SATU SERVER
“Bagaimana kalau aku pacaran?”
Pertanyaan itu membuat kami, Ayah, Bunda dan dua putri
remaja kami yang lain, melongo. Yang melontarkan putri yang hampir lulus SMP.
Saya diam dulu, mencoba menebak ke mana arah pertanyaan dia.
“Emang mau pacaran?” Akhirnya saya balik bertanya.
“Nggak, aku
nanya aja. Nanya thooook!” katanya sambil tertawa.
“Ayah nikahkan saja,” jawab Ayah. Tiga remaja putri itu
tertawa terbahak.
Pacaran
adalah satu hal yang dianggap wajar. Lazim, normal. Normalisasi ini, menurut
saya, menjurus kepada pembiaran, pemakluman, tak apa. Yang berpacaran, biasa.
Yang tidak berpacaran dianggap aneh.
“Kata
teman, saya gak laku, makanya tidak punya pacar,” kata seorang murid yang juga
tim debat bahasa Inggris sekolah kami.
Gadis yang mungil, kalem, cerdas, dan fasih berbahasa Inggris itu tampak
santai.
Putri
kami sesekali bercerita tentang teman putrinya yang menangis karena berantem
dengan pacar. Sekarang menangis, besok akur lagi. Sekian lama, putus. Menangis
lagi, tersedu-sedu di kelas. Sekian waktu, cerita lain mampir ke telinga saya:
sudah punya pacar baru.
Kisah
lain dari putri kami tentang pertemanan dan lingkungan sekolahnya yaitu teman
yang le****. Saya bertanya-tanya penuh minat. Kepo maksimal.
“Dia
bilang kalau le****?”
“Iya,
dia bilang.”
“Terus
gimana?”
“Ya
gak papa. Dia nembak temanku.” What? Wah, seru dah.
“Yang
ditembak mau?”
“Gak
mau.” Waaaaa. Kalau saya yang ditembak le*****, saya akan merespon bagaimana?
Jadi ingat dua pengalaman ‘diganggu’ . Diberi kode, kedip-kedip,
senyum-senyum mesum. Astaghfirullah.
Topik pacaran adalah satu di antara topik seru seputar kehidupan remaja. Topik lain semisal menyontek, konten media sosial, kasus teman di kelas, kegiatan ekskul sekolah, guru, dan lain-lain. Sekarang ditambah satu: tentang kucing.
Ada
yang mengatakan bahwa masa remaja adalah
masa terombang-ambing. Fase mencari jati diri. Dalam sebuah parenting, Ustaz
FAuzil Adhim menyatakan bahwa anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Remaja yang
dididik dengan baik oleh orang tuanya tidak akan mengalami kebingungan. Mereka,
dengan visi besar yang ditanamkan oleh orang tua, lebih kukuh dan mampu
mengatasi berbagai konflik atau
kesenjangan konsep di luar. Hasil
didikan orang tua menjadi dasar berpikir dalam menganalisis pengalaman dan
dasar pertimbangan pengambilan keputusan.
Peran Orang Tua bagi Remaja
Mendidik remaja tentu
berbeda dengan mendidik anak usia prasekolah atau sekolah dasar. Anak usia pra
sekolah atau sekolah dasar, masih menjadikan orang tua sebagai pusat. Sedikit
terkurangi ketika bersaing dengan guru.
Pada remaja, kompetitor
orang tua adalah teman. Jika orang tua gagal mendampingi remaja secara baik,
anak akan semakin jauh dari rumah. Mereka
menjadikan teman atau komunitasnya sebagai prioritas. Curhat, berbagi
masalah, bahkan mencari solusi bersama
teman.
Menyiasati keadaaan ini,
orang tua perlu menjalankan perannya dengan baik. Sebagai manusia yang sudah
akil balligh, remaja terkena beban
tanggung jawb. Sudah dihitung pahala atau dosa.
Di bawah ini beberapa
peran yang bisa dimainkan orang tua agar memiliki hubungan harmonis dengan anak
remaja,
Pertama,
peran sebagai pendorong.
Dalam surat AL Mulk ayat 2, Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa
diciptakan kematian dan kehidupan bertujuan untuk melihat siapa yang terbaik
amalnya. Orang tua perlu menanamkan visi dan misi besar ini kepada anak, dan
mengondisikan mereka untuk fokus pada perbanyak amal, perbanyak ilmu, dan
perbanyak pertemanan dengan orang-orang yang baik agamanya. Menjadi pendorong
bukan sekadar memotivasi anak remaja melakukan sesuatu, namun sekaligus
memberikan ruang sesuatu itu terwujud. Contoh, orang tua mendorong remaja untuk
banyak membaca. Yang harus disediakan adalah buku-buku yang menarik, suasana
membaca yang mendukung, momen membaca yang menyenangkan.
Kedua,
peran sebagai panutan. Integritas
orang tua menjadi penentu kelayakan sebagai panutan. Satu kata dan perbuatan.
Tak boleh orang tua hanya menyuruh, menugaskan serta membebani tanpa memberi contoh lebih dahulu. Akan lucu dan
absurd orang tua melarang anak remaja merokok, sementara dia perokok berat. Tak
akan membekas perintah salat berjamaah di masjid bagi anak lelaki jika orang
tua sendiri jarang-jarang jamaah di masjid. Menyuruh anak membaca sementara
orang tua jauh dari kesukaan terhadap buku.
Ketiga,
peran sebagai pengawas. Orang
tua memiliki wewenang penuh untuk melarang, membatasi, atau memerintahkan
sesuatu dijauhi. Untuk sampai pada level ini, pengkondisian sejak kecil
menjadi. Keliru besar jika atas nama demokrasi, orang tua memberikan ruang yang
terlalu luas bagi anak-anak untuk melakukan sesuatu. Mereka harus terbiasa
menerima wewenang orang lain, terutama orang tua. Bukan untuk membuat mereka
takut, tetapi untuk menerima bahwa ada wewenang orang tua atas diri mereka.
Jika ini sudah terbentuk, akan mudah bagi orang tua menjauhkan mereka dari
kekeliruan langkah yang fatal.
Terakhir,
peran sebagi teman. Sebagai
teman yang asyik untuk diajak curhat, asyik untuk diajak lucu-lucuan, asyik
untuk diajak jalan. Tidak membuat jarak yang menghalangi mereka dari mengobrol
ringan tentang apa saja. Tidak terlalu banyak memberi ceramah, tapi terbuka
memberikan solusi bagi semua masalah mereka. Tentu saja dalam batas koridor
penghormatan dan tetap menjaga wibawa sebagai orang tua.
Menjadi
orang tua satu server bagi remaja masa kini adalah keharusan. Satu server,
untuk memandang masalah sekitar dengan
kaca mata mereka, kemudian membantu memperkaya sudut pandang, persepsi dan
wawasan agar semua bisa disikapi secara benar, baik, dan bijaksana.
Wallahu’alam.
*tulisan ini dimuat di Majalah LAZUQ Edisi Agustus 2022
Tidak ada komentar: