TANTE LIA
Adil memandang ke luar jendela. Mobilnya sedang berhenti di perempatan karena lampu merah menyala.
“Lima…,” bisiknya. Mobil Adil belok kiri, melewati sebuah pasar yang ramai. Mama yang menyetir melirik Adil.
“Enam..,” bisiknya lagi. Berikutnya mobil Adil melewati sebuah bank.
“Tujuh..!” Adil berkata dengan suara agak keras.
“Apanya yang tujuh?” tanya Mama.
“Adil menghitung pengemis yang cacat, Ma. Ternyata banyak juga, ya?” kata Adil. Mama tersenyum kecil.
“Sampai rumah nanti, langsung makan dan mandi ya, Dil. Kita akan pergi ke rumah Nenek,” kata Mama.
“Asyik! Adil boleh main di kebun Nenek?” tanya Adil. Adil melonjak riang ketika Mama mengangguk.
Pukul dua siang mereka berangkat. Satu jam kemudian mereka sudah sampai di rumah Nenek. Kebun Nenek sangat luas dan ditanami banyak pohon buah-buahan. Ada mangga, kelengkeng, rambutan, delima dan kedondong. Adil duduk-duduk di bawah pohon rambutan sambil membaca buku. Sesekali Adil memetik buah rambutan yang sudah merah. Hmm, rasanya manis dan segar!
“Adil!!” seseorang memanggil. Adil bangkit dari duduknya dan melihat sekeliling kebun. Tidak tampak siapa-siapa.
“Hoooiii!” suara itu terdengar lagi. Adil melihat ke sana kemari lagi. Tidak tampak siapa-siapa. Hiyy, Adil ingat kata-kata sepupunya, bahwa kebun Nenek terkenal angker!
“Adiilll!” suara itu lagi! Adil bersiap berlari.
“Aku di sini, di atas pohon!! Sebelah utara!”
Adil menoleh ke sebelah utara. Oh, ternyata Evan, anak tetangga Nenek! Adil dan Evan berteman dekat. Setiap ke rumah Nenek, Adil bermain ke rumah Evan. Evan punya perpustakaan kecil di rumahnya. Koleksi bukunya sangat banyak dan bagus-bagus.
“Aku ke sana!” teriak Adil. Dia bergegas mencari Mama untuk berpamitan. Mama memberi waktu satu jam untuk bermain ke rumah Evan.
Adil langsung menuju perpustakaan Evan. Koleksi buku Evan bertambah banyak! Perpustakaan ini sering dikunjungi anak-anak sekitar. Adil bisa melihat dari daftar hadir yang tersedia.
“Aku masih punya koleksi ensiklopedi terbaru! Sebentar ya, aku ambilkan!” Evan bergegas masuk. Adil menunggu sambil melihat-lihat buku-buku baru.
Tak lama kemudian, seorang wanita memasuki halaman rumah Evan. Adil memperhatikan. Orang itu buta dan berjalan dengan bantuan tongkat. Pakaiannya tampak sangat sederhana.
Adil merogoh kantung bajunya. Mencari-cari uang. Bergegas Adil mendekati wanita itu. Tangan Adil meraih tangan perempuan tersebut .
“Ini, Bu,” kata Adil sambil meletakkan uang di tangan wanita itu. Wanita tersebut tersenyum.
“Terima kasih. Uang ini untuk adik saja,” katanya sambil mengembalikan kepada Adil.
Wanita buta itu terus berjalan menuju perpustakaan Evan. Adil membuntuti dengan perasaan bingung.
“Tante Lia!” seru Evan . Ia berlari mendekati wanita itu, dan mencium tangannya. Adil bertambah bingung.
“Adil. ini tanteku. Ini Adil, Tante. Cucu Nenek Fatim, tetangga sebelah ” Evan mengenalkan. Tante Lia menjabat tangan Adil erat sekali.
“Adil kelas berapa?” tanya Tante Lia.
“Enam, Tante,” jawab Adil pelan. Adil malu mengingat kejadian tadi. Bisa-bisanya ia mengira Tante Lia pengemis?
“Tante Lia ini dosen, lho! Juga penulis top!” bangga Evan. Tante Lia tertawa.
Kemudian mereka bertiga berbincang-bincang. Evan banyak bercerita tentang Tante Lia. Tante Lia ternyata sangat hebat. Walaupun buta, prestasinya sungguh luar biasa. Berkali-kali memenangkan perlombaan menulis. Tante Lia bahkan sudah pernah ke Jepang dan beberapa negara lainnya. Semua itu dicapai berkat kepandaian Tante Lia dalam menulis.
Satu jam berlalu. Adil berpamitan pulang pada Tante Lia.
“Kalau kesini lagi, nanti Tante beri Adil buku-buku cerita karangan Tante,” kata Tante Lia.
“Terima kasih, TAnte,” jawab Adil.
“Evan ikut Adil ke rumah Nenek Fatim, Tante,” Evan minta ijin.
“Maaf, Van. Tadi kukira Tantemu pengemis,” bisik Adil ketika mereka berjalan ke kebun Nenenk. Evan tampak terkejut, kemudian tertawa.
“Tidak apa-apa,”kata Evan. Adil lega.
“Tantemu hebat!” puji Adil.
“Siapa dulu dong keponakannya!” seloroh Evan.
Adil pulang sambil membawa pelajaran baru. Cacat bukan penghalang kita untuk berprestasi. Setuju?
“Lima…,” bisiknya. Mobil Adil belok kiri, melewati sebuah pasar yang ramai. Mama yang menyetir melirik Adil.
“Enam..,” bisiknya lagi. Berikutnya mobil Adil melewati sebuah bank.
“Tujuh..!” Adil berkata dengan suara agak keras.
“Apanya yang tujuh?” tanya Mama.
“Adil menghitung pengemis yang cacat, Ma. Ternyata banyak juga, ya?” kata Adil. Mama tersenyum kecil.
“Sampai rumah nanti, langsung makan dan mandi ya, Dil. Kita akan pergi ke rumah Nenek,” kata Mama.
“Asyik! Adil boleh main di kebun Nenek?” tanya Adil. Adil melonjak riang ketika Mama mengangguk.
Pukul dua siang mereka berangkat. Satu jam kemudian mereka sudah sampai di rumah Nenek. Kebun Nenek sangat luas dan ditanami banyak pohon buah-buahan. Ada mangga, kelengkeng, rambutan, delima dan kedondong. Adil duduk-duduk di bawah pohon rambutan sambil membaca buku. Sesekali Adil memetik buah rambutan yang sudah merah. Hmm, rasanya manis dan segar!
“Adil!!” seseorang memanggil. Adil bangkit dari duduknya dan melihat sekeliling kebun. Tidak tampak siapa-siapa.
“Hoooiii!” suara itu terdengar lagi. Adil melihat ke sana kemari lagi. Tidak tampak siapa-siapa. Hiyy, Adil ingat kata-kata sepupunya, bahwa kebun Nenek terkenal angker!
“Adiilll!” suara itu lagi! Adil bersiap berlari.
“Aku di sini, di atas pohon!! Sebelah utara!”
Adil menoleh ke sebelah utara. Oh, ternyata Evan, anak tetangga Nenek! Adil dan Evan berteman dekat. Setiap ke rumah Nenek, Adil bermain ke rumah Evan. Evan punya perpustakaan kecil di rumahnya. Koleksi bukunya sangat banyak dan bagus-bagus.
“Aku ke sana!” teriak Adil. Dia bergegas mencari Mama untuk berpamitan. Mama memberi waktu satu jam untuk bermain ke rumah Evan.
Adil langsung menuju perpustakaan Evan. Koleksi buku Evan bertambah banyak! Perpustakaan ini sering dikunjungi anak-anak sekitar. Adil bisa melihat dari daftar hadir yang tersedia.
“Aku masih punya koleksi ensiklopedi terbaru! Sebentar ya, aku ambilkan!” Evan bergegas masuk. Adil menunggu sambil melihat-lihat buku-buku baru.
Tak lama kemudian, seorang wanita memasuki halaman rumah Evan. Adil memperhatikan. Orang itu buta dan berjalan dengan bantuan tongkat. Pakaiannya tampak sangat sederhana.
Adil merogoh kantung bajunya. Mencari-cari uang. Bergegas Adil mendekati wanita itu. Tangan Adil meraih tangan perempuan tersebut .
“Ini, Bu,” kata Adil sambil meletakkan uang di tangan wanita itu. Wanita tersebut tersenyum.
“Terima kasih. Uang ini untuk adik saja,” katanya sambil mengembalikan kepada Adil.
Wanita buta itu terus berjalan menuju perpustakaan Evan. Adil membuntuti dengan perasaan bingung.
“Tante Lia!” seru Evan . Ia berlari mendekati wanita itu, dan mencium tangannya. Adil bertambah bingung.
“Adil. ini tanteku. Ini Adil, Tante. Cucu Nenek Fatim, tetangga sebelah ” Evan mengenalkan. Tante Lia menjabat tangan Adil erat sekali.
“Adil kelas berapa?” tanya Tante Lia.
“Enam, Tante,” jawab Adil pelan. Adil malu mengingat kejadian tadi. Bisa-bisanya ia mengira Tante Lia pengemis?
“Tante Lia ini dosen, lho! Juga penulis top!” bangga Evan. Tante Lia tertawa.
Kemudian mereka bertiga berbincang-bincang. Evan banyak bercerita tentang Tante Lia. Tante Lia ternyata sangat hebat. Walaupun buta, prestasinya sungguh luar biasa. Berkali-kali memenangkan perlombaan menulis. Tante Lia bahkan sudah pernah ke Jepang dan beberapa negara lainnya. Semua itu dicapai berkat kepandaian Tante Lia dalam menulis.
Satu jam berlalu. Adil berpamitan pulang pada Tante Lia.
“Kalau kesini lagi, nanti Tante beri Adil buku-buku cerita karangan Tante,” kata Tante Lia.
“Terima kasih, TAnte,” jawab Adil.
“Evan ikut Adil ke rumah Nenek Fatim, Tante,” Evan minta ijin.
“Maaf, Van. Tadi kukira Tantemu pengemis,” bisik Adil ketika mereka berjalan ke kebun Nenenk. Evan tampak terkejut, kemudian tertawa.
“Tidak apa-apa,”kata Evan. Adil lega.
“Tantemu hebat!” puji Adil.
“Siapa dulu dong keponakannya!” seloroh Evan.
Adil pulang sambil membawa pelajaran baru. Cacat bukan penghalang kita untuk berprestasi. Setuju?
Tidak ada komentar: