'WIS NGENE LAKONE' : PEMAKAMAN KEDUA

Senin, September 12, 2016
Masih tentang keluarga Pak Wahyu, dan Wira.

Kemarin sore, Bu Rahma dimakamkan. Dihadiri oleh banyak sekali alumni, siswa dan kolega almarhumah dan Pak Wahyu.

Pukul 18.30,  putera kedua yaitu Sena, yang kritis di RSUD Rembang, meninggal dunia. Belum kering air mata, kembali mereka berdua harus kehilangan orang tercinta.

Pukul 07.30 pagi tadi, saya dan Bu Umi Aini meluncur menuju rumah duka. Saya berharap bisa ikut menyolatkan.
Ternyata kami terlambat. Jenazah sudah diberangkatkan ke pemakaman. Kami bergegas kesana, berjalan kaki bersama siswa yang juga baru datang.

Prosesi pemakaman sudah selesai. Seorang ustadz memberi taujih tentang takdir, kesabaran dan ketabahan.
Suasananya jauh lebih hening dan syahdu daripada kemarin.

Makam Sena ada didepan makam Ibundanya. Pak Wahyu dan Wira duduk di sebelah kanan, berjarak sekitar dua meter dari makam. DOa sudah selesai dibacakan. Tapi sedikit yang beranjak pulang.

Pak Wahyu merengkuh kepala Wira, membelai kepalanya. Wira mengusap air matanya. Entah apa yang dibisikkan Pak Wahyu. Wira mengangguk, menunduk, mengusap lagi air mata yang menetes. Pak Wahyu  berpindah tempat, bersimpuh di depan Wira. Mereka berbincang sejenak, kemudian Pak Wahyu mengusap kepala Wira.
Saya tak bisa mendengar apa yang Pak Wahyu katakan. Namun, kami semua seolah berada dalam frekwensi yang sama : kepedihan, kesdihan, kehilangan, dan guncangan.

Kami seperti beku. Tak tahan desakan haru. Isak kecil terdengar pelan. Seorang Ibu bersimpuh di makam Sena. Mengusap nisannya. Meraba gundukan tanahnya.
Bahunya berguncang.
Tangisnya mulai lantang.
Lalu, beliau perlahan histeris.

"Sena, Ibu tidak bisa melihat kamu lagi, Nak!" beliau meratap. Pak Wahyu bangkit, seperti hendak mencegah.
Seorang Ibu disebelah saya mengusap-usap pundak Ibu yang meratap itu. Tapi suaranya tak juga melirih.

"Ibu, jangan meratap.. Tidak boleh. Kasihan Sena," saya akhirnya tidak tahan, khawatir beliau semakin histeris.
Beliau tak kuat menahan perasaan. Masih meracau, meratap, memanggil-manggil Sena.

"Istighfar... Istighfar, Bu," bersama Ibu yang lain, saya mencoba menenangkan. Beliau diajak bangkit, menjauh dari pusara.

Kami masih beku. Berdiri di sekeliling dua pusara ibu dan anak itu. Rasanya hati enggan menjauh, seperti dipaku pilu.

Pak Wahyu dan Wira beserta kerabatnya pamitan, kembali ke rumah.
Setelah berdoa, saya segera bangkit dan pergi. Dua orang pelajar, ragu-ragu berdiri di sebelah saya. Mereka memandangi pusara Bu Rahma.

"Mau berdoa disitu?" saya menunjuk pusara Bu Rahma.

"Iya, Bu. Bolehkah?" tanya salah satu pelajar tu.

"Doa saja, tidak apa-apa," kata saya.

Di rumah, kami hendak berpamitan. Pak Wahyu tengah mengantar dua orang tamu yang hendak pulang.
Kami berbincang sejenak. Bu Umi Aini adalah teman Pak Wahyu ketika SMP.
Saya memeluk Wira yang berdiri dekat kami.

"Kelas berapa?"

"Kelas empat," jawabnya malu-malu.

"Wira bakal jadi anak kuat, nih. Sholih," saya membelai kepalanya. Jujur, pengen nangis sebetulnya. Bagaimana dalamnya pilu yang harus dia tanggung? Kehilangan ibu dan adik dalam dua hari, seberat apa perihnya?

"Selama ini di rumah berempat saja?" tanya Bu Umi Aini.

"Iya, sejak isteri jadi PNS, saya di rumah. Isteri saya sering bertugas ke luar kota. Setelah hari raya ini, mestinya dia ke Papua,"kata Pak Wahyu. Ia punya usaha sendiri, yang tidak terikat jam kantor.

"Sekarang tinggal berdua nih," canda Bu Umi Aini.

"Iya, tinggal kita berdua," Pak Wahyu memeluk Wira sambil mengerling. Wira tersenyum.

Allah, tabah sekali mereka!

"Wis ngene lakone, jenenge urip (sudah ini jalannya, namanya hdup)," katanya, masih sambil tersenyum.

MasyaaAllah, ujian tidak pernah salah orang.
Diberikan kehilangan pada orang yang memiliki stok ketabahan. Diberi kesedihan, sambil Allah hembuskan kesabaran.

Ujian tidak pernah salah orang. Yang mengalami, bisa menjalani dengan kekuatan, biidznillah.

"Dari dulu, Wahyu itu begitu. Agamanya kuat," kata Bu Umi Aini.

Wis ngene lakone, adalah ungkapan sederhana yang muncul dari imannya yang baik. Mereka tabah, yang  melihat justru baper. Sedih, pilu, dan kudu mewek terus.

Apalagi melihat foto mereka ini. Kebahagiaan yang menjadi kenangan.

Foto dari berbagai sumber

2 komentar:

  1. Itu kalimat sabar paling ampuh ya bu guru umi, jadi kita bisa ikhlas menjalani hidup "wis ngene lakone" tapi emang bener nggak semua orang bisa dengan mudah mengucapkannya..

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.