PURI DAN HUTAN

Sabtu, Februari 09, 2019

“Siapa yang akan membantuku?” Puri berbisik. Bisiknya didengar angin. Angin membawanya ke pohon jati di tengah hutan.
“Aku akan membantunya,” bisik Jati pada Belukar di dekat kakinya.
“Aku juga,” kata Belukar bersemangat.
“Hey, aku ikut,” kata Semut Merah yang merayap berbaris dekat belukar.
“Kau dengar juga?” Jati bertanya sangsi.
“Ya, sangat jelas. Puri bertanya, siapa yang akan membantunya, bukan? Walau tidak setinggi kau, pendengaran kami jauh lebih tajam darimu.” Jati tertawa. Dia tidak bermaksud meremehkan Semut Merah yang kecil. Hanya ingin menggoda saja.

Puri anak kecil yang tinggal di desa dekat hutan. Sering bermain bersama sahabatnya, Tiwa. Puri ramah dan menyenangkan. Jika bermain di hutan, Puri berhati-hati. Tidak pernah meninggalkan sampah. Tidak merusak pohon.
Puri suka bercocok tanam. Halaman rumahnya menjadi kebun mini yang indah. Kebun sayur dan bunga. Di halaman depan, adalah kebun bunga. Di halaman samping, khusus sayur.
Puri terlahir yatim piatu, Ia dirawat oleh Bibi Mapu yang baik dan lembut hati. Puri diajari banyak kebaikan. Bibi Mapu juga memberikan contoh langsung bagaimana kebajikan dilakukan. Puri tumbuh menjadi gadis kecil yang ramah, hangat dan penyayang. Warga desa menyayanginya.
Pekan lalu, bibinya wafat. Para tetangga membantu dan menghiburnya. Sandang pangan untuk Puri terpenuhi. Namun ia kehilangan guru dan teladan yang baik. Puri kesepian.

“Aku akan membawamu menemui Bibi Hera, siapa tahu kau bisa tinggal di sana,” kata bapak pimpinan desa. Bibi Hera adalah sepupu Bibi Mapu. Ia tinggal di desa lain, di ujung hutan ini. Puri diam saja, ia belum memutuskan apa pun. Sebetulnya dia tak hendak meninggalkan desa ini. Desa yang sudah memberinya hidup yang bahagia dan tentram.

“Siapa yang akan menemaniku?” Puri berbisik lagi. Sudah berjam-jam dia duduk di tepi sungai, dekat hutan. Suaranya dibawa angin menuju tengah hutan.
“Aku akan menamanimu, Puri,” bisik Jati.
“Aku juga mau, dia teman menyenangkan,” belukar menyahut.
“Tentu kami juga,” kata semut merah.
“Bagaimana caramu menamani? Kau bisa menyakiti Puri,” belukar melirik semut merah.
“Bagaimana juga denganmu?” Semut merah balas melirik.
“Aku akan membiarkannya duduk dekat-dekat,” balas belukar.
“Kau pikir dia mau?” Semut mengejek.
“Kau pikir dia juga mau kau dekati? Jangan-jangan dia akan menginjakmu segera sebab takut,” belukar membalas ejekan semut.
Jati memandang tak suka. Ejekan akan memancing pertengkaran. Pertengkaran bisa merusak pertemanan. Belum lagi jika saling dendam dan saling memusuhi. Tak enak.
“Berhentilah saling menghina,” Jati menengahi.
“Aku tidak menghina. Aku menyampaikan apa adanya,” jawab Belukar.
“Tidak semua yang dipikirkan perlu disampaikan,” nasihat Jati. Belukar dan Semut melengos. Jati sok tua, sok bijaksana.

“Siapa yang akan menasihatiku dan memberi tahu mana yang benar dan salah?” Puri bergumam lagi.
Angin membawa suaranya ke tempat jati, belukar dan semut.
“Aku mungkin bisa,” desah Jati.
“Aku pasti bisa,” Belukar berkata mantap.
“Aku punya banyak pengetahuan. Nasihatku akan sangat berguna,” Semut menepuk dada.
“Kau terlalu kecil, Puri tidak akan mendengarmu,” kata Belukar.
“itu bukan hal sulit, aku bisa memanjat ke bahunya dan berbisik dekat telinganya. Selalu ada solusi, bukan?” pongah Semut.
“Lebih mudah bagiku. Dia tinggal duduk dekatku, lalu dia bebas menceritakan persoalannya. Tinggi kami hampir sama. Percakapan kami akan jauh lebih mudah darimu dan jati,” sombong Belukar. Semut memandang tak suka. Belukar benar dalam hal ini.

Semut dan Belukar kembali bertengkar. Masing-masing berusaha saling menjatuhkan, saling menghina dan merendahkan. Jati hanya menonton dengan sedih.
Tiba-tiba terdengar bisikan Puri lagi.
“Siapa yang akan mengajariku lagi untuk saling menyayangi dan menghormati?”
Pertanyaan Puri itu membuat Belukar dan Semut terdiam. Pertengkaran yang baru saja terjadi sungguh memalukan. Belukar dan Semut sama-sama merasa tidak layak. Bagaimana sikap kasih sayang bisa diajarkan oleh mereka yang suka bertengkar? Bagaimana sikap menghormati bisa dicontohkan oleh mereka yang suka menghina?
Jati menarik nafas lega. Diam-diam berterima kasih pada Puri yang sudah membuat teman-temannya berpikir dan merenung.

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia
Gambar diambil dari Pinterest

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.