KETIKA HAFIDZ OPNAME

Kamis, Februari 28, 2019
"Bersiap masuk ICU, Bu!" Suara pelan dokter itu berdentam keras di kepala saya. Hampir pukul sepuluh malam saat itu, 19 Februari 2019. Hafidz tergolek di bed. Badannya tampak lemas, namun kesadarannya masih penuh. Dokter mulai memeriksa. DAdanya ditekan pelan.
"Adek sesak nafas?" Entah beberapa kali pertanyaan itu dilontarkan. Hafidz hanya menggeleng.
"Saya konsul dulu dengan dokter anak ya, Bu. Jika perlu dirawat intensif, kami kirim ke RSUD, ICU," kembali diucapkannya kalimat godam itu. Saya hanya mengangguk pasrah.

Sekitar satu jam lalu, kami sampai di RSI, membawa hasil lab dari RS Muslimat. Trombosit hanya 63.000, dan lekositnya tinggi. Ada seorang Ibu yang mengantar putrinya, dengan kasus yang sama. Kami bertemu di dokter anak RS Muslimat.
"Bagaimana. Bu?" Saya menyapa. Putrinya terbaring lemah.
"Trombositnya 130.000, Bu. Harus opname. Suami saya jauh, saya sendirian mengurus ini. Ya Allah, saya harus belajar sabar lebih...," mengalirlah ceritanya. Saya mendengarkan, berempati pada apa yang dirasakannya. Merawat anak sakit saat suami tidak bisa mendampingi itu tentu berat.
"Bagaimana dengan putra Ibu? Berapa trombositnya?" Tetiba ia mengalihkan topik.
"Masih cek lab lagi, tadi dari Muslimat hanya 63.000," jawab saya. Matanya terbelalak.
"Ya Allah, rendah sekali! Ternyata kondisi anak Ibu lebih berat dari saya. Semoga Ibu kuat dan sabar menghadapi ini!" Dia mengelus lengan saya. Saya hanya bisa tersenyum. Sempat terbesit dalam hati, kenapa dia demikian cemas sementara saya yakin ini baikbaik saja.
Tapi sekarang, dengan keadaan yang tampak genting, sungguh saya ingin sekali menangis.

Kembali kalimat dokter itu bergaung di telinga.
Masuk ICU? RSUD? Naik apa? Ambulans? Dengan suara sirine yang meraung? Allah, setiap kali ambulan lewat dengan sirine macam begitu, saya sering refelks berdoa. Semoga kerabat yang di dalam ambulan itu diberi kesabaran. Jika ambulans itu mengangkut orang sakit, semoga yang sakit diberi kesembuhan.Jika isi ambulan itu jenazah, semoga Allah ampuni dosa dan limpahkan ketabahan pada keluarga.
"Trombosit 31.000 itu terlalu rendah, saya khawatir putera Ibu shock," tambah dokter. Dia menuju meja kerjanya, terdengar suara percakapan melalui telepon dengan seseorang di seberang.
Saya membelai kepala Hafidz. Ayah berdiri di sisi lain. Wajahnya tampak tegang.
"Aku mau diapain lagi?" Hafidz bertanya.
"Menunggu dokter dulu," saya menjawab.

Saya ingin menangis. Tapi Hafidz tidak boleh melihat. Maka saya beringsut ke ujung kasur, di belakang kepala Hafidz. Dengan tangan yang masih membelai, kepala saya tertunduk. Air mata menderas, berlinang menuruni pipi. Sekuat tenaga saya menahan diri agar isak tangis tidak keluar. Saat mengangkat kepala, pandangan beradu dengan Ayah. Beliau menggeleng. Tatapannya tajam dan tegas.
"Tahan, tahan," bibirnya bergerak menggumamkan itu. Saya mengusap air mata. Menegarkan diri dan beringsut mencium wajah Hafidz.
"Aku pusing," lirihnya.
"Kakak yang sabar, ya," bisik saya. Tapi sepertinya kalimat itu lebih tepat untuk saya. Kembali saya beringsut, menangis tanpa suara. Ayah memandang saya dengan tatapan tak suka. Iya, saya harus tabah. Tak boleh Hafidz melihat saya menangis. Dia membutuhkan Bundanya menemani dengan gembira, melenyapkan ketakutannya. Saya harus kuat. Tapi kali ini, untuk menuju kuat, saya butuh menangis dahulu. Supaya perasaan lemah itu larut dalam air mata, dan yang tersisa adalah ketabahan. Saya tahu ini bukan hal besar, namun saya belum pernah hadapi urusan segenting ini. Jadi izinkan saya menangis, sebentar saja.

Benar, sebentar. Setelah itu, kami menunggu tindakan dokter. Dibawa ke ICU, mari. InsyaaAllah itu yang terbaik.
Qadarullah, Hafidz masuk kamar perawatan pukul dua belas malam. Menempati kamar VVIP no 13. Kamar Zahra ketika opname, dua bulan lalu. Sebab sakit yang sama, demam berdarah. Saat itu trombosit Zahra meluncur 127.000. Tapi badannya sudah demikian lemas. Kondisi Hafidz sekarang lebih buruk, namun ia lebih kuat. Mungkin sebab fisik Hafidz terlatih dalam kegiatan taekwondo dua kali dalam sepekan. Alhamdulillah, masyaaAllah.



Selama perawatan, Ayah tidak masuk kerja. Berdua kami temani siang hari, malam hari saya sendiri. Ayah menemani Mbak Najma dan Mbak Zahra di rumah. Ba'da maghrib, kami berkumpul. Saat itulah senyum Hafidz merekah, dan dia bisa tertawa lepas bersama kakaknya.
Perkembangan trombosit dari hari pertama adalah 31.00, lalu 33.000, lalu 34.000. Kami mencemaskan perkembangan yang lambat ini.
"Boleh pulang kalau trombositnya mencapai 50.000," kata Bu dokter saat visite.
Hari keempat, meningkat menjadi 67.000.
"Horeeee, pulang!" Hafidz bersorak. Wajahnya sangat berseri. Alhamdulillah, masyaaAllah.

Saya masih mengkhawatirkan fase pemulihan. Lima hari lagi, rencananya saya akan bertolak ke Jakarta. Tiket sudah dibeli. Kegiatan diklat kali ini cukup lama, dari 27 Februari hingga 25 Maret. Dua puluh satu hari diantaranya di negeri jiran, Malaysia. Bagaimana kondisinya jika saya tinggal nanti?

"Berangkat saja, Hafidz akan pulih dengan baik," Ayah memberi semangat.
Baiklah, bismillah.

Alhamdulillah, Hafidz pulih. Ia kembali gembira dan ceria di sekolah. MasyaaAllah. Tiada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allh semata. Semoga Allah sehatkan kami semuanya. Allahumma aamiin.

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia.
(Ditulis di kamar 302, gedung Bougenville di lantai tiga)

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.