IBU IKHLASH, NAK!

Senin, Februari 11, 2019


Pagi hari, Ahad 23 Desember 2018.
Saat itu saya dan mas Budi baru pulang dari pasar. Belanja sejak pukul lima pagi. Ada dua keluarga, sepupu dari Jakarta, yang berkunjung. Keluarga Aa Agus dan Teh Fenny, beserta 6 anak dan remaja. Mereka hendak menuju Malang, transit sejenak di Jombang dan bermalam.
Di gang VII, saya lihat ada tetangga yang tengah berjalan bergegas dekat masjid Miftahul Jihad, wajahnya serius dan tegang. Wajah demikian mengingatkan pada sesuatu. Terbesit begitu saja; itu wajah orang yang hendak ke atau dari masjid, mengumumkan kematian. Ekspresi demikian, entah kenapa, mengalirkan kecemasan dan ketegangan.
Ingat masa lalu, April 2003. Saat Bapak meninggal. Saat becak kami, dari rumah sakit menuju rumah, melaju dengan pelan Bersama isak tangis saya dan Mamah yang timbul tenggelam. Kami meninggalkan BApak di UGD, diurus oleh MAs Budi, ditemani Pak Kholil dan bapak-bapak tetangga lainnya. Kami diminta pulang lebih dahulu.
Becak kami melintas tepat di belakang mimbar, ketika berita kematian Bapak diumukan lewat pengeras suara masjdi.
"Innalillaahi wainna Ilaihi raji'un... Telah meninggal dunia...," begitu lantang suaranya. Mengaduk-aduk kesediahn yang melesak jauh di dalam dada. Gelombang kepedihan menjalar, menyesakkan dada. Mendorong air mata menderas tak tertahankan. Kami tersedu-sedu berdua.

**
Jalan yang bergegeas, raut muka yang cemas, yang kami lihat tadi, menyisakan pertanyaan besar: ada apakah?
Terdengar pengumuman membahana dari pengeras suara masjid.
"Innalillahi wa inna Ilaihi rajiun; telah memninggal dunia, Bambang bla..bla...."
Pengumuman jenis ini, khas dan berirama tetap. Intonasi ajeg. Intro demikian membuat telinga-telinga sekitar masjid tegak dan menyimak.
"Bambang siapa?" MAs Budi bertanya-tanya.
"Ada tiga Bambang di sini, kan. Bambang bla, bla,bla; lalu Bambang bla, bla, bla, ; lalu Bambang bla, bla. Ini Bambang mana yang dimaksud?" Nenek mengabsen satu persatu.
"Tadi pagi Pak Bambang itu ada di masjid, ketemu pas sholat Shubuh," Mas Budi bergumam.
Tak ada kepastian, sampai menjelang takziah.

"Kata Mbak Yati, Bambang ini calon mantunya Bu Darto," terang tetangga. Mbak Yati adalah isterinya Pak Bandi. PAk BAndi adalah orang yang membantu penghuni kompleks dalam urusan sampah. Pak Bandi berperan besar mengamankan para kawanan sampah agar tidak merajalela.
Saya dan Nenek berangkat bersama. Rumah duka tidak terlalu ramai. Liburan akhir semester, banyak keluarga yang bepergian. Kompleks rumah menjadi sepi dan lengang.

"Matur nuwun," Bu Darto menyambut kami. Kami duduk di ruang samping, yang bersebelahan dengan ruang tengah. Seorang gadis muda duduk dekat ambang pintu antara ruang depan dan ruang tengah. Gaya duduknya seperti meringkuk. Isak tangis terdengar sesekali.
Gadis muda itu, putri Bu Darto, sang calon pengantin. Calon suaminya, Bambang, tubuh kakunya terbaring di ruang tamu. Dibungkus kain hijau, menanti Ibunda yang masih dalam perjalanan dari Jakarta.
Prosesi lamaran usai Jumat kemarin. Orangtua Bambang langsung kembali ke Jakarta Jumat sore.
Bambang menginap sementara untuk menyiapkan pernikaha; memesan gedung, mencari salon dan periasnya, serta memesan undangan. Sabtu malam, Bambang pamit tidur, dan masuk kamar. Sang gadis mengobrol dengan Ayahnya hingga larut. Sampai suatu waktu, terdengar suara orang mengorok dari kamar Bambang. Nyawanya tak tertolong setelah dibawa ke rumah sakit.

Innalillahi wa inna Ilaihi rajiun. Saya tidak bisa membayangkan pilunya hati sang calon pengantin putri.
Sekitar pukul sembilan pagi, keluarga almarhum tiba.
Kami menahan nafs, berdiri berjajar di ruang tamu. Sang Ibunda berhenti sejenak di pagar. Wajahnya pilu. Ayahanda merangsek menuju jenazah dan memeluknya erat-erat.
Sang Ibunda terpaku, mengusap-usap wajahnya yang basah oleh air mata.
Lirih dzikir mengalun dari bibirnya.
Menjelang pintu, kembali langkahnya terhenti. Kami memapahnya agar ia tetap tegak berjalan.
"Ibu ikhlas Nak, Ibu ikhlas... Kamu anak baik, berbakti," Sang Ibunda memandang jenazah, namun tak kuasa lagi melangkah.
"Kamu antar Ibu kemana pun, kamu anak baik. Ibu ikhlas, Nak, Ibu ikhlash. Allah, ya Allah," dzikir tetap dilantunkannya. KAmi tak kuasa menahan tangis. Berurai air mata dan sesak dada.

Mereka membuka kafan, memandangi wajahnya, dan mencium satu per satu. Adik bungsu almarhum menolak, menggelengkan kepala dengan keras. Ia panik, bingung; kesana kemari berjalan sambil menggelengkan kepalanya. Seolah-olah dengan demikian, kesedihannya akan lenyap. Namun ia sigap mengingatkan Ayah Ibu dan kakaknya. "Jangan sampai basah, jangan sampai air mata menetes di wajahnya." Ia sibuk mengambilkan tissu saat Ibunda akan mencium untuk terakhir kali.
Jenazah itu dimakamkan di Jombang, tidak dibawa ke Jakarta. Sang Ibunda benar-benar tabah dan ikhlas. Tidak ada tangis meraung, tidak ada kata-kata yang menampakkan penyesalan atas takdir.
Keputusan mengizinkan sang putera dimakamkan di Jombang, jauh dari kampung halaman di JAakrta sana, menunjukkan pemahaman agama yang baik. Pemakaman harus disegerakan, sesuai sunnah.

Allah Subhanahu waTa'ala telah tetapkan takdir masing-masing insan, di bumi mana kelak dia akan dimatikan.
Sungguh Allah Maha Kuasa atas setiap hambaNya.

Semoga kita semua dapat meraih husnul khatimah., di bumi manapun diwafatkan kelak.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.