bergerak.
"Layak nggak sih,jika yang kanan ini tumbang gara-gara yang kiri?" Sengaja saya mengulang lagi, untuk menegaskan situasinya.

Berganti-ganti saya, Mama, Papa dan Fian berbicara. Kalimat-kalimat Fian pendek-pendek. Lebih banyak tersenyum, menggeleng, atau mengangguk. Saya merasa menghadapi tembok kokoh dan kaku.
Beberapa hal disampaikan sebagai bahan penggugah.
Bahwa dia bukan satu-satunya siswa yang patah hati. Di sekolah ada 1800 siswa, dan hampir bisa dipastikan ada saja yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Fian tidak sendirian.
Bahwa dia kelak akan bertemu perempuan lain yang disukai. Masa iya, jika patah hati lagi, dia akan kabur lagi? Kuliah, patah hati, kabur. Kerja, patah hati, mabur.
"Kalau begini terus, kapan kamu pintar mengatasi masalah-masalahmu?"
Dan masih banyak lagi motivasi lainnya. Fian menanggapi dengan senyum malu-malu.

"Begini saja deh, ini kan mau ujian semester ganjil. Bagaimana jika Fian ikut ujian dulu, supaya bisa dapat raport. Seester dua, Fian bisa pindah sekolah lain. Akan mudah jika punya raport. Tapi kalau keluar sekarang, agak sulit. Sekolah lain juga siap-siap ujian," akhirnya solusi itu yang saya tawarkan. Saya masih berharap ada peluang Fian berubah pikiran kelak.
"Tapi aku gak mau ke kelas," katanya.
"Oh ya, ujian sama saya. Nanti saya carikan ruang khusus untuk Fian, jadi tidak perlu bertemu teman-teman. Ujian sendirian."
Fian mengangguk. Saya berjanji akan memberikan jadwal ujian dan mencarikan informasi mengenai tugas mata pelajaran yang belum dikerjakan Fian.
Saya undur diri sekitar pukul sepuluh malam. Proses lobby ternyata memakan waktu lebih dari dua jam.

**
Di sekolah, hasil pertemuan itu saya kabari pada ketua jurusan dan guru BP. Saat jadwal ujian sudah disebar, saya mengirimnya lewat WA Mama.
"Maaf Bu Umi, Fian minta keluar sekolah."
MasyaaAllah.
Tidak ada yang bisa saya lakukan lagi.
Fian sudah memutuskan langkahnya. Walau sangat menyayangkan pilihan itu, saya tidak punya wewenang untuk mengubah. Fian keluar, dan membantu Papa di toko. Mungkin tahun depan dia sekolah lagi di tempat lain.
Semoga demikian.

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.