PENOLONG RAHASIA

Sabtu, Februari 09, 2019
Suatu pagi, di desa Angkung.
“Ada yang menyimpan beras lagi, Ji,” kata Warman kepada Aji, sahabatnya.
“Beras? Di mana?” tanya Aji.
“Di depan pintu rumahku, pagi ini,” jawab Warman.
“Aku penasaran, siapa orangnya ya?” kata Warman lagi. Aji diam saja. Dia sibuk dengan singkong rebus, kacang rebus dan secangkir wedang jahenya.
“Ji!” Warman memanggil dengan suara keras. Lama-lama dongkol juga karena merasa Aji tidak memperhatikannya.
Aji hampir tersedak. Warman cepat-cepat menyodorkan air minumnya kepada Aji.
“Kalau penasaran, kita intip yuk!” usul Aji. Warman setuju.

Esok malam, mereka tidak tidur. Warman dan Aji naik ke atas pohon besar depan rumah Warman. Hingga pagi hari, tidak ada siapa pun yang mereka lihat mampir ke rumah Warman.
Warman prajurit istana yang gagah. Badannya tegap. Hidupnya sederhana. Ia tinggal bersama ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Upah sebagai prajurit digunakannya untuk mengobati sakit ayah.
Upah Warman tidak cukup untuk biaya hidup berdua. Sebagai tambahan, jika malam, Warman ikut menjadi penjaga gudang juragan Joyo. Warman hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat. Namun begitu,sedikitpun ia tidak mengeluh.
Beberapa kali Warman kesulitan pangan. Ia sering menahan lapar malam hari. Maksudnya berhemat agar ayahnya tidak sampai kelaparan.
Kesulitan hidupnya sedikitpun tidak ditampakkan. Warman enggan meminta belas kasihan dari orang lain. Ia harus berjuang sekuat tenaga tanpa merepotkan teman dan kerabatnya.

Beberapa pekan belakangan, ada orang yang menyimpan bahan pangan di depan pintu rumah. Pernah ada beberapa gantang beras. Lalu beberapa potong daging asap. Pernah juga beberapa ikat jagung. Atau beberapa tusuk ikan bakar. Jika berupa lauk, biasanya tergantung dalam kantung di dekat pintu.
Warman bingung. Siapa yang menyimpan itu semua? Dari mana orang itu tahu kesulitannya? Pekan lalu, ada kain motif lurik tersampir di dekat jendela. Tiga hari sebelumnya, Warman berangkat menjaga taman istana dengan baju lurik yang robek. Hulubalang Karso sudah menegur, katanya Warman perlu mengganti dengan baju yang baru. Warman mengiyakan. Ia memang akan membeli setelah menerima upahnya
Tiba-tiba kain lurik itu begitu saja muncul di teras rumahnya. Tidak mungkin kain lurik itu bisa berjalan sendiri, bukan?
Pagi ini, Warman berangkat kerja dengan seragam lurik baru.
“Nah, kau tampak rapi dan gagah,” puji Hulubalang Karso. Ia mengedipkan matanya sambil tersenyum penuh arti. Tiba-tiba Warman ingat penolong rahasianya.
“Terima kasih sudah mengirimkan kain ini,” kata Warman. Hulubalang Karso mengernyitkan dahi, lalu tersenyum.
“Juga atas bahan makanan,” tambah Warman. Hulubalang Karso tetap tersenyum. Ia menepuk-nepuk pundak Warman dengan bersahabat.
Warman merasa terharu. Hulubalang Karso sungguh baik dan memperhatikan pasukannya.
“Aku sudah tahu siapa pelakunya,” kata Warman pada Aji. Sore itu mereka tengah bersantai di pos penjagaan.
Warman menceritakan pengalamannya. Ia menjelaskan semua tindak tanduk Hulubalang Karso, yang membuatnya yakin bahwa Hulubalang Karsolah yang selama ini menjadi penolongnya. Penolong rahasia!
“Dia pemimpin luar biasa, memahami kesulitan anak buahnya,” puji Warman. Aji mengangguk-angguk.

**
Sepekan kemudian, hujan turun sangat deras. Sesosok tubuh mengendap-endap, menuju teras rumah kayu Warman. Sosok tubuh itu memanggul sesuatu, dan meletakkannya pelan-pelan di depan pintu. Tak ada yang melihat dan mendengar langkahnya. Ia sangat terlatih.
“Ayahku senang bisa makan pisang emas. Sungguh baik hati Hulubalang Karso,” Warman bercerita dengan semangat. Belakangan Ayah Warman meminta pisang emas, tapi Warman baru bisa berjanji akan membelikan. Dan semalam, setundun pisang emas sudah ada di depan pintu.
“Aku akan berterima kasih pada Hulbalang Karso,” kata Warman.
“Tidak perlu,” cegah Aji. “Dia memberikan padamu secara diam-diam, tentu tidak ingin kau ketahui. Jika kau tanya lagi, bisa jadi dia tidak mau mengaku.”
Warman merenung.
“Kurasa kau benar. Aku akan berterima kasih dengan berdoa untuk penolong rahasia itu. Semoga hidupnya tentram dan damai,” kata Warman.
Diam-diam, Aji mengaminkan doa itu. Disembunyikannya lutut yang tergores akibat jatuh semalam. Ia terpeleset di jalan ketika memanggul pisang emas menuju rumah Warman!
Kau jangan bilang-bilang pada Warman, ya!

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.