FIAN: BERTEPUK SEBELAH (BAGIAN TIGA)

Kamis, Februari 07, 2019
"Fian tidak mau sekolah, Bu. Saya bingung," Ibunya mengirim saya pesan lewat WA.
"Sejauh ini, kami sudah berusaha untuk membantu Fian. Dugaan tentang kesulitan adaptasi sepertinya kurang tepat."
"Dia tertekan di sekolah."
"Apa penyebabnya, Bu? Saya tidak bisa memabntu banyak jika inti masalahnya tidak bisa saya ketahui. Jika Fian mau menceritakan apa sebanrnya yang menjadi penghalang, mungkin saya bisa bantu."
"Saya boleh bertemu Ibu? Besok Ibu ada waktu?"
"Bisa, insyaaAllah."
Kami bersepakat akan bertemu sekitar pukul sembilan pagi.

Esok hari, Mama datang bersama Papa Fian. Kami duduk bersama melingkari meja.
"Saya tahu apa penyebab Fian begini. Semalam Ibu bilang tentang penyebab yang sebenarnya, sekarang saya akan ceritakan apa yang membuat Fian begini."
Mama menahan nafas. Papa duduk dengan wajah datar di sebelahnya. Saya hanya memandang manik bola mata Mama, menunggu kata-kata berikutnya. Lonceng peringatan berdentang di kepala, berisyarat sesuatu.
"Fian begini gara-gara perempuan. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Gara-gara cewek, Bu."
Sebuah nama melintas.
"Ini gara-gara Yolanda."
Nah! Tepat sesuai dugaan.



"Fian suka sekali pada Yolanda. Mereka dekat sejak SMP. Kemana-mana berdua. Rekreasi juga duduk bersebelahan. Di sini, Yolanda menjauh...," cerita dimulai.
Panjang Mama berkisah.
Tentang sakit hati Fian melihat Yolanda dekat dengan teman laki-laki lainnya.
Tentang harapan Fian agar Yolanda menemani dan dekat seperti SMP dahulu.
Tentang kecenderungan Fian yang 'dalam' jika jatuh cinta. Tidak bisa ke lain hati. Tipe setia, dambaan banyak perempuan. Jika saling mencinta, maka kesetiaan itu manis dan indah. Tapi jika salah satu enggan, tak hendak, maka kesetiaan itu bisa mengganggu, terutama bagi yang mencinta. Dia dipasung harapan yang tak kunjung bersemi.
Lho, kenapa saya jadi seperti pujangga?
.
"Fian ingin keluar sekolah."
Kalimat Mama membuat saya terkejut.
Pindah sekolah sebab cinta bertepuk sebelah tangan? Sepadankah?
Sungguh saat itu hati saya tidak mentertawakan. Yang terbesit justru rasa sayang dan kasihan. Fian sedang tersesat, terpenjara oleh cinta dan kecemburuan yang kuat. Ia tidak bisa berpikir jernih. Ia masih belum merasakan asam garam hidup, belum bertemu masalah lain yang lebih besar. Yang lebih penting. Yang lebih layak diperjuangkan dengan berdarah-darah.
"Eman, Ma."
"Yolanda tidak bisa dipindah, Bu?"
"Tidak bisa, Ma. "
"Oh ya, Fian memang wanti-wanti jangan sampai Yolanda dipindah. Nanti dia juga yang akan disalahkan oleh teman-temannya jika Yolanda sampai pindah kelas lain. Masalah bisa tambah runyam," kata Mama.
"Kita bantu Fian agar bertahan, Ma."
"Tidak bisa," sanggah Papa. "Selama masih bertemu, Fian tidak akan sanggup."

Ya Allah, terkejut lagi. Apa saya mulai tertular pihak-pihak yang mudah sekali terkejut, ya?

Kembali diskusi berlanjut.
Saya berharap kami bisa sampai pada kesepakatan yang tepat untuk membantu Fian keluar dari kemelut hatinya. Tapi standing position kami tidak sama: saya yakin Fian sanggup melewati ini, mereka keukeuh dengan keyakinan bahwa ini berat dan teramat sulit.
"Kami tahu anak kami."
Pernyataan ini mengunci. Orangtua tentu punya wewenang untuk menyimpulkan sesuatu tentang anaknya, sebab mereka lebih dekat dan lebih mengenal daripada guru. Namun saya yakin, justru sebab 'jauh lebih mengenal', ada titik tertentu yang menjadi 'blind-spot' dan hanya bisa dilihat orang lain yang berjarak. Sehingga bisa menilai secara wajar, dan obyektif. Bukankah demikian?

Masih ada harapan. Bertemu langsung dengannya, dan berbicara. Harus dilakukan segera.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.